Catatan | Anugrah Begie Gobel
Berakhir sudah perhelatan turnamen sepakbola Walikota Cup V 2023. Bintang Muda Matali (BMM) tampil sebagai jawara setelah menumbangkan tetangga, saudara muda —Matali adalah salah satu kampung tua dalam sejarah Bolaang Mongondow dan Sinindian adalah pemekaran Matali— sekaligus rival berat dalam sejarah panjang sepakbola kedua kampung itu, Persin Sinindian.
Begitu klasik dan ikoniknya pertemuan Matali (terepresentasi lewat BMM saat ini) vs Persin Sinindian (sudah terbentuk sejak 1968) hingga publik sepakbola Kotamobagu dan BMR melabeli pertemuan keduanya dengan “El Clasico”, sebagaimana El Clasico antara FC Barcelona vs Real Madrid di La Liga, Der Klassiker Bayern Muenchen lawan Borussia Dortmund di Bundesliga, atau Le Clasique saat Marseille bersua Paris SG di Ligue1 Prancis.
Baca juga: Kado Terindah BMM untuk Sang Walikota
BMM adalah juara Walikota Cup pertama pada tahun 2015. Setelah diselingi juara edisi kedua oleh AYMS Bakan pada 2017, Persin pesta juara di kadang rival bebuyutannya itu —Walikota Cup tiap edisi selalu digelar di Stadion Nunuk, Matali, kecuali Walikota Cup IV 2019 di Stadion Motobatu, Poyowa Besar II— pada Walikota Cup III di 2018. Bogani Putra Biga kampiun edisi IV 2019.
Dengan demikian BMM memulangkan Walikota Cup ke Matali, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Walikota Tatong Bara, yang juga adi’ lipu naton kampung itu.
Ada beberapa catatan yang ingin saya kemukakan dari perhelatan Walikota Cup V 2023.
Catan pertama adalah Aimar Mohama. Aimar yang akrab disapa Imar adalah pemain muda berusia 18 tahun, gelandang serang Persin. Singa muda asli Sinindian itu tak sempat menyelesaikan turnamen, termasuk partai final karena harus kembali ke klub pemiliknya saat ini, Barito Putra. Klub asal Banjarmasin itu adalah peserta Liga1. Imar memang “diekstradisi” karena harus ikut kompetisi U-19 yang diikuti Barito. Selain tenaganya dibutuhkan Barito, Imar juga adalah punggawa tim Pra PON Kalsel.
Imar sudah memasuki tahun kedua di Barito Putra. Artinya eksistensinya memang diakui, di tengah kelemahan fisiknya yang teramat kecil untuk ukuran pesepakbola level nasional. Malah ada selentingan kabar, klub peserta Liga1 lainnya yang juga berasal dari Kalimantan, Borneo FC sudah mengincarnya dengan mulai membuka pembicaraan merekrut Imar.
Baca juga: ‘Cannon Ball’ Erdin Dali Ciptakan Duel Klasik di Final
Poin yang ingin saya sampaikan adalah, satu rising star dari Kotamobagu siap muncul. Pertanyaan yang kerapkali mengemuka kala Wahyudi “Yoko” Hamisi, juga produk asli Persin, stabil dan memasuki musim ketujuh di Liga1 (saat ini di PSS Sleman, setelah menghabiskan enam musim di Borneo FC).
Untuk kelas Kotamobagu dan BMR, Imar memang spesial. Pada turnamen Tarkam yang digelar di mana-mana, Imar pasti menjadi starter di tengah kepungan pemain “kepala dua, tiga, bahkan empat”. Pemain terbaik dan top scorer pun menjadi langganan Imar. Di akhir Desember 2022, pada turnamen Karang Taruna Cup di Poyowa Besar I, dia mengamankan dua gelar individual itu sekaligus!
Hingga tak heran jika Imar selalu menjadi starter Persin di Walikota Cup V 2023, sebelum kembali ke Pulau Borneo. Hal krusial yang hendak saya kemukakan ialah, Kotamobagu dan BMR tak pernah kering bakat istimewa pesepakbola. Di kala klub-klub elit Walikota Cup V sebegitu mengagungkan pemain “transfer” untuk jaminan kualitas dan kedalaman tim hingga seperti “menutup mata” untuk pemain berbakat BMR, Imar memberikan pengecualian, juga bukti bahwa pemain BMR pun “ada”.
Sebetulnya selain Aimar Mohama, ada satu bakat yang saya tunggu bermain dan inginkan ditonton publik bola pada Walikota Cup V yang baru usai tersebut. Pemain kidal yang bakatnya tak kalah dari Imar itu adalah Fari Makalalag, anak Matali yang pernah menimba ilmu di U-17 Borneo FC dan tim senior Tiga Naga FC di Pakanbaru, Sumsel.
Ai, sapaan akrabnya bahkan hampir tembus PSSI U-16 tiga tahun silam, hanya gagal karena minim koneksi. Bukan karena skill. Dia produk asli BMM kemudian diasah di FU Akademi, milik Firman Usman, yang rutin berlatih di lapangan Sinindian. Apa lacur, Ai tak bisa bermain di klub manapun karena sedang dalam persiapan pendidikan masuk sekolah kepolisian.
Ringkasnya, Imar dan Ai hanyalah pesan simbolik saya, bahwa BMR tak pernah kekurangan talenta brilian. Klub peserta Tarkamlah yang harus memberi mereka tempat untuk mengangkat nama mereka.
Saya sedikit terhibur dengan partisipasi klub-klub yang berpilarkan anak muda di Walikota Cup, dan kebetulan kompak kandas di 16 Besar, yakni Maleo FC Bolsel, Rotasi Putra Motoboi Besar, dan Kotamobagu FC.
Catatan kedua adalah Diktra Prima Pobundayan. Ada apa dengan mereka? Saya berkeyakinan, jika saat ini Persin Sinindian yang mendominasi Tarkam BMR, maka di beberapa tahun mendatang, dominasi itu akan diambil alih Diktra Prima. Di berbagai sektor mereka hampir komplit, dengan usia 23 tahun ke bawah, bahkan 16-17 tahun!
Dari penjaga gawang, ada Fanji Makalalag dan Tegar Mokodompit. Sektor belakang Diktra punya Reza Mokodompit, Ikbal Damopolii, serta bek sayap multi fungsi Fauzi Achmadi yang saat ini masih bertahan di tim Pra PON Sulut. Beralih ke tengah, asuhan Reflin Buntuan dan Wiwin Haidari ini tersedia Nandi Mokoagow dan Didi Hippi. Di depan, Syaiful Hippi punya penerus yang siap mentas dalam diri Jusran Paputungan, bahkan bakat istimewa pada diri mesin gol Imam Makalalag dari U-13.
Saya punya ekspektasi, sebab seperti Persin, mereka telah bermain bersama dalam jangka waktu yang lumayan lama, sejak U-9. Sepakbola adalah permainan tim, sehingga chemistry menjadi salah satu faktor kesuksesan. Dominasi Persin karena mereka punya pemain yang bermain bersama bertahun-tahun!
Asal tetap humble tidak merasa besar kepala dan terus bermain bersama, Diktra Prima yang Walikota Cup V baru sampai 8 Besar, bakal terus berkembang.
Sebagaimana substansi di catatan pertama di atas, jika era Persin berakhir, Diktra Prima menggantikan, harapannya ada paket pemain lokal BMR yang tak kalah kualitasnya dengan paket pemain “transfer” yang menghabiskan “devisa”, namun hasilnya belum jaminan juara pertama.
Catatan ketiga adalah soal infrastruktur pertandingan yakni lapangan dan stadion. Walikota Cup V menguak fakta telak. Betapa memprihatinkannya infrastruktur di Kotamobagu.
Kondisi paradoksal dengan terus bertumbuh kembangnya bakat-bakat bagus bahkan istimewa seperti paralel dengan catatan pertama dan kedua tersebut di atas. Stadion Nunuk, apa boleh buat, adalah stadion “terbaik” saat ini. Stadion di lapangan, joging track —kendatipun trend saat ini adalah stadion non joging track a la stadion sepakbola di Inggris— dan tribun penonton.
Stadion dengan ciri khas pohon mangga rimbun di belakang gawang (hingga BMM berjuluk Laskar Mangga Rimbun) ini punya ukuran lapangan sesuai standar internasional. Ukuran ini hampir sama dengan ukuran di lapangan dalam Gelora Ambang, yang kini lebih sering jadi belantara.
Namun jika sebelum pertandingan turun hujan lebat, “wajah” lapangan di Stadion Nunuk langsung kelihatan. Seperti telaga! Sulit mengalirkan bola.
Dalam hal ini, masih lapangan di Stadion Motobatu yang lebih “waras”. Air cepat meresap. Karena ‘drainase’ di Motobatu lebih bagus dibanding di Nunuk. Sayang, ukuran lapangan di stadion yang pernah jadi ‘venue’ Liga3 tahun 2021 ini tak ideal.
Pada aspek tribun penonton, kondisinya hampir sama mengenaskan. Kapasitas tribun hanya 500 penonton. Dengan kondisi bangunan gedung yang terus menua, sangat rawan jika over capacity.
Saat turnamen Walikota Cup V memasuki babak gugur, dan penonton membludak, saya tak lagi tenang menyaksikan laga karena diiringi perasaan was-was. Dari aspek ini, masih Stadion Motobatu yang lebih “ramah” karena ada tempat duduk a la kadarnya pada area yang berhadapan dengan tribun tertutup, dibanding Stadion Nunuk yang full berdiri selain tribun penonton.
Memang sedikit “angin segar” dari mengenaskannya infrastruktur di stadion “terbaik” Kotamobagu ini adalah dialihkannya status kepemilikan stadion, dari milik kampung, yakni Kelurahan Matali, menjadi milik Daerah, ke Pemerintah Kota Kotamobagu. Itu dilakukan sebagai syarat yang diminta Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) untuk mengucurkan bantuan renovasi stadion berbanderol 20 milyar rupiah.
Namun pengalaman politik saya, berurusan dengan birokrasi di pemerintah pusat luar biasa ribet, jika tak punya ‘back up’ di DPR RI. Maka tak heran jika nasib proposal Pemkot lewat Dinas Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) masih “pasiar ka sana ka mari”. Konon akan melewati Kementerian Pekerjaan Umum juga karena berkenaan dengan bangunan gedung.
Positifnya adalah, karena Stadion Nunuk sudah menjadi aset Pemkot Kotamobagu, intervensi APBD bisa masuk. Ketua DPRD yang juga Ketua Umum KONI serta Ketua Askot PSSI, Meiddy Makalalag, punya rencana bagus. Direncanakan di Stadion Nunuk akan di intervensi anggaran senilai 2 milyar rupiah untuk renovasi tribun stadion.
Saya berharap rencana Ketua DPRD itu bisa terlaksana dengan kapasitasnya sebagai Ketua Badan Anggaran DPRD. Harapannya para anggota Badan Anggaran yang lain serta Tim Anggaran Pemda (TAPD) dari sisi Pemkot satu “frekuensi” untuk merealisasilan rencana luhur itu. Bahkan bisa lebih untuk pembenahan lapangan guna pembuatan drainase untuk resapan air, meratakan lapangan, dan mengganti rumput.
Menurut Ketua DPRD, Stadion Nunuk untuk sementara, dengan renovasi “kecil-kecilan” seperti ini, jadi rumah “transit” insan sepakbola menggelar aktivitas. Latihan dan pertandingan.
Stadion utama nanti tetap di kawasan Gelora Ambang. Sebab Pemkot lewat APBD tahun 2022 sudah keluar uang sebesar 700 juta hanya untuk Design Engineering Detail (DED) pembangunan kawasan itu.
Nah, untuk merealisasilan DED dimaksud, harus teranggarkan hampir 500 milyar rupiah untuk pembangunan satu stadion sepakbola representatif, renovasi kolam renang berstandar nasional, satu GOR untuk bola volly, bola basket, bulutangkis, dan semua olahraga beladiri, dua mess atlit (putra dan putri), dan satu kantor pengelola. Sebagai gambaran, pembangunan Masjid Agung Baitul Makmur (MABM), ikon bangunan gedung Kotamobagu, menelan anggaran sekitar 100 milyar rupiah lebih. Dan melewati 9 kali APBD atau 9 tahun.
Dengan deskripsi ini, tak mudah merealisasikan “katedral” olahraga Kotamobagu itu, di dalamnya ada stadion sepakbola bertaraf penyelenggaraan PON dan Liga1 atau Liga2. Ya itu tadi, hampir lima kali lipat MABM. Maka, solusi terbaik adalah lewat APBN.
Paling penting ingin saya sampaikan, di tengah memprihatinkannya infrastruktur sepakbola di Kotamobagu, bibit-bibit pesepakbola terus bermunculan. Lewat pembinaan usia dini dan tempaan Tarkam seperti Walikota Cup V. Apalagi jika nanti ditunjang oleh infrastuktur yang jauh lebih memadai.*