Lensa.News, LOMBOK – Wawali Nayodo Koerniawan alih jadi ‘Master of Ceremony’ (MC)? Sebelum syak wasangka berlanjut, jawabannya adalah tidak.
Ceritanya, pasca akad nikah Moh Rheza Awaludin SH M.Kn, putra dari pengusaha terkemuka Kotamobagu Hi. Awaluddin Lam dan Dosen FH Unsrat Manado Ha. Selviani Sambali SH MH dengan Henny Indah Lestari SE, asal Lombok, NTB, dilanjutkan dengan prosesi adat Mogama (menjemput).
“Adat Mogama ini mengandung makna menjemput oleh keluarga mempelai pria kepada pengantin wanita,” sampai Wawali di awal proses itu. Mantan Ketua KPUD Kotamobagu ini didampingi istrinya, Ketua Tim Penggerak PKK sekaligus Kepala Dinas Pariwisata Kota Kotamobagu, Anki Taurina Mokoginta ST ME.
Selain merupakan tradisi kental pasca akad nikah dan resepsi, bisa dibilang prosesi adat Mogama yang dilaksanakan Sabtu (10/10) di Lombok, NTB ini juga bak promosi adat Mongondow di tanah suku Sasak dan Bima (suku dominan di NTB) dan Arab (orangtua pengantin wanita di negeri “seribu masjid” ini.
Dalam rangkuman catatan yang dihimpun pemerhati Adat Mongondow Saad Mokoagow BA menyangkut pelaksanaan Mogama, sesudah akad nikah, pengantin wanita akan di bawah ke rumah keluarga pengantin pria dengan adat ‘gama’an’ (Mogama) dengan 13 hukum (ukud), mulai dari ‘topangkoy in adat, lolanan kon tubig, kon tutungan in lanag, kon Buntuan in tukad, kon tonom im baloy, pilatbin siripu, pilat/kungkum in paum, lrituan, pilat in kolubung, pinonga’anan, pinolrimumugan, hingga pobuian’.
Wawali yang memang dikenal pemerhati adat Mongondow dengan fasih menjelaskan prosesi itu. Pada kondisi kontemporer, prosesi itu dilaksanakan simbolis (gama’ di tempat) atau seperti yang berlangsung di NTB ini (bukan di kediaman keluarga pria, namun 13 ukud itu tetap dilaksanakan).
(Chong)