CERPEN | dari Novel Damopolii*)
Toa masjid belum lama mengumandangan bunyi azan. Suara itu kedengaran jelas dari sudut ruang sebuah kedai kopi di Kotamobagu dimana Owen dan Noval sedang terlibat pembicaraan. Sore itu agak basah. Hujan memang baru saja mengguyur.
“Kau jadi ke Dumoga sore ini?” tanya Noval. Owen mengangguk sembari mengemas barang bawaannya, sebuah ring bag hitam.
“Tak bisa ditunda?” sergah Noval.
“Sudah berkali-kali tertunda. Aku pikir sebaiknya sekarang”
***
Entah sudah berapa umur rumah itu? Namun yang jelas rumah itu nampak sudah begitu tua. Itulah pula yang mungkin membuat pemilik atau pewarisnya tak lagi tinggal disitu. Membuat rumah berbahan kayu itu terus saja suram, terlantar.
Sekilas memang tak ada yang istimewa dari rumah itu kecuali struktur bangunannya yang bercirikan rumah adat Mongondow dengan dua tangga mengapit di kiri-kanannya.
Tapi bagaimana mungkin rumah ini bisa luput dari pandangan selama ini? Padahal rumah ini berdiri di tepi jalan protokol tak seberapa jauh dari pusat kota, berjejer dengan rumah warga lainnya.
Tak banyak yang mengetahui bahwa rumah tua itu menyimpan banyak kenangan dan saksi bisu dalam perjalanan sejarah Bolaang Mongondow. Ia pernah ditinggali Harsono Tjokroaminoto ketika berkunjung ke Bolaang Mongondow di masa ketika Sarekat Islam sedang berjaya.
Rupanya Owen menghentikan laju kendaraannya saat melintas tepat di depan rumah tua ini. Setelah memarkir kendaraannya agak ke tepi, ia turun lalu melangkah menuju halaman rumah itu. Entah apa yang terlintas di benaknya? Mungkin spontan setelah melihat ada rumah dengan desain adat dan nampak tua masih bertahan di tengah pemukiman kota dengan rumah-rumah yang lebih modern.
Gerimis tiba-tiba turun seolah menyambut kedatangannya. Namun tak ada orang di situ ketika Owen sampai. Ia sendiri heran, kenapa baru kali ini melihat ada rumah setua itu di jalan yang hampir setiap hari ia lintasi.
Merasa agak janggal sekaligus ada yang penting, ia berkeliling lalu mengambil gambar mengandalkan kamera ponsel. Ia naiki tangga lalu memotret beberapa sudut yang menurutnya penting. “Bagaimana mungkin rumah ini bisa luput dari pandangan kita selama ini,” gumamnya.
Tak jauh dari tempat Owen mengambil gambar rumah, seorang lelaki tua menatap tajam ke arahnya. Dalam hati bergumam, “Sudah saatnya”. Owen tak menyadari ini. Ia terus sibuk memperhatikan rumah tua itu dan terus memotret.
Lelaki tua melangkah tertatih-tatih ke sebuah warung di sebelah rumah yang terus menyita perhatian Owen. Ia lalu meneruskan langkah menuju rumah di belakang warung itu berada. Di rumah itu ia menuju ruangan yang nampak seperti gudang kecil penuh peralatan bekas dan perkakas berserakan.
Di langit-langit ruangan itu, tergantung sebuah kotak kecil. Lelaki tua ini mengambil kursi agar ia bisa berdiri lebih tinggi untuk meraih dan menurunkan kotak kecil yang menggantung di langit-langit.
Tak ada yang istimewa dari kotak itu. Di dalamnya hanya terdapat gulungan kertas yang nampak menguning saking tuanya. Lelaki tua lantas mengambil gulungan kertas itu dan membawanya ke dalam rumah. Kotak penyimpanan ia biarkan tergeletak di lantai.
Di ruang tamu lelaki tua ini duduk lalu membuka gulungan kertas dimana pertama kali yang terbaca saat gulungan dibuka adalah sebaris tulisan; maruatoi. Sembari tersenyum, lelaki tua ini segera menghancurkan gulungan kertas itu lalu mengambil ponsel di meja tempat ia biasa menaruhnya. Ia menelfon sebuah nomor. Entah apa yang dibicarakan.
Sejurus kemudian lelaki tua ini kembali duduk. Seketika terbayang wajah gurunya. Ingatannya kembali menerawang menuju sebuah bukit tempat ia pernah menuntut ilmu.
Sejak usia tujuh tahun ia telah mengikuti gurunya. Ia adalah seorang yatim piatu. Orang tuanya meninggal ketika memberontak melawan Belanda. Oleh gurunya, ia diselamatkan ketika rumah mereka di Molinow di bakar Belanda. Gurunya lantas membawanya ke sebuah bukit di daerah Dumoga. Disitu ia diberi banyak pengetahuan.
Saat berumur 20 tahun, oleh sang guru ia diijinkan kembali ke kampungnya Molinow. Sesampainya di Molinow, banyak perubahan dilihatnya; rumah peninggalan orang tuanya tak ada lagi yang tersisa. Hanya tanah kosong. Ia lantas menuju ke rumah pamannya.
Tahulah ia kalau pamannya adalah keluarga satu-satunya yang ia miliki. Di rumah sang paman, wajah tua itu agak asing menyambutnya. Tapi akhirnya gembira ketika tahu siapa yang kembali.
Pamannya adalah sosok pendiam, sama seperti Ayahnya. Hanya bicara jika penting. Diraihnya tangan pamannya lalu diciumnya. Air mata haru mengalir. Pamanya berkata seorang laki-laki harus tegar, kuat seperti Ibantong. Tak lama kemudian pamannya menuju kamar lalu keluar sembari membawa sebuah kotak.
“Ini yang engkau butuhkan, semuanya ada di dalam” kata pamannya. Ia meraih kotak itu dan membukannya ketika sang paman menyuruhnya. Kotak itu berisi lipatan-lipatan kertas dengan tulisan tangan di dalamnya. Sepertinya penting. Satu yang menyolok perhatian adalah sebuah gambar berisi keterangan-keterangan juga sketsa sebuah rancang bangun.
***
Owen mengontak Noval lalu berkata akan menemuinya di kedai seperti kemarin. Noval mengiyakan. Tak lama berselang Owen tiba. Noval sudah menantinya di sudut ruangan tempat mereka biasa ngobrol. Kopi lantas dipesan.
Sembari menunggu pesanan itu, Owen menceritakan singkat terkait agendanya di Dumoga kemarin. Noval begitu antusias mendengarkannya. Namun demikian ada yang menurut Owen menjadi penting untuk dibahas.
Beberapa kawan lantas dikontak untuk bergabung. Setelah semuanya berkumpul di satu meja, seperti hendak mengungkap sebuah rahasia, Owen lantas memperlihatkan gambar yang dipotretnya kemarin.
Tak ada komentar khusus dari kawan-kawan yang baru bergabung. Owen kembali menyuruh mereka memperhatikan gambar itu. Sama, belum ada komentar khusus.
“Itu ornamen yang umum ditemui di rumah – rumah tua di Bolaang Mongondow. Di Kopandakan masih ada kok ornamen macam begini,” kata salah seorang kawan.
Noval lalu memelototi gambar itu, lalu sontak merespon;
“Itu lambang maruatoi dan tongkat Musa!! Ini yang dicari-cari oleh…….”
Noval menunda ucapannya. Ia lantas memutar kepalanya mengitari setiap ruangan memperhatikan orang-orang di sekitar, seolah menyelidik. Ia lantas mulai berkata-kata lagi dengan nada berbisik.
“Pohon dan daun kehidupan, cahaya emas, cahaya matahari, maruatoi, tongkat yang dijaga dua banteng memegang pedang, inilah legenda tongkat Musa itu! Pantas usai kau potret, rumah itu dibongkar,” demikian Noval memberi komentarnya.
*) Pemerhati sejarah dan budaya.