“Kami minta ISBIMA meluruskan ini, serta mempertanggungjawabkannya ke masyarakat BMR”
KOTAMOBAGU — Kecaman keras terus muncul dari tokoh-tokoh di Bolaang Mongondow Raya (BMR), soal kontroversi teater Pingkan Matindas: Cahaya Bidadari Minahasa, yang dipentaskan Institut Seni Budaya Independen Manado (ISBIMA), di eks Gedung DPRD Sulawesi Utara (Sulut), Sabtu (31/10) lalu.
Giliran Walikota Kotamobagu, Tatong Bara yang mengecam dan mengutuk keras pementasan teater ini, terlebih alur cerita hanya imajinasi dan tak didasari fakta sejarah.
“Saat mendapatkan informasi ini, saya menghubungi Ibu Yasti yang kebetulan berada di Manado untuk mencari tahu kebenaran informasi ini. Hal ini cukup menyedihkan dan mencederai kami masyarakat BMR, apalagi jika kemudian ceritanya bukan berdasarkan atas fakta sejarah,” ungkap Tatong.
Pimpinan adat tertinggi di Kotamobagu ini menilai apa yang dipentaskan dalam teater itu jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap masyarakat BMR.
“Ini sangat melukai hati dan perasaan kami warga Bolmong Raya, karena secara vulgar menggambarkan leluhur kami yakni Raja Loloda Mokoagow yang merupakan panutan, teladan dan harga diri orang Mongondow sebagai sosok kurang etis dalam berperilaku, apalagi dalam perspektif adat Mongondow,” ucapnya.
Pihak ISBIMA, menurut Tatong, harus membuat klarifikasi alur cerita yang dipentaskan sekaligus mempertanggungjawabkan ke publik, terutama ke masyarakat BMR.
“Ini wajib diluruskan karena menurut kami tidak sesuai fakta, terutama dialog yang diucapkan Raja Loloda Mokoagow dalam pementasan itu serta bagaimana ia digambarkan tewas ditangan prajuritnya dan kemudian potongan kepalanya dipertontonkan. Kami mempertanyakan referensi sang sutradara saat menulis kisah ini, apalagi Raja Loloda Mokoagow adalah salah satu leluhur yang sangat dihargai, dihormati dan disakralkan dalam sejarah perjalanan Kerajaan Bolaang Mongondow. Kami minta ISBIMA meluruskan ini serta mempertanggungjawabkannya ke masyarakat Bolmong Raya,” ujarnya. (Tng/vil)