Lensa.News, Yogjakarta – Menjamurnya pelajar dan mahasiswa di kota Jogjakarta (Jogja), membuat sektor ekonomi yang berkenaan dengan pelajar dan mahasiswa seperti kos-kosan, kedai kopi, bahkan rumah makan, tetap dan bahkan makin survive.
Malah, kreativitas pelaku usaha yang berkenaan dengan sektor ekonomi tersebut, seperti rumah makan yang menyajikan cita rasa lokal masing-masing daerah terus bertumbuh kembang.
Banyaknya pelajar dan mahasiswa asal BMR di Jogja, ikut membuat Conny Tironi Rondonuwu terpanggil membuka usaha. Berlokasi di Jalan Perumnas, depan St. Beer, Seturan sejak kurang lebih dua bulan lampau, dengan “pede”-nya perempuan asal Sinindian ini membuka rumah makan Dapur Machon.
Machon adalah akronim dari Ma’ Conny. Istri dari Dian Hadi asal Surabaya itu biasa dipanggil “Mama” oleh para mahasiswa asal BMR. Setiap hari sejak jam 7 pagi hingga 10 malam, Dapur Machon memang selalu dipadati oleh mahasiswa asal BMR.
Selain harga makanan yang ditawarkan murah dan terjangkau para anak kos, cita rasanya yang Mongondow dan Sulut-lah yang membuat mahasiswa asal BMR “tak bisa ke lain hati”. Saking tergantungnya dengan Dapur Machon, saat tutup pun para anak kos akan “memaksa” buka.
Saat Lensa.News berkunjung, ada sekitar enam mahasiswa asal Kotamobagu ada di Dapur Machon, diantaranya Apit (putra kedua anggota DPRD Kotamobagu Ishak Sugeha), Cacha (putri mantan anggota DPRD Bolsel Risman Baya), dan Lia (putri pertama anggota DPRD Kotamobagu Sri Rahayu Monoarfa).
“Murah dan enak sekali. Terutama dabu-dabunya,” komentat Lia. “Serasa ada di kampung sendiri,” tambah Puput, mahasiswa asal Mogolaing.
Menu yang disediakan antara lain Ikan Kakap Merah, Tuna, Tongkol Rica, Woku Belanga, Kuah Asam, Abon Cakalang, Ayam Rica-rica, Goroho dan Brenebon. Termahal adalah ikan laut yang dijual per kilo, biasanya untuk woku dan kuah asam, dengan harga tertinggi Rp. 80 ribu dan terendah nasi campur yang dijual Rp. 15 ribu.
Ramainya Dapur Machon berdampak pada omzet. Tiga hingga empat juta rupiah bisa ditangguk sehari. Padahal Dapur Manado yang jauh lebih terkenal hanya beromzet dua juta rupiah per hari. Dengan modal belanja rata-rata satu juta per hari, tentu prospek keuntungan menanti ibu 5 anak yang sudah menetap di Jogja sejak 5 tahun lalu.
“Jauh di rantau tentu membuat saya harus ‘survive’ mencari nafkah. Tapi untuk para mahasiswa BMR, faktor kemanusiaan senasib sepenanggungan di negeri orang juga saya perhatikan,” ucap Conny.
(Chag)