CERPEN | Dari Uwin Mokodongan*
Seketika semua yang bergelayut di sekitarnya hilang. Benda sebutir kelereng kini aman disakunya. Ketika mantra diucap, taka da satupun manusia yang melihat kehadirannya.
Ia sudah tak punya apa-apa lagi kecuali isi kamar kos yang mau dijualpun belum tentu ada yang mau membeli, semisal kemeja, baju, celana jeans, sepatu, tak akan laku. Mana ada di kota sebesar dan segengsi itu mau membeli barang yang selain tak bermerek, sudah bekas pakai pula.
Perutnya bukan soal lapar lagi. Sebab ia sadar, setiap yang bernyawa pasti akan merasakan lapar. Si kaya, si miskin, si ganteng, si cantik, bahkan yang tertuding sebagai siburuk rupa pun tetap akan merasakan lapar.
Lapar adalah perasaan paling purba sejak manusia hadir di muka bumi ini. Ikan kapala tima yang dipelototinya di selokan kampuspun merasakan lapar, sehingga apapun yang lewat, selagi bukan besi, pasti dilahap. Jadi, terlalu standar untuk melakukan sesuatu—apalagi yang ekstrim—jika alasannya adalah lapar.
Lantas apa yang mau dibuat ketika lapar menyerang, sementara kantong tinggal berisi tahi tikus kering. Pura-pura main ke tempat kos teman, hanya akan menambah daftar antrian lomba tahan lapar bersama.
Menelfon orang tua di kampung, tak ada pulsa. Taruhlah punya pulsa, tapi belum jadwal kiriman lalu menerjang dengan alasan ini-itu ke ortu yang juga sama lapar, bukan cuma menambah beban, tapi tidak cukupkah kebohongan-kebohongan selama ini yang hanya akan menambah daftar dosa terhadap orang tua di kampung yang tinggal mengandalkan uang pensiuan dan sepetak kebun kakao dengan hasil panen yang selalu kurang membiayai ongkos hidup?
Ia beranjak dari kamar kos. Siang yang gersang tak hanya menguji dahaganya ketika berjalan meneluri trotoar. Lebih dari itu mentalnya sedang diuji. Mental untuk mampu menahan godaan demi lolos dari rasa lapar.
Sebab bukan sekali-dua matanya memelototi tas yang tentu berisi uang seorang Ibu berseragam abdi negara yang baru keluar dari mesin ATM. Padahal berapa susah merampasnya, atau menodong lalu tumingkas, tak ada yang mampu mengejar. Atau mepet ke kasir supermarket. Secepat kilat menyambar beberapa ratus uang lalu lari dengan kecepatan lapar seminggu, bersembunyi di selokan hingga gelap tiba, lalu setelah aman, keluar dan nikmati hasil. Tak ada yang tahu.
Tapi ah, jangan sampai. Jangan sampai hanya karena lapar, dan nama tercoreng. Sudahlah itu, tapi bagaimana jika tertangkap, masuk kantor polisi, di penjara, dan ketahuan orang tua di kampung. Alamak…jauhkan, jauhkan!
Kini ia dipersimpangan jalan yang entah. Laparnya belum terjawab. Ke kiri, ke kanan, muka, belakang, Utara, Selatan, tak ada yang pasti juga tak tahu kemana langkah sebenarnya mau dituju? Sementara asap bobara bakar beberapa langkah dari dia, menyesaki udara seolah mengejeknya sebagai manusia yang belum juga makan padahal hari sudah pukul setengah lima sore.
Menebalkan muka, ia mampir di rumah makan ikan bakar yang berdiri berjejer di simpang jalan dimana langkah kakinya terhenti. Disl situ ia minta segelas air putih. Pelayan mempersilahkannya. Sempat ditawari menu, tapi ia berkata terima kasih lalu kembali ke trotoar jalan.
Jelang Maghrib, matanya kini tertuju pada seekor kucing hitam sedang mengais tong sampah tak seberapa jauh dari tempatnya berada. Ia memperhatikan kucing itu seperti polisi tengah menyelidiki penjahat. “Semuanya hitam” gumamnya dalam hati. Ia mendekat memastikan. “Ya, benar semua bulunya hitam”.
* * *
Sudah beberapa bulan ia tak bisa tidur lelap. Jikapun bisa, itu karena bantuan satu-dua butir pil, namun mimpi buruk kerap datang menganggunya. Tetangga kamar mulai risih terganggu igauan dan teriakan-teriakannya dalam mimpi. Pernah mereka mengedor pintu lalu menjebolnya dan berusaha membuat ia siuman dari mimpi buruk.
Bukan sekali saja ia hampir mampus kehabisan nafas. Beruntung kawan sebelah kamar masih mau membukakan pintu untuknya dan membangunkannya dari tidur dan mimpi buruk.
Sejak peristiwa-peristiwa itu, kamar kosnya memang sengaja sudah tidak dikunci lagi. Supaya teman se-kos bisa mudah membukakan pintu dan membangunkannya jika sedang diterpa ketindisan, demikian mereka mengistilahkan.
Sudah kerap kali kawannya di kos juga teman-teman di kampus menyarankannya agar memeriksakan diri ke dokter. Tak sedikit juga yang menyarankannya agar berobat ke orang pintar, seperti percakapan ketika itu.
“Mungkin kau sedang kena guna-guna. Jangan anggap remeh, di era modern seperti sekarang ini, bukan berarti tak ada lagi ilmu santet,” kata Tito kawan kuliahnya saat mampir ke tempat kos.
“Tak ada yang menyantetku. Aku selalu baik pada orang kok,” jawabnya.
“Iya, tapi buktinya kau selalu ketindisan. Coba sekali-sekali ketemu orang pintar dan ceritakan semua mimpi-mimpimu. Siapa tahu kamu memang sedang kena guna-guna” kata Adi menimpali.
Kawan yang lain menambahkan. “Coba ingat-ingat, siapa kira-kira yang berpotensi mengguna-gunaimu. Siapa tahu ada sesuatu yang tak mereka sukai dari sikapmu. Aku punya kenalan yang bisa mengantarmu ke orang pintar,”
“Sudah aku bilang, aku tak ada masalah dengan siapapun. Kalian tahu kan selama ini aku selalu baik pada orang. Tahu sendiri aku orangnya bagaimana. Lagian aku juga sudah ke dokter dan diberi obat. Kata dokter saya hanya mengalami stres dan disuruh banyak makan buah dan banyak istirahat. Itu saja kok,” katanya membalas pertanyaan-pertanyaan dari kawan-kawannya.
“Iya, betul. Tapi belakangan kamu memang berubah. Dan sejak kapan kamu kerap kali ketindisan seperti belakangan ini. Ayolah taka da salahnya ke orang pintar,” saran Dedi teman sebelah kamarnya.
* * *
Ia sedang berada di klinik psikiater ditemani pacarnya. Mereka sedang menanti nomor antrian. Ponsel lantas berdering. Itu panggilan dari Ibu di kampung. Ia enggan mengangkatnya, tapi pacarnya mendesak. Panggilan itu akhirnya diangkatnya.
“Hallo Didi, kamu dimana?”
“Di rumah teman Bu” ia menjawab sembari memberi isyarat ke pacarnya dengan menaruh jari
telunjuk ke mulut.
“Sehat-sehatkah kau, Nak?”
“Iya, Bu. Aku sehat-sehat saja”
“Oh, baguslah kalau begitu. Ibu cuma menelfon untuk memberitahu kalau esok Ayah akan ke kota untuk mentransfer uang kirimanmu”
“Eh, biarlah Bu. Aku masih punya uang kok. Kan sudah bekerja. Nanti kalau sudah tak punya uang, aku pasti menelfon untuk minta kiriman,”
“Ah, kau ini. Bukankah sudah beberapa bulan jatah kirimanmu tertunda. Mentang-mentang sudah punya gaji, tak mau lagi menerima kiriman orang tua,”
“Bukan tak mau Bu. Tapi kan masih ada. Simpan saja dulu itu, bilang sama Ayah. Nanti kalau aku butuh, pasti aku telfon sekalian bunganya, hehe’”
“Oh, baiklah kalau begitu, Nanti aku bilang sama Ayahmu kalau ia pulang dari rumah Kepala Desa. Sehat-sehat yak au, Nak.”
“Iya, terima kasih Ibu.”
Sudah tujuh bulan lamanya, ia memang tak menerima kiriman uang dari orang tuanya di kampung. Bukan karena kiriman itu macet atau tak ada, tapi ia sendiri yang meminta demikian. Orang tuanya diberitahu kalau ia sudah memiliki pekerjaan di kota tempat ia mengenyam pendidikan tinggi, sehingga jatah kiriman untuknya ia sarankan untuk disimpan saja atau digunakan untuk keperluan di kampung.
Meski demikian, tiap tanggal muda ketika Ayahnya menerima gaji pension, selalu saja ia dikontak untuk dikirimi uang, meski ia kerap menolak. Pernah bahkan Ayahnya mentransfer uang ke nomor rekeningnya tanpa bilang-bilang, tapi uang kiriman itu dikirimkan kembali oleh sang anak ke rekening Ayahnya, kemudian kedua orang tuanya itu diberitahu kalau uang kiriman sudah ia kirim balik.
Tapi pekerjaan apa yang dilakoninya sembari kuliah di kota yang terpaut ratusan kilometer dari kampungnya? Ia mengatakan pada orang tuanya kalau ia diperbantukan salah seorang kenalan dalam pekerjaan proyek sebuah dinas yang bergerak dalam bidang infrastruktur. Meski pada kenyataannya tidak begitu. Sebab ia dapat hidup enak dengan cara tergelap.
Namun belakangan, ketika hitungan bulan ketujuh, ia mulai mengalami ganggguan tidur yang membuat kesehatannya terganggu. Selain itu ia kerap mengalami mimpi buruk yang membuatnya selalu gelisah tiap kali tidur.
* * *
Semua saran dari psikiater termasuk obat dari dokter yang direkomendasikan di apotik, sedikitnya cukup membantu ia mengatasi masalah kesehatannya terutama gangguan tidurnya, meski pada akhirnya semua itu benar-benar tak membuatnya sembuh. Malah memberi efek terhadap kondisi fisiknya.
Kawan-kawan terutama pacarnya yang prihatin terhadap kondisinya yang terkadang aneh, menyarankan ia mempertebal iman dan beribadah sebagaimana ajaran agama. Ia mengikuti saran-saran itu. Kerap terlihat di rumah ibadah bahkan ketika berada di kos.
Sedikitnya itu juga cukup membantu, namun semua hanya bersifat sementara. Ia masih kerap kali gelisah dan menginggau dalam tidurnya. Hingga pada suatu ketika Ibunya menelfon;
“Didi,”
“Ya, Ibu”
“Benar kamu sehat-sehat saja sekarang?”
“Iya Ibu. Aku sehat-sehat saja kok, tak kurang satu apapun”
Ibunya lantas bercerita bahwa suatu malam, saat tiba-tiba terbangun dari tidur, Ibunya menuju kamar mandi dan setelah keluar untuk kembali ke kamar tidur, seekor kucing berwarna hitam tiba-tiba menghadang jalannya. Selain kaget bukan kepalang oleh bulu kucing yang semuanya hitam, Ibunya tentu heran karena mereka memang tak memelihara kucing di rumah. Kucing hitam dengan bola mata kuning menyala seperti bulan.
Sembari menahan rasa kagetnya dengan mengelus dada, perempuan paruh baya ini lantas menghentakan kakinya berharap kucing itu pergi dari hadapan. Tapi aneh, kucing itu tak mau pergi, kecuali menatap dengan sorot mata bulan tembaga. Ibunya lantas meraih sapu lalu pura-pura hendak memukul kucing itu supaya pergi, dan seketika listrik padam, keadaan menjadi gelap gulita, dan kucing itu mengeluarkan suara yang membuat seisi rumah terhenyak dari tidur. Saat listrik menyala kembali, kucing itu sudah tak ada lagi.
Suatu ketika, menjelang subuh, kedua orang tuanya juga dibuat kaget oleh suara berisik dari teras rumah. Ayahnya bangun hendak mencari tahu. Saat pintu rumah dibuka, seketika sekelebat cahaya berwarna hitam melesat melewati dada Ayahnya lalu kelebat cahaya itu masuk ke dalam ruang tamu menabrak dinding rumah hingga menjatuhkan bingkai foto anak mereka; Didi.
Keanehan-keanhean yang mereka alami di kampung itulah yang membuat Ibunya menelfon menanyakan kabar anaknya, untuk berterus terang apa sebanrnya yang sedang terjadi dan dialami anaknya.
Ia tak bisa berkata-kata. Tanganya gemetar. Kecuali itu, ia akhirnya mengaku pada Ibunya bahwa memang sedang sakit. Ibunya yang sontak menangis karena khwatir dengan kondisi anaknya, pelan-pelan dibujuknya dengan berkata akan segera pulang ke kampung dan berobat. Ibunya setuju.
* * *
Jelang Maghrib, matanya kini tertuju pada seekor kucing hitam sedang mengais tong sampah tak seberapa jauh dari tempatnya berada. Ia memperhatikan kucing itu seperti polisi tengah menyelidiki penjahat. “Semuanya hitam” gumamnya dalam hati. Ia mendekat memastikan. “Ya, benar semua bulunya hitam”.
Semakin dekat, dan ia terus memperhatikan kucing hitam itu. Hendak memastikan apakah tak ada setitik bercak warna lain di sekujur kulit kucing itu. Setelah teliti bahwa semua bulu kucing itu berwarna hitam dengan bola mata berwarna kuning pekat menyala, ia mulai memperhatikan orang-orang di sekeliling rumah makan ikan bakar yang sibuk dengan pekerjaan mereka.
Setelah merasa aman, sebilah kayu yang kebetulan ada di sekitar situ, kini dalam kuat genggamanya. Sebelum azan Magrib berkumandang dari toa masjid, dengan gerakan sekali huyung yang tepat dan kuat, kucing itu menemui ajalnya. Secepat kilat kucing malang yang tengah meronta itu ia bungkus dengan ranselnya lalu menghilanglah ia menuju suatu tempat.
Di sana, di suatu tempat yang sunyi, ia kuburkan kucing itu sembari merapalkan apa yang pernah terekam dalam ingatanya sebab pernah menuliskannya dalam sebuah notes. Sesuatu yang gelap yang akhirnya ia praktekan.
Ia tahu saat-saat yang demikian itu adalah penentu dimana akan banyak gangguan muncul. Ia akan mendengar sekaligus melihat semua kegelapan yang dingin dan akan bermunculan di sekitarnya hingga bulu kuduknya menegak seperti tersedot magnet.
Tapi semua kondisi dan fenomena itu harus bisa ia lalui. Sebab disitulah kunci awal untuk berhasil mengambil kunci kedua. Jika tak tahan, maka semua yang telah dikorbankan akan sia-sia belaka. Maka segala sesuatu yang sulit digambarkan ketika bergelayut disekitarnya, dengan segala kemampuan dan keyakinan yang gelap, akhirnya dapat ia lewati.
Selanjutnya, setelah memastikan hitungan waktunya tak salah, ritual kedua sekaligus yang terakhir harus dilakukan. Ini adalah penentu. Semacam ujian akhir. Ia menuju lokasi yang telah ia tandai. Tanah dimana kucing hitam itu terkubur dan akan digali kembali.
Ia melepas mantra. Peristiwa gelap yang lebih gawat dari ritual pertama mulai bermunculan. Betapa gelap, betapa dingin, betapa berbahaya, dan menyeramkan. Segala yang berbulu di tubuhnya menegak seperti tersedot oleh energi yang seliweran dan gentayang bahkan hanya beberapa inci dari dia.
Suara-suara aneh yang berbunyi kasar seperti kocokan wadah berisi sesuatu yang kental dan memuakan, nyaring suara yang entah dari lobang mana dan tak pernah terdengar, hawa udara yang tiba-tiba sesak dan mengurung, kilatan cahaya, sosok-sosok macam perpaduan boneka maut dan jagal, semua yang betapa meruntuhkan nyali dan nurani.
Tak boleh menutup mata, meski tak diwajibkan melihat apa yang bergelayut di sekitar, hingga pada akhirnya dari kedalaman 1 meter, dengan mantap kedua bola matanya melihat sebutir cahaya dari dalam tengkorak ia jemput dengan kain hitam sembari ia rapalkan mantera. Seketika semua yang bergelayut di sekitarnya hilang. Benda sebutir kelereng kini aman disakunya. Ketika mantra diucap, taka da satupun manusia yang melihat kehadirannya.
Saat itu, di rumah makan yang berdiri berjejer di simpang jalan itu, ia masuk ke dalam tapi bukan untuk minta air putih lagi. Tak ada seorangpun yang melihatnya. Kecuali kucing-kucing yang tiba-tiba menghindar lalu mengeluarkan suara menyakitkan.
Ia mendekat ke laci kasir dimana empu rumah makan duduk. Satu demi satu uang kertas pecahan besar diambil, dimasukan ke dalam kantong. Dari situ pindah lagi ke rumah makan satunya lagi, singgah ke kios, ke took, lalu tibalah di kos dan menghitung hasil pertama saat itu. Di meja judi, tak usah ditanya. Dia adalah pemenang dan tak terkalahkan.
Hasrat gelap membuatnya lupa diri. Orang yang kehilangan dengan cara aneh bukan diam tak melakukan apa-apa. Sebelum semuanya terlambat, tak ada cara lain kecuali pulang dan berobat.
“Pobui don kele’ bain poki tayok kon na’a” (pulanglah nak, nanti akan diobati disini). Demikian pinta Ibunya..
*Penulis adalah Pegiat Sejarah dan Kebudayaan Bolaang Mongondow Raya di Monibi Institut.