Oleh: Murdiono Prasetio A. Mokoginta
Seiring menggeliatnya gelora kebijakan ethische politiek (politik etis) yang dimulai sejak tahun 1901 maka pendidikan di Hindia Belanda diharapkan bisa dikembangkan dan diperluas di wilayah-wilayah kekuasaan kolonial.
Politik etis atau politik balas budi adalah kebijakan dari Ratu Wilhelmina pada 17 September 1901 yang dengan tegas mengatakan bahwa bangsa Belanda memiliki panggilan moral berupa hutang budi kepada bangsa Hindia atas segala yang mereka dapat dari tanah dan penguasaan terhadap orang-orangnya.
Ada tiga kebijakan yang merupakan buah dari politik etis yaitu irigasi, imigrasi, dan edukasi. Dari ketiganya, hanya edukasi yang efek dan implementasinya bisa menyentuh langsung masyarakat pribumi dalam bentuk pendidikan. Banyak sekolah dibangun dan anak-anak Hindia bisa mendapat akses pendidikan pemerintah secara leluasa.
Sayangnya anak-anak yang bisa mendapat akses pendidikan hanya terbatas untuk kalangan masyarakat yang memiliki starata sosial elit seperti anak para raja, bupati, dan bangsawan pribumi, atau pribumi yang mendapat posisi jabatan penting di kalangan pemerintah Belanda. Masyarakat biasa tidak diberi akses untuk mengenyam pendidikan.
Meski begitu ini tetaplah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Kebijakan politik etis berupa edukasi yang membuka akses pendidikan pada tiap wilayah dimanfaatkan oleh Raja Datu Cornelis Manoppo (1901 – 1927) agar Kerajaan Bolaang Mongondow juga bisa mendapat bantuan sekolah dan guru.
Permintaan itu dikabulkan oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) hingga mengirimkan W. Dunnebier dan istrinya ke wilayah Onderafdeling Bolaang Mongondow. Kedatangan Dunnebier disambut dengan hangat oleh Raja Bolaang Mongondow.
Maka dibukalah dua belas sekolah di beberapa tempat dalam wilayah kerajaan. Dunnebier sendiri memilih bertempat tinggal di Poopo yang dihuni oleh masyarakat transmigran dari Minahasa. Di situ terdapat empat komunitas kecil Kristen dan Minahasa yang berada dilanskap ini.
Sebagai guru misi yang datang ke Bolaang Mongondow karena permintaan raja, Dunnebier disambut dengan ramah oleh masyarakat-masyarakat yang dijumpainya juga kepala-kepala suku. Tentu saja tidak semua menyambut dengan cara demikian, namun, masyarakat tidak pernah melakukan tindakan yang menghambat dan menyulitkan pekerjaan mereka. Dunnebier sendiri mengaku cukup senang berada di wilayah ini.
Pengajaran Bahasa Belanda
Masyarakatnyakat kalangan atas di Kerajaan Bolaang Mongondow begitu antusias membawa anak-anak mereka ke sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah sejak tahun 1905. Namun selang setahun mengenyam bangku pendidikan, tahun 1906, muncul pertanyaan di kalangan kepala bentang alam terkait pengajaran bahasa Belanda bagi anak-anak mereka dan orang-orang kaya.
Pelajaran bahasa Belanda dianggap begitu penting untuk diajarkan di sekolah. Begitu penting hingga sebelum dibukanya kembali sekolah di tahun 1905, beberapa kali putra-putri mereka dikirim bersekolah di Minahasa untuk memperdalam pengetahuan bahasa Belanda agar menjadi lebih baik.
Raja sendiri bahkan sengaja mengirim tiga anak laki-lakinya ke Jawa untuk bersekolah di sekolah elit di sana.
Dengan belajar bahasa mereka bisa lebih memperluas wawasan mereka tentang negeri Belanda. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang antusias memperdalam bahasa ini maka pemerintah berupaya memenuhi permintaan ini dengan dengan menunjuk guru Van der Endt pada tahun 1907. Sayangnya dia baru bisa datang ke Bolaang Mongondow di tahun 1910.
Pembukaan Sekolah Hollands (1911)
Secara luas dan terbuka, pembukaan sekolah-sekolah yang diminta oleh raja pada pihak NZG tahun 1905 baru bisa beroprasi secara optimal di tahun 1911. Bolaang Mongondow menunggu empat tahun agar pemerintah mengabulkan permintaan ini. Sambil menunggu pembangunan-pembangunan sekolah rampung, Endt, Dunnebier, dkk, selalu mendapat dukungan dari masyarakat Bolaang Mongondow yang mendambakan pendidikan di sini.
Di awal kedatangan Dunnebier di Bolaang Mongondow belum ada sekolah-sekolah yang layak yang berdiri di kerajaan ini. Karena itu sejak tahun 1906 sekolah yang digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar masih di sebuah toko. Nanti sekitar tahun 1909 sebuah gedung sekolah besar dibangun dengan empat buah ruang kelas yang luas.
Selain sekolah, raja juga membangun rumah yang layak untuk para guru misi. Sebenarnya jika melihat dukungan pemerintah Belanda, dana misi yang diberikan untuk mengembangkan pendidikan di kerajaan sangat minim. Namun berkat bantuan dari raja kepada Dunnebier dan guru misi lainnya, kekurangan anggaran ini bukanlah sebuah kendala.
Kaum bangsawan kerajaan, kepala-kepala suku mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah misi untuk mendapat pendidikan di sana. Sekolah ini penuh dengan anak-anak orang kaya penduduk asli, imigran Minahasa, dan anak-anak Cina yang tinggal di Kerajaan Bolaang Mongondow.
Dunnebier, Endt, dkk, mengajarkan pengetahuan dengan senang hati. Mereka bahkan bukan hanya bertindak sebagai guru, tapi lebih dari itu, mereka juga mengajarkan ajaran ‘gospel’ dengan senang hati. Dengan girangnya Endt menulis;
“Hoe heerlijk was het, voor al deze kinderen niet alleen de onderwijzer te zijn, maar vooral een wegwijzer naar het Vaderhuis. Hoe heerlijk ook, dat zoodoende het Evangelie werd bekend gemaakt, zoowel aan de kinderen der Hoofden als aan de kinderen van het volk! Ge begrijpt, dat deze arbeid, voor nu en later, onder Gods zegen, van groote beteekenis kan zijn voor het heele volk.”(hlm. 20-21)
“Betapa indahnya menjadi bukan hanya guru bagi semua anak ini, tetapi di atas semua itu adalah penunjuk arah ke rumah Bapa. Betapa indahnya bahwa dengan cara ini Injil diberitahukan kepada anak-anak Para Kepala serta kepada anak-anak rakyat! Anda memahami bahwa pekerjaan ini, sekarang dan nanti, di bawah berkat Tuhan, dapat menjadi sangat penting bagi seluruh bangsa. (20-21)
Komposisi Peserta Didik
Kaum perempuan mendapat porsi yang sama dalam pendidikan. Hanya saja kesadaran belum muncul pada sebagian besar orang pada masa itu. Masyarakat umumnya berfikir bahwa pendidikan itu hanya penting untuk anak laki-laki saja. Sedangkan bagi perempuan, pendidikan dianggap tidak begitu penting.
Jumlah siswi perempuan di kelas paling banyak 1/4 dari seluruh siswa-siswi di sekolah.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi perempuan perlahan muncul setelah melihat guru-guru misi lainnya yang justru perempuan seperti Ny. A.G.V. Prehn-Boom, Ny. J. Nijenhuis-Evers, Ny. A.M.V.D. Endt-Mallee, Nettie V. D. Endt, dan Ny. Dunnebier-Demmenie yang merupakan istri Dunnebier. Mereka menjadi inspirasi bagi anak-anak perempuan pribumi Bolaang Mongondow demi mendapat hak yang sama dalam pendidikan.
Belakangan kesadaran pun muncul di hati rakyat. Ada beberapa orang yang mulai menyekolahkan anak-anak perempuan mereka. Guru misi perempuan juga terus memperjuangkan hak-hak perempuan ini demi mendapatkan pendidikan, juga agar anak-anak perempuan pribumi tidak ditolak oleh pihak sekolah.
Mengenai biaya pendidikan, semua murid diminta membayar uang sekolah 3-7 gulden perbulan. Itu disesuaikan lagi dengan keadaan dan kemampuan orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka. Masyarakat di Kerajaan Bolaang Mongondow banyak yang mampu menyekolahkan putra-putri mereka. Ini terbukti dengan jumlah siswa yang terus megalami peningkatan tiap tahunnya.
Sejak tahun 1909-1911 jumlah murid di sekolah bertambah 150 peserta didik.
Beberapa murid ada yang sudah pernah mengenyam pendidikan bahasa Belanda. Mereka yang telah menguasainya dibagi dalam beberapa kelas. Kurang lebih ada tujuh orang yang menguasai bahasa Belanda di sekolah itu. Selain mereka, ada juga dua guru yang datang dari Minahasa yang memiliki kecakapan yang baik dalam bahasa Belanda.
Guru misi yang mengajar di Bolaang Mongondow sangat bersemangat dalam memberikan pendidikan di Kerajaan Bolaang Mongondow. Di sini mereka tidak mendapat kendala apapun. Bahkan seorang putra raja juga turut membantu memberikan sumbangan tenaga untuk menjadi tenaga pendidik di sekolah. Pihak kerajaan dan masyarakat Bolaang Mongondow telah memberi bantuan moril dan materil tak terhingga demi kelancaran pendidikan di negeri mereka. (BERSAMBUNG)
*Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)