Oleh: Murdiono Prasetio A Mokoginta
“Mitos bukanlah sejarah. Dalam mitos tidak ada penjelasan tentang kapan peristiwa terjadi, sedangkan dalam sejarah semua peristiwa secara persis diceritakan kapan terjadi.” (Kuntowijoyo)
Saya pernah membaca sebuah maha karya sastra dunia “Alf Lailah wa-lailah” atau umum dikenal sebagai “Kisah Seribu Satu Malam”. Sebuah sastra klasik timur tengah yang penuh dengan keajaiban, keindahan, fantasi yang membawa pembacanya dalam mimpi dan kemegahan.
Saya membaca buku ini ketika masih duduk di bangku Sekolah Menegah Pertama (SMP). Banyak yang saya lupa namun masih ada juga yang diingat seperti kisah ‘Nelayan dengan Jin Sulaiman serta Sindbad Si Pelaut’.
Cerita lain dalam karya seribu satu malam menampilkan sosok Khalifah Harun Ar-Rasyid. Dalam sejarah Islam, beliau adalah khalifah ke- lima Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Di masanya Islam mencapai puncak keemasan dan kejayaan. Baghdad bahkan menjadi pusat pengetahuan dunia. Dalam beberapa literatur Islam, Khalifah Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai sosok pribadi yang soleh, sederhana, tawadhu, menjaga agama dan kehormatan dirinya.
Namun semua itu kontras dengan apa yang akan anda baca tentang Khalifah Harun Ar-Rasyid dalam Kisah Seribu Satu Malam. Wanita, glamor, arak, dan seks bebas adalah bagian hidup sang khalifah.
Khalifah selalu berada dalam cumbu rayu wanita cantik, memanjakan birahi dan nafsu. Kebijaksanaan dan kecerdasannya hilang di hadapan para selir Istana. Juga mudah dibodohi oleh Abu Nawas, sang kepercayaanya yang penuh muslihat dan kebohongan.
Perangai sang khalifah di atas, sama persis dengan sosok Raja Loloda Mokoagow sebagaimana yang ditampilkan oleh Achi Breyvi dalam Teater Pingkan Matindas: Cahaya Bidadari Minahasa.
Loloda ditampilkan sebagai raja yang menuruti nafsu setan, menghinakan martabat dan kehormatannya hanya karena terpedaya kecantikan wanita yang bernama ‘Pingkan Mogogunoiy’, istri ‘Matindas’, seorang pemuda miskin dari Negeri Mandolang.
Sosok sang Khalifah Harun Ar-Rasyid yang mulia dan taat dengan nilai agama, serta watak Datu’ Loloda Mokoagow yang bijaksana dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Bolaang Mongondow tercoreng dalam fantasi imajinasi sastra.
Hampir delapan jam saya duduk mencatat poin-poin pembanding antara materi teater pentas drama Cahaya Bidadari Minahasa ‘Pingkan Matindas’ dengan buku Bintang Minahasa ‘Pingkan Mogogunoiy’ karya Harsevien M. Taulu yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Saya melakukan ini demi menjaga objektifitas.
Saat membaca novel Taulu, tepatnya dibagian pertama yang mengulas tentang ‘Kehidupan Pingkan Mogogunoiy dan Matindas’, banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat saya petik dari buku ini.
Kerja keras, tolong menolong, penghargaan, cinta, kasih sayang, kesabaran, dan kesetiaan memperkaya nilai karya ini. Taulu benar-benar luar biasa karena membawa pembaca benar-benar merasai penjiwaan sosok Pingkan dan Matindas.
Penjiwaan sebagaimana dalam buku ini cukup berhasil direfleksikan Achi Breyvi Talanggai dalam teater yang disutradarainya. Hanya saja, masalah muncul ketika sosok Raja (Datu’) Loloda Mokoagow ditampilkan. Ada beberapa percakapan dan ucapan yang keluar dari mulut aktor pemeran sang raja nyatanya tidak ditemukan dalam buku yang ditulis oleh Taulu.
Kontradiksi Novel-Teater
Pada novel Bintang Minahasa, sosok Raja (Datu’) Loloda Mokoagow ditulis oleh Taulu dari halaman (65-108) dimulai pada bagian dua yang mengulas tentang Asal Perperangan Minahasa-Bolaang Mongondow.
Saya memperhatikan secara cermat tiap penggunaan kata-kata Taulu, tapi tidak ada yang mengandung unsur ‘pornografi’. Ada beberapa kata yang cukup sensitif namun masih bisa dimaklumi dalam tata bahasa umum misalnya kalimat seorang selir yang mengaku kepada Bua’ Ode (Permaisuri Loloda) akan hubungannya dengan sang raja, katanya, “Sampai sekarang, baik siang, baikpun malam, tidak pernah lagi baginda ‘datang’ kepada saya” (hlm.68).
Perhatikan penggunaan kalimat di atas. Hubungan int*m antara baginda dan selir pun, oleh Taulu, digunakanlah kalimat yang tidak mengandung ‘pornografi’. Taulu hanya menggunakan kalimat ‘datang’ sebagaimana di atas.
Contoh lainnya;
“Mendengar sembah perempuan yang lemah lembut itu, maka baginda pun terdirilah sebagai patung, karena serambut pun tiada baginda menyangka, bahasa perempuan itu akan datang menyembah padanya. “Maka hati baginda pun bergejolaklah, ‘birahi’ baginda pun terbitlah; oleh sebab itu dengan tiada berpikir panjang lagi, sabda baginda, “Jangankan setangkai, segenap taman ini dan seluruh kerajaanku sekalipun, aku relakan.” (hlm. 70).
Pada narasi ini Taulu hanya menggunakan kata ‘Birahi’ untuk menggambarkan watak alami laki-laki jika menginginkan seorang wanita yang dicintainya sebagaimana yang dirasa Raja Loloda Mokoagow saat bertemu dengan Pingkan dalam mimpi.
Kontroversi
Ada adegan teater pada 30 menit akhir, ketika raja Loloda Mokoagow menjemput Pingkan di rumah pamannya di negeri Maaron Tonsea, menurut saya, aktor pemeran raja terlalu berlebihan menggunakan kata ‘jorok’, di mana kata-kata itu tidak ditemukan sama sekali dalam tulisan Taulu pada Novelnya.
Kalimat sang aktor yang saya kutip, misalnya;
“Kecantikan yang melebihi perempuan di Bolaang Mongondow, patung itu indah tapi dia (Pingkan) lebih indah, sinar mata, kemolekan tubuh, akan kutelusuri dari ujung kaki hingga ujung rambut, bibir merahnya akan ku k*cup, dan buah pep*ya (maaf) di da*anya akan ku la*ap hingga tak tersisa.”
Saya tidak tahu, apakah kalimat-kalimat ini memang ada dalam naskah teater yang ditulis Achi, atau murni ucapan yang keluar dari sang aktor untuk menunjukan perasaan sang raja yang begitu bernafsu dengan Pingkan, harus ada klarifikasi mengenai hal ini.
Adegan terbunuhnya raja oleh bawahan sendiri ketika sedang memanjat pohon pinang memang ada dalam buku Taulu tepatnya di hlm. 100. Ia dibunuh oleh orang kepercayaan/suruhan baginda raja sendiri yang bernama Sora. Dan ketika Sora mengambil kepala itu, ia menyesal telah salah membunuh, karena yang mati justru raja sendiri.
Sejarah, Sastra dan Teater Pingkan-Matindas
Polemik terkait ketersinggungan masyarakat Bolaang Mongondow pada penayangan Teater Pingkan Matindas: Bintang Cahaya Minahasa yang disutradarai oleh Achi Breyvi, menurut saya harus dinilai dengan bijak dari perspektif sejarah dan sastra.
Karya sastra Bintang Minahasa yang ditulis H.M. Taulu dan isi materi teater Cahaya Bidadari Minahasa yang digelar di gedung eks DPRD Sulut bukanlah sebuah ‘sejarah’ tetapi karya sastra yang lahir dari cerita-cerita rakyat Minahasa ditambah bumbu-bumbu imajinasi dan fantasi H.M. Taulu. Dengan meletakan sejarah dan sastra pada tempatnya, kita bisa melihat polemic ini secara objektif.
‘Sejarah bukanlah sastra’ demikian kata Kuntowijoyo, guru besar sejarah UGM, dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah. Kuntowijoyo menekankan bahwa sejarah berbeda dengan sastra setidaknya dalam empat hal yakni; cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan. Dari cara kerjanya, sastra adalah pekerjaan imajinasi yang lahir dari kehidupan sebagaimana yang dimengerti oleh pengarangnya.
Kebebasan bagi pengarang demikian besarnya sehingga ia berhak membangun sendiri dunianya. Dalam kesimpulannya, bisa saja sastra justru berakhir dengan sebuah pertanyaan. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh sejarah. Sejarah harus berusaha memberikan informasi selengkap-lengkapnya, setuntas-tuntasnya, dan sejelas-jelasnya.
Bagi saya karya H.M. Taulu hanyalah dongengan. Tak perlu mengeluarkan tenaga untuk menulis panjang lebar artikel yang mengungkap sejarah Raja (Datu’) Loloda Mokoagow karena secara jujur, di Bolaang Mongondow juga belum ada satupun karya sejarah kritis yang mengungkap sosok Raja (Datu’) Loloda Mokoagow berdasarkan fakta-fakta sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Suatu peristiwa dikatakan sejarah jika telah melalui prosedur ilmiah dan bersandar pada fakta. Kebenaran sejarah itu adalah hasil kerja keras sejarawan yang melakukan penelitian secara tuntas dan berusaha seobjektif mungkin.
Polemik ini menyadarkan masyarakat Bolaang Mongondow tentang arti penting sejarah sebagai identitas dan kehormatan. Pemerintah di lima daerah Bolaang Mongondow Raya perlu memberi dukungan dengan memfasilitasi para peneliti sejarah yang melakukan penelitian sejarah kritis dan ilmiah dengan dukungan moril dan materil.
Jika kita tidap peduli dengan sejarah kritis dan hanya puas dengan dongengan masa lalu yang belum diuji, maka sejarah Bolaang Mongondow kini dan masa depan akan mudah diputarbalikan. Pada akhirnya kita akan kehilangan identitas masa lalu, padahal, disitulah jawaban tentang bagaimana ekstensi Bolaang Mongondow di masa lalu perlu diungkap sebagai pembangkit rasa kepercayaan diri, mentalitas, dan spirit kita semua untuk terus bergerak maju ke depan terlibat aktif dalam membangun peradaban bangsa.
*Penulis adalah PNS, guru di SMP N IV Kotamobagu dan Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)