Oleh: Murdiono Prasetio A. Mokoginta
SAYA tidak menyangka bahwa catatan Van der Endt ‘De Zening In Bolaang Mongondow’ yang saya bedah sejak awal bulan Oktober 2020 lalu ternyata begitu luas bahasannya. Tulisan ini adalah bagian ke lima dari hasil kajian saya untuk mencoba mengungkap berbagai informasi masa lalu tentang Bolaang Mongondow.
Semula saya mengira bisa menggali dan menulis segala informasi historis dalam karya ini hanya kurang lebih lima bagian saja. Ternyata saya salah. Masih banyak yang harus diungkap untuk menambah wawasan kesejarahan kita. Pengetahuan di dalamnya semuanya penting untuk diketahui agar jati diri berbangsa kita memiliki dasar yang kuat dan jelas.
Sejalan dengan pendapat Hank Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari dalam kumpulan karya mereka ‘Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia’ yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor, tahun 2013. Bagi mereka, mengapa penulisan sejarah dan klaim kebenaran (truth-claims) tentang masa lampau menjadi demikian penting? Hal ini karena sejarah dianggap sebagai dasar kesadaran sejarah yang fungsinya untuk memperkokoah identitas nasional dan kolektif.
Sadar akan hal ini membuat saya makin semangat untuk tetap menulis bahasan-bahasan penting dalam De Zending In Bolaang Mongondow. Hal ini juga sebagai tanggung jawab untuk membuka kunci masa lalu Bolaang Mongondow agar ruang sejarah yang gelap gulita itu terbuka lebar dan tiap orang yang ingin memasukinya kelak mendapat pelita pengetahuan dari kesadaran sejarah.
Wilken dan Schwarz di Bolaang Mongondow (1866)
Terdapat perbedaan antara Residen Manado dengan para misionnaris di Minahasa menyikapi kondisi masyarakat Bolaaang Mongondow pasca Islamnya Raja Jacobus Manuel Manoppo tahun 1844. Dapat dilihat sebagaimana pada catatan yang lalu (bag.4) bahwa Abraham Isaac Van Olpen, Residen Manado (1843 – 1850), sebagai perpanjangan kuasa Gubernur Jendral Pieter Markus (1841-1844) di Batavia tidak ingin merengek atas keputusan itu.
Bagi Residen Manado, selama Kerajaan Bolaang Mongondow tetap mengakui eksistensi pemerintah Belanda atas tanah mereka dan juga tidak melakukan perlawanan, maka itu menjadi kompromi yang sepadan. Hanya saja, wilayah ini sedang tidak mengetahui buah dari keputusan itu. Mereka tidak akan diperhatikan lagi oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia karena mengambil jalan yang berbeda dan salah dalam pandangan pemerintah.
Sikap pemerintah ternyata berbeda dengan misionaris-misionaris Belanda yang ada di Minahasa. Walaupun tidak ada titik temu lagi antara Residen Manado dan Kerajaan Bolaang Mongondow terkait kelanjutan pengajaran misi, tapi misionaris masih ada yang peduli dengan masyarakat di sini.
Tahun 1866 dua misionaris Belanda yang bernama Wilken dan Schwarz datang ke Bolaang Mongondow untuk mengenal lebih dekat kondisi negeri dan masyarakat yang ada di sini. Dengan harapan dan semangat yang besar, mereka ingin membawa kembali misi ‘gospel’ yang perlahan mulai meredup di kalangan masyarakat kerajaan.
Mereka membuat laporan ekstensif tentang perjalanan dan pengalaman mereka selama di sini yang diterbitkan dalam Mededeelingen van het Nederlandsch Zendeling Genootschap (Vol. 11). Berdasarkan laporan dan riset yang dilakukan selama di Bolaang Mongondow, mereka berkesimpulan bahwa masih ada masyarakat di sini yang rindu dengan perkabaran (misi).
Berpegang pada data hasil laporan dan keinginan sebagian orang yang ada di sini, mereka memutuskan meminta izin pemerintah Belanda untuk segera memulai kembali misi di Bolaang Mongondow. Namun kerja keras mereka tidak terbayar karena pemerintah enggan mengabulkan keinginan mereka berdua karena tidak dapat menjamin keselamatan mereka saat bertugas di Bolaang Mongondow.
Inilah usaha terakhir para misionaris di akhir abad ke-19. Pasca Wilken dan Schwarz, nyaris tidak ada kegiatan misi perkabaran di Kerajaan Bolaang Mongondow sejak tahun 1840-1905. Pada periode inilah Islam tumbuh semakin pesat di masyarakat dan membuat pengaruh agama di wilayah ini makin kuat.
Misi Dunnebier (1905)
Misionaris bersikap objektif dan bijaksana dalam menentukan sikap mereka atas kenyataan bahwa Residen Manado dan Kerajaan Bolaang Mongondow telah bersebrangan perihal keyakinan. Hubungan dua kubu ini tinggal hanya terikat pada kepentingan politik dan ekonomi. Adapun pendidikan rakyat dan pengajaran misi tidak lagi menjadi perioritas.
Memasuki awal abad ke-20, para pengemban misi di Minahasa melihat bahwa masih ada harapan bagi Bolaang Mongondow untuk mendapat kembali berkat Tuhan. Pendidikan dan pengajaran akan kembali dirasakan oleh masyarakat di sana. Misionaris telah menantikan kesempatan ini dan siap mengemban pekerjaan ini dengan senang hati.
Tahun 1905 atas permintaan Raja Datu Cornelis Manoppo (1901-1927) kepada Steven Jan Matthijs van Geuns Residen Manado (1903-1906), agar kiranya pemerintah bisa membuka kembali sekolah di wilayah Kerajaannya. Permintaan ini didasari atas kurangnya sumber daya manusia (SDA) yang bisa diangkat dalam pemerintahan kerajaan karena banyak yang kurang berpendidikan.
Menanggapai permintaan Raja, Residen Manado merasa kurang berwenang memberi keputusan terkait pendirian kembali sekolah-sekolah misi di Kerajaan Bolaang Mongondow. Mereka menyarankan kepada Raja untuk meminta persetujuan langsung pada Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG).
Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) merupakan Serikat Misionaris Negeri Belanda yang berpusat di Rotterdam, Belanda. Lembaga ini diberikan wewenang oleh Kerajaan Belanda untuk berkarya dalam bidang pengabaran Injil dan penyebaran agama Kristen. Pendidikan dan perkabaran berada dalam wewenang mereka sehingga kerajaan harus meminta izin untuk mendirikan kembali sekolah-sekolah di Bolaang Mongondow.
Atas saran Residen Manado, pihak Kerajaan pun mengusahakan izin dari NZG. Tidak selang berapa lama, persetujuan diberikan, dan NZG langsung menginstruksikan kepada W. Dunnebier yang saat itu berada di Minahasa untuk pergi ke Bolaang Mongondow. Beliau pun melaksanakan instruksi ini dengan senang hati dengan harapan yang besar bahwa ‘gospel’ akan mendapat tempat kembali di hati orang-orang di sini.
Dunnebier lalu bergumam; “Was het niet heerlijk, hier thans zulk een geopende deur te vinden, waar die te voren zoolang gesloten was geweest! De hoofden van het volk wisten het: waar de scholen komen zal ook het Evangelie gepredikt worden, maar hiertegen hadden zij geen bezwaren, en zoo kon het Zendingswerk hier worden aangevangen.”
Artinya; “Bukankah luar biasa menemukan dan membuka kembali pintu di sini yang telah ditutup sebelumnya! Kepala-kepala orang tahu bahwa di mana sekolah-sekolah itu akan berada, Injil juga akan diberitakan, tetapi mereka tidak berkeberatan dengan hal ini, sehingga pekerjaan misionaris dapat dimulai di sini.”
Pernyataan Dunnebier menyiratkan bahwa Bolaang Mongondow menjadi tempat yang dirindukan oleh Misionaris. Bukankah usaha mereka untuk mengabarkan misi telah diperjuangkan sejak pertengahan abad ke-19 lalu?, Bukankah ini adalah harapan Guru Jacobus Bastian sebelum beliau meninggal 1881?, ini juga yang diperjuangkan oleh misionaris Wilken dan Schwarz walau berujung pada kegagalan?,.
Misi di Bolaang Mongondow adalah sebuah cita-cita besar bagi Misionaris Belanda di Minahasa. Karena itu kesempatan kali ini harus benar-benar dikerjakan dengan serius. Mereka akan berusaha dengan tulus untuk mencetak generasi terdidik dari Bolaang Mongondow dengan kerja keras dan atas berkat Tuhan. (BERSAMBUNG)
*Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)