Oleh: Sumitro Tegela*
Atas laporan Husen H Damopolii (baru meninggal pekan lalu, Red) dan dibantu Kolonel AY Mokoginta, seluruh pos Permesta dapat dipetakan. Maka atas dasar surat perintah Panglima TT III/ Siliwangi No. SP -473-2/8/1959 tanggal 27 Agustus 1959, sesuai dengan radiogram Kasad Nomor TR.1714/1959, tanggal 24 Agustus 1959, dilakukan operasi pembebasan Permesta di Kotamobagu oleh divisi Siliwangi yang menerjunkan Batalion 330 Kujang I.
Gerakan militer penumpasan Permesta di Kotamobagu ini krusial karena saat itu Kotamobagu dengan medannya yang bergelombang, telah dipersiapkan menjadi daerah basis pemunduran bagi pihak Permesta. Jadi taktis maupun strategis mempunyai nilai yang sangat penting.
Di bawah ini akan kami paparkan khusus gerakan-gerakan atau operasi-operasi yang dilaksanakan oleh Batalyon 330/Kujang I beserta tenaga -tenaga bantuannya, – tanpa mengurangi porsi kesatuan-kesatuan lainnya dalam operasi ini, berdasarkan buku ‘Divisi Siliwangi Dari Masa ke Masa’.
Setelah diadakan apel batalyon seluruh kekuatan organik Batalyon 330/Kujang I dan tenaga bantuan pada tanggal 29 Agustus 1959 pagi, dengan juga disaksikan oleh sebagian besar keluarga batalyon tersebut dan diinspeksi oleh Panglima TT III, maka sudah siaplah Batalyon 330/Kujang I bergerak meninggalkan basisnya untuk memulai tugas mengawal “Proklamasi 17 Agustus 1945.”
Operasi di Sulawesi dibawah pimpinan Mayor S. Surya. Pada tanggal 30 Agustus 1959, pada pagi- pagi pukul 05.00 WIB, mereka diangkut secara berangsur-angsur dari Dayeuhkolot menuju stasiun Bandung, dengan diantar do’a – restu keluarga dan handai- taulan.
Setelah apel batalyon di depan setasiun Bandung pada pukul 07.00 WIB, lalu berangkat dengan kereta api luar biasa pada pukul 07.51 WIB menuju Jakarta. Tiba di Tanjung Priok pada pukul 13.30 WIB, lalu disambung dengan truk DAAD setempat langsung embarkasi naik kapal “Hongkong Fir” dan diinspeksi oleh KSAD Letnan Jenderal A.H. Nasution pada pukul 16.45 WIB.
Keesokan harinya pada pukul 10.45 WIB, kapal ”Hongkong Fir” membongkar sauh. Kecepatan kapal ini adalah 11 mil laut minimum dan 13 mil laut maksimal. Dalam rangka pengamanan batalyon dan gerakan, maka komandan batalyon memerintahkan kepada Sersan Mayor M. Washington dari Si I/330 untuk mengamankan hubungan radio – telegrafi kapal, dengan ketentuan mengawasi pengiriman dan penerimaan berita ke dan dari manapun.
Menurut kapten kapal, “radio -verbindingstijd” -nya adalah pada pukul 07.30-09.30 ; 11.30-13.30 (cadangan ),15.30—17,30 ; dan 19.30-21.30. Adapun untuk tugas liaison ke Kodam Merdeka, pada sehari sebelum keberangkatan pasukan, Kasi I dan II telah diberangkatkan terlebih dahulu dengan menumpang pesawat udara.
Dalam rangka pengamanan pula, maka pada tanggal 1 September 1959 komandan batalyon mengumumkan melalui pengeras suara pada pukul 11.20 WIB tentang kewaspadaan dan persiapan akan kemungkinan serangan dari pihak musuh, baik dari kapal laut maupun dari pesawat udara. Guna pembinaan moril batalyon, maka pada hari itu tak lupa dilaksanakan kenaikan pangkat beberapa Tamtama menjadi Bintara dan dari Bintara menjadi Pembantu Letnan II serta pelantikan beberapa pegawai sipil menjadi Tamtama. Di samping itu guna lebih mengokohkan kelancaran gerakan, diadakan pula pergeseran -pergeseran dan penempatan pejabat- pejabat yang dipandang perlu.
Demikian pula diadakan rapat antara komandan batalyon dengan komandan- komandan Kompi serta para Kasi. Pada tanggal 1 September kapal sudah berada di perairan antara Cirebon dan Semarang, dan pada tanggal 4 sudah menyusuri ujung Pulau Selayar. Pada tanggal 5 September membongkar sauh di Teluk Gorontalo pada pukul 18.00 WITA. Maka tibalah batalyon 330 di garis awal operasi pembebasan Kotamobagu dari tangan Permesta.
Di dalam rapat pada tanggal 6 September 1959 yang diselenggarakan dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Mursyid, Panglima Kodam Merdeka pada waktu itu, dengan Komandan Batalyon beserta beberapa Perwira Batalyon 330 yang berlangsung antara pukul 08.45 s /d pukul 11.00 WITA, yang dihadiri juga oleh perwira-perwira AD-AU-AL yang kompeten di tempat, dibicarakan tentang:
1. Situasi daerah musuh.
2. Menentukan rencana penyerangan.
3. Penentuan sasaran merebut Kotamobagu dan sekitarnya dari tangan Permesta.
Sekarang tibalah saatnya untuk melaksanakan gerakan membebaskan Kotamobagu!
Sesuai dengan keputusan ondergroep pada tanggal 7 September 1959 di bawah pimpinan komandan batalyon 330, pendaratan akan dibagi dua, yakni pendaratan di bagian Selatan dan pendaratan di bagian Utara. Adapun untuk penunjuk jalan telah diperbantukan 3 orang oleh Kodam Merdeka, yakni Husein H Damopoli dan dua orang lain. Sedangkan Kolonel Mokoginta beserta 40. orang anggota partisannya pada pukul 18.10 WITA ikut bergabung dalam rombongan tersebut, yang kemudiannya akan dibagi-bagikan ke dalam kompi-kompi Batalyon 330.
Adapun gerakan yang sebenarnya adalah pasukan-pasukan yang didaratkan di bagian Selatan, yakni di ”Pantai Merah” Onggunoi, di bawah pimpinan Komandan Batalyon 330. Kesatuan yang didaratkan di bagian Utara di Inobonto dibawah pimpinan Wakil Komandan Batalyon 330, dipandang dari sudut kebulatan gerakan atau operasi ini, boleh dikatakan sekedar merupakan gerakan semu atau pancingan belaka.
Gerakan gerakan kesatuan Batalyon 330/Kujang I di bagian Selatan yang merupakan gerakan penyerbuan yang sebenarnya, pendaratan ini bersifat pendaratan senyap. Untuk membuat pancangan kaki atau //beachhead// akan diterjunkan Kompi D/330 diperkuat oleh satu Regu Mo 60. Pendaratan Kompi D/330 itu akan dilaksanakan berangsur-angsur, peleton demi peleton sebagai berikut:
1. Fase 1: Peleton Kie D 2 1 Ru Pi & Mi + 1 pucuk Mo.60.
2. Fase II: 1 Peleton Kie D + Kel . Ko Kie + 1 Ru Pi & Mi.
3. Fase III: 1 Peleton Kie D + Kie- kie Batalyon 330 lainnya.
Pendaratan secara berturut turut itu dilakukan atas dasar pelbagai pertimbangan tertentu. Antara lain minimnya alat pendaratan yang tersedia, yakni: sebuah LCVP dan dua buah sloep bermotor dari kapal ”Hongkong Fir ”. Adapun Kompi B/330 akan memperbesar pancangan kaki ke arah Barat, di mana di belakangnya akan bergerak Ko Batalyon 330, Kie C/330 akan memperluas ke utara dan Kie A/330 ke arah Timur.
Untuk menjaga kemungkinan adanya penembakan dari pihak musuh, disediakan beberapa sloep dan perahu- perahu karet cadangan. Demi menjaga kelincahan bergerak, maka kelompok pendaratan fase I tidak dibenarkan membawa ranselpun. Sedangkan regu pantai (Pi & Mi) membawa batterai.
Berdasarkan perintah Operasi Panglima Kodam Merdeka, gerakan itu dimulai pada tanggal 7 September pukul 09.20 WITA, sebagai berikut: Kapal “Hongkong Fir” dan “Beaso” mengangkut Kompi Yon 330, Korvet LRI BS 16 “Lamadang” mengangkut Mco dan pasukan pengawalnya. Dua buah LCVP yang ditarik kapal “Hongkong Fir”, – sebuah diantaranya rusak dan ditinggalkan di pantai Bone-, untuk pendaratan. Pada tanggal 8 September 1959 pukul 01.00 WITA, konvoi kapal- kapal itu tiba di perairan “Pantai Merah” (Onggunoi).
Oleh karena kesulitan teknis, maka pendaratan baru dapat dilaksanakan pada pukul 06.00 WITA, yakni oleh Peleton III Kie D/330 + 1 RuPi Mi + 1 Ru Mo.60 di bawah pimpinan Pembantu Letnan II Juhana dan baru pada pukul 09.00 WITA seluruh Kie pancangan kaki (Kie D beserta bantuannya) secara berangsur- angsur selesai didapatkan. Setelah dengan susah payah melawan gelombang pasang dan angin besar, satu- satunya LCVP yang ada mengalami kerusakan pada kemudi dan akhirnya daun kemudinya patah.
Pada pukul 12.00 WITA baru dapat menyusul mendarat Kie B/330. Pada pukul 17.00 WITA 2 Kie lainnya, dan akhirnya pada pukul 24.00 semua kekuatan selesai didaratkan dengan selamat tanpa perlawanan dari musuh dengan mempergunakan //sloep-sloep// dari kapal “Beaso” dan sloep bermotor dari kapal “Hongkong Fir”. Pendaratan sudah selesai, pancangan kaki sudah usai, maka mulailah mars. Mars menuju Kotamobagu!
Peleton 1 /Kie B, 330 dibawah pimpinan Letnan II Sukatma, begitu mendarat segera mendapat perintah membuka gerakan pembersihan di kampung Tolondadu, di mana menurut keterangan penduduk setempat, sejumlah enam orang prajurit Permesta, melarikan diri ke arah kampung Tobayagan. Keesokan harinya, tanggal 9 September pukul 08.00 WITA, pasukan bergerak menuju kampung Dumagin dan tiba di tempat tujuan pada pukul 11.45 WITA tanpa menghadapi rintangan dari Permesta dan disambut dengan gambira- ria oleh penduduk setempat.
Pasukan berhenti di kampung Dumagin, hingga pukul 13.00 WITA untuk kemudian melanjutkan gerakannya sesuai dengan route yang telah ditentukan , dan baru berhenti untuk berkemah pada pukul 17.30 WITA di tepi sungai Tombanyatong pada Co.616.193 .Pada keesokan harinya, tanggal 10 September pukul 07.30 WITA pasukan bergerak kembali dan berhenti istirahat dan makan siang pukul 11.45 WITA pada Co 577.234 . Selesai makan dan istirahat seperlunya, gerakan dilanjutkan untuk kemudian pada pukul 15.45 berhenti pada Co. 267.570 untuk bermalam dengan mendirikan kemah (BERSAMBUNG).
*Penulis adalah anggota Polri, periset, peneliti dan pemerhati sejarah budaya BMR; materi disadur dari buku “Divisi Siliwangi Dari Masa ke Masa”