Lensa.News, KOTAMOBAGU – Mungkin masih banyak orang yang belum tahu atau memahami apa arti dari aksara. Menurut Wikipedia Indonesia, aksara atau skrip adalah suatu sistem simbol visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya (batu, kayu, kain, dll) untuk mengungkapkan unsur-unsur yang ekspresif dalam suatu bahasa. Sedangkan menurut KBBI, aksara merupakan system tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran.
Secara etimologi asal-mula “aksara’ adalah dari bahasa Sanskerta yang berakar pada kata “a” dan “kshara.” “A” memiliki arti ‘tidak,’ sedangkan “kshara” memiliki definisi “termusnahkan”. Sehingga berdasarkan definisi tersebut, maka arti aksara adalah sesuatu yang kekal, langgeng, ataupun tak termusnahkan. Alasan “kekal” sebab aksara memiliki peran demi mendokumentasikan serta mengabadikan satu peristiwa kedalam bentuk tulis.
Hal ini sangat bisa dipahami tatkala kita bisa mengamati banyaknya aksara yang tertoreh pada masa lampau. Sebagai contoh adanya aksara yang ditatah pada batu, dicoretkan di atas daun lontar, serta diukir di permukaan lempeng tembaga, menjadi bukti kita bisa menemukan dokumentasi sejarah masa lampau, baik itu tentang kesuraman ataupun mengenai kejayaannya. Dan hal itu akan kembali dilakukan oleh generasi selanjutnya. Orang-orang Belanda yang menjajah Indonesia, selain menyimpan bukti-bukti sejarah Nusantara masa lalu, kenyataannya juga ada yang menulis ulang, sebagai contoh adalah tulisan tentang perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Istilah lain untuk menyebut aksara adalah sistem tulisan. Alfabet dan abjad merupakan istilah yang berbeda karena merupakan tipe aksara berdasarkan klasifikasi fungsional. Unsur-unsur yang lebih kecil yang terkandung dalam suatu aksara antara lain adalah grafem, huruf, diakritik, tanda baca, dan sebagainya. Satuan aksara disebut glif.
Di Indonesia sendiri, kita pasti pernah mendengar istilah Aksara Nusantara. Aksara Nusantara merupakan beragam aksara atau tulisan yang digunakan di Nusantara untuk secara khusus menuliskan bahasa daerah tertentu.
Walaupun abjad Arab dan alfabet Latin juga seringkali digunakan untuk menuliskan bahasa daerah, istilah Aksara Nusantara seringkali dikaitkan dengan aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India sebelum berkembangnya agama Islam dan sebelum kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa di Nusantara.
Berbagai macam media tulis dan alat tulis telah digunakan untuk menuliskan Aksara Nusantara. Media tulis untuk prasasti antara lain meliputi batu, kayu, tanduk hewan, lempengan emas, lempengan perak, tempengan tembaga, dan lempengan perunggu; tulisan dibuat dengan alat tulis berupa pahat.
Media tulis untuk naskah antara lain meliputi daun lontar, daun nipah, janur kelapa, bilah bambu, kulit kayu, kertas lokal, kertas impor, dan kain (tulisan dibuat dengan alat tulis berupa pisau atau pena dan tinta).
Bagi sebagian orang mungkin berpikir bahwa menulis itu mudah untuk dilakukan. Karena sudah pasti hampir semua orang di dunia tahu bagaimana caranya menulis. Namun apakah mereka bisa menjadi seorang penulis? Jawabannya belum tentu. Sebab tidak semua orang yang bisa menulis dapat menjadi seorang penulis. Mengapa demikian? Bukankah sama saja? Tentu saja tidak sama. Semua orang mungkin bisa menulis di manapun dan kapanpun mereka mau. Tapi untuk menjadi seorang penulis, tentunya harus memiliki kemampuan menulis yang baik dan disertai dengan ilmu dalam hal kepenulisan, baik itu fiksi maupun ilmiah atau non-fiksi.
Dewasa ini semakin banyak penulis yang mulai mempelajari tentang aksara. Banyak di antaranya yang menjadikan pengetahuan akan aksara ini sebagai referensi dalam setiap tulisan yang mereka hasilkan.
Saya sendiri pun turut ikut dalam mempelajarinya baru-baru ini. Bukan karena ingin ikut trend, tapi memang jika ingin menjadi seorang penulis yang baik, maka harus banyak ilmu yang dipelajari demi mengembangkan tulisan yang kita hasilkan. Sangat diharapkan kiranya dengan makin banyak event maupun seminari kepenulisan yang dibuat, akan semakin menambah pengetahuan kita tentang dunia literasi ini. Karena tidak selamanya ilmu itu bisa diperoleh melalui text book yang kita baca.
Sumber Facebook : Shafarina Zaskia Ente