Oleh:
Donald Qomaidiansyah Tungkagi*
Hingga tulisan ini dibuat, masih terus berlangsung diskusi tentang Gumalangit di salah satu WAG (WhatsApp Grup) yang saya ikuti. Usut punya usut, diskusi itu dipicu pembahasan celetukan bernada heran dari seorang jurnalis atas penyampaian bahwa leluhur Bolaang Mongondow bermula dari Gumalangit, dianggap sebagai manusia supranatural yang turun dari langit.
Hal ini disampaikan melalui pengeras suara (pembicara sengaja tidak disebutkan) pada upacara peringatan HUT Kabupaten Bolaang Mongondow ke-67, Selasa (23/3/2021).
Tulisan ini sebenarnya ingin saya sampaikan di WAG tersebut, namun karena pertimbangan menjaga fokus argumentasi, sengaja saya buat tulisan tersendiri. Agar argumentasi dalam tulisan ini bisa dibaca lebih luas tak terbatas WAG, maka tulisan ini sengaja dipublis biar sekalian saja dibaca banyak orang. Syukur jika sampai memantik diskusi lanjutan.
Sebenarnya pertanyaan sang jurnalis tersebut, jangankan bernada heran, tidak percaya pun bagi saya biasa saja. Saya termasuk yang mempertanyakan ini sejak mulai gandrung menelusuri sejarah dan budaya Bolaang Mongondow di awal-awal kuliah di Gorontalo sekitar tahun 2010.
Kegelisahan penelusuran sejarah dan kebutuhan akan pengetahuan identitas kejatidirian daerah ini yang di kemudian hari menjadi buku saya berjudul “Membaca Kembali Bolaang Mongondow: Renungan Masa Lalu, Kini dan Nanti” (Oase Pustaka: 2017).
Buku tersebut membahas tentang berbagai tawaran tentang cara membaca sejarah Bolaang Mongondow. Selengkapnya silahkan dibaca saja. Saya mendikusikan tentang Gumalangit pada topik “Menelusuri Jejak Genealogi Bolaang Mongondow” halaman 52-68. Isinya tak hanya berupaya merasionalisasikan mitologi Gumalangit.
Saya bahkan mencoba mulai merintis cara pandang baru untuk menelusuri fase (masa) leluhur Bolaang Mongondow bahkan jauh sebelum fase Mokodolodut bahkan Gumalangit. Harus diakui tulisan sejarah Bolaang Mongondow saat ini masih mentok di fase 1400. Fase sebelum itu masih tidak terjamah sama sekali.
Meminjam pisau dekonstruksinya Derrida, saya coba menelusuri lebih jauh leluhur Bolaang Mongondow dengan pendekatan linguistik hingga tawaran penggunaan rumus matematika kesamaaan kosakata bahasa. Temuan Arkealogi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) juga tak saya lewatkan, bahkan dijadikan pijakan untuk menelusuri manusia Dumoga yang justru disinggung dalam tradisi lisan Gorontalo meski tidak secara eksplisit.
Baik, kembali ke pokok bahasan tentang Gumalangit. Sebelum itu, secara singkat kita perlu diskusikan tentang apa itu mitos dan mitologi?
Tentang Mitos dan Mitologi
Seringkali kita salah kaprah, bahkan menganggap mitos dan mitologi sama saja. Padahal para ahli menilai keduanya berbeda.
Pakar ilmu antropologi seperti Malinowski bahkan membedakan pengertian mitos dari legenda dan dongeng. Baginya, legenda merupakan cerita yang diyakini yang seolah-olah merupakan kenyataan sejarah; sedangkan dongeng mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan dengan ritus.
Mohamad Arkoun (1999: 113) melihat mitos dan mitologi adalah dua kata yang memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan itu tidak terletak pada jenisnya, namun pada tingkatannya. Bagi Arkoun ketika mitos telah runtuh dan merosot maka mitos itu telah berubah menjadi khurafat (mitologi) yang tidak memiliki nilai, sekalipun ia tetap tertanam kuat dalam kesadaran populisme suatu bangsa atau kelompok.
Di sanalah mitos menurut Arkoun memiliki makna positif dengan mengisi tekad dalam cita-cita dan mendorong ke arah kemenangan dan realisasi diri di atas bumi ini. Sementara itu mitologi menurutnya hanya akan melemahkan tekad dan menyerukan sikap santai, puas dan menyerah terhadap dekapan fanatisme yang telah lama sakit dan tidur di atas sejarah. Mitos yang telah usang akan melahirkan khurafat (mitologi).
Dalam hubungannya dengan konteks modern ini penggambaran keilmuan bagi realitas telah menggantikan posisi mitos, sementara ideologi atau paham (dalam arti negatif) telah menggantikan posisi mitologi.
Edward B. Tylor mengungkapkan mitos seharusnya tidak ditafsirkan dengan cara penafsiran yang salah, tetapi ia adalah cara pandang yang mendalam dan filosofis tentang dunia. Mitos tidak bisa ditolak sebagai persoalan yang salah maupun yang tolol. Lebih dari itu mitos harus dikaji sebagai produk yang menarik dari pandangan manusia (Bell, 1997: 4). Karena itu, mitos menurut Parcy S. Cohan dipahami sebagai cerita tentang peristiwa awal mula dan transformasi termasuk di dalamnya tentang Tuhan, dewa dan dewi, yang mempunyai kualitas sakral yang penyampaiannya dalam bentuk-bentuk simbolis (Cohan, 1969: 337).
Dhavamony (1995: 152) telah mengurai secara luas macam-macam mitos. Pertama: mitos penciptaan, yaitu mitos yang menceritakan alam semesta yang sebelumnya tidak ada. Kedua: mitos kosmoginik, mitos yang mengisahkan penciptaan alam semesta dengan menggunakan sarana yang sudah ada. Ketiga: mitos asal-usul, mitos yang mingisahkan asal mula atau awal dari segala sesuatu. Keempat: mitos mengenai para dewa dan mengenai makhluk adikodrati. Kelima: mitos yang terkait dengan kisah penciptaan manusia. Keenam: mitos yang berkenaan dengan transportasi.
Tafsir Mitos Gumalangit
Dari varian mitos yang telah diuraikan, kita sudah mulai bisa menempatkan posisi Gumalangit, yakni sebagai mitos asal-usul masyarakat Bolaang Mongondow. Tentunya ini tidak menutup kemungkinan untuk terus direkonstruksi bahkan didekonstruksi.
Semangat nilai konstruksi mitos tidak akan lepas dari latar sosio-kultural dari pengkonstruk mitos itu sendiri, tergantung dimana, kapan mitos itu di konstruksi.
Dengan begitu bisa dipahami bahwa karakteristik mitos yang berkembang di masyarakat Bolaang Mongondow mempunyai fungsi tersendiri yang tentunya tidak akan lepas dari karakter dasar kondisi lokalitasnya.
Konon katanya, asal-usul masyarakat Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit (Budolangit) dan Tendeduata, Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat yang mendiami Gunung Huntuk (Komasaan). Pada waktu itu disinyalir wilayah Bolaang Mongondow masih tergenang air, Gumalangit/Budolangit (orang yg turun dari langit) secara khusus diceritakan sebagai orang pertama yang mendiami tanah Bolaang Mongondow (Tungkagi, 2017: 52).
Menariknya, beberapa suku bangsa di Sulawesi menuliskan mitologi asal-usul nenek moyang mereka dengan padanan kata yang berhubungan dengan langit. Sebut saja Hulonthalangi di Gorontalo, Gumansalangi di Sangihe, bahkan orang Tolaki awalnya menamakan dirinya Toliahianga (orang langit).
Memang mitologi orang langit ini masih menimbulkan perdebatan tersendiri di kalangan para pengkaji sejarah lokal di kawasan Sulawesi. Terdapat dua kubu dalam perdebatan ini, yakni;
Pertama, yang berpandangan bahwa diduga pencatutan nama “langit” merupakan rekayasa pihak kolonial untuk merekonstruksi asal-usul lokal karena ketiadaan sumber.
Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa boleh jadi kesamaan mitologi genealogi ini justru sebagai penguat adanya kaitan persaudaraan.
Saya termasuk yang mengikuti pendapat kedua ini. Bahwa kesamaan genealogi yang menggunakan kata langit menjadi salah satu bukti kekerabatan.
Abdurauf Tarimana mengutip M. Granat justru berpendapat bahwa yang dimaksud dengan istilah “langit” itu justru merujuk pada “kerajaan langit” yakni Cina. Pendapat ini menguatkan teori migrasi manusia purba dari Yunan (Cina) melalui jalur Filipina ke Sulawesi. Kesamaan beberapa kosataka bahasa Mongondow dengan bahasa Tagalog Filipina justru menguatkan pendapat ini secara teoritis.
Tafsir sejarah Gumalangit meski masih cenderung mitos ataupun mitologi—sebab masih sulit dipahami tafsirnya oleh orang lain di luar Bolaang Mongondow—bukanlah semata tumpukkan takhayul atau khayalan yang dibuat-buat oleh para pendahulu.
Cerita Gumalangit adalah konstruksi masyarakat Bolaang Mongondow pada masa itu untuk menjelaskan fenomena yang mereka alami. Sebab para pendahulu kita juga tidak semudah itu mampu mengkonstruksi sebuah mitos, seperti mitos Gumalangit jika tidak ada fenomena yang melatari sebelumnya.
Meminjam konsep Imanuel Kant bahwa setiap fenomena (yang nampak) seringkali mempunya neumena dibalik itu. Demikian juga mitos Gumalangit sebagai hasil konstruksi fenomena yang merupakan ekpresi dan bersumber dari dunia pada waktu itu.
Hasil konstruksi yang melahirkan mitos Gumalangit yang kita pahami saat ini sejatinya menyimpan noumena sebagai realitas yang tidak dapat dijangkau oleh rasio. Bisa jadi kesulitan merasionalisasi fenomena tersebut sehingga menjadi mitos atau mitologi justru karena pengungkapannya menggunakan pendekatan bahasa lisan yang tak lepas dari ekspresi perasaan.
Last but not least, mitos Gumalangit, meminjam padangan Arkoun (1999: 114) senantiasa mengidealkan adanya pembaruan-pembaruan sesuai dengan tingkat perkembangan zamannya. Sebab sekali saja ia kehilangan daya aktualnya maka ia tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan nilai fitalitas masyarakatnya.
Bisa jadi polemik mitos Gumalangit saat ini justru menjadi tanda saatnya kita melakukan pembaruan terhadap nalar sejarah kita demi mendorong pembangunan Bolaang Mongondow Raya berbasis kearifan lokal di masa mendatang.
*) Penulis, dosen Sosiologi Agama IAIN Sultan Amai Gorontalo dan Direktur The Bolmongraya Institute.