Oleh: Murdiono P.A. Mokoginta (Penulis Buku: “Permesta di Bolaang Mongondow 1956-1963 dalam Analisis Sosial & Politik”)
Lebih dari setahun alam Bolaang Mongondow luluh lantak akibat pergolakan Permesta di Sulawesi Utara. Di sepanjang jalan-jalan desa nampak tiada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Semua penduduk lari ke hutan untuk menyelamatkan diri di tengah kondisi perang yang masih terus berkecamuk dengan dahsyat.
Tak mungkin bertahan di rumah dalam keadaan itu. Dinding rumah penduduk yang hanya terbuat dari bambu anyaman sederhana (bota’) tidak mampu menangkis tajamnya timah panas atau ledakan mortir dan granat yang sewaktu-waktu bisa saja membahayakan nyawa di tengah medan perang itu.
Mati konyol adalah resiko yang ditanggung oleh seseorang yang mencoba bertaruh nyawa bila tidak ingin melarikan diri. Pun bila tidak terjadi perang, kemudian rumah didatangi oleh sekelompok tentara Permesta maka sial seakan pula menimpa. Orang akan terus diinterogasi dengan suara lantang yang menyiutkan nyali. Seringkali ujung senapan juga ditodong di kepala dengan kasar.
“Permesta atau Pusat (untuk pendukung pemerintah NKRI)?”, seringkali itulah pertanyaan yang diajukan oleh gerombolan tentara Permesta itu kepada empunya rumah. Bila menjawab pusat maka kematian akan terjadi sekejap. Bila menjawab ‘Pro Permesta’, siap-siap saja bila pernyataan itu nanti didengar oleh mata-mata pusat. Karena bila Permesta pergi, dan saat TNI menyusuri kampung demi kampung, maka orang itulah yang pertama-tama ditangkap karena sudah mengakui bahwa ia adalah pendukung Permesta.
Baca juga: September Kelabu di Kotamobagu, Catatan Penumpasan Permesta 1959 (Bag. 2 Akhir)
Serba salah memang, tapi begitulah hukum perang berlaku. Tak ada kawan yang baik dan dipercayai, antara satu dengan yang lainnya kadang saling mencurigai. Dalam kondisi inilah rakyat merindukan ‘damai’. Merindukan lentunan ayat suci dan adzan di masjid, merindukan senyuman ramah petani yang bekerja di kebun, merindukan canda tawa anak-anak yang berlari pagi ke sekolah.
Kotamobagu di Sanubari Siliwangi
Untuk meredam pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara, Pemerintah Indonesia membentuk Komando Operasi MERDEKA. Operasi militer ini terdiri atas tiga matra yakni darat, laut, dan udara. Yang menjadi pemimpin oprasi ini adalah Letnak Kolonel Inf. Rukminto yang didampingi oleh Letkol Pelaut Hunhilz dari matra laut, dan Mayor Udara Leo Wattimena dari matra udara.
Komando Operasi Merdeka ini memiliki misi utama untuk mengakhiri pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara dengan sasaran tempur di Palu-Donggala, Gorontalo, Sangir-Talaud, Morotai-Jailolo di samping misi utama membebaskan wiayah Minahasa dan Bolaang Mongondow yang menjadi basis kuat pertahanan Permesta.
Dari semua wilayah-wilayah tersebut, yang paling menderita adalah kondisi rakyat yang ada di Bolaang Mongondow. Sementara itu di antara semua wilayah di Bolaang Mongondow, Kotamobagu merupakan basis pertahanan Permesta setelah mereka mulai dilumpuhkan di kantong-kantong pertahanan mereka di Minahasa.
Kotamobagu sendiri mendapat tempat tersendiri dalam hati dan sanubari hampir semua TNI dari Divisi Siliwangi yang terlibat pembebasan wilayah ini dari Permesta. Hal ini terungkap dalam buku Siliwangi Dari Masa Ke Masa yang disusun oleh Disjarahdam VI/Siliwangi, Angkasa Bandung 1979. Salah satu episode daripada gerakam militer menumpas Permesta ini yang dicatat dengan “tinta emas” buat sejarah Divisi Siliwangi adalah gerakan militer membebaskan Kotamobagu dari tangan Permesta.
Adapun sifat penting daripada “Episode Kotamobagu” menurut mereka, karena daerah Kotamobagu dengan medannya yang bergelombang itu, telah dipersiapkan menjadi daerah basis pemunduran bagi pihak Permesta. Jadi taktis maupun strategis mempunyai nilai yang sangat penting (Disjarahdam VI/Siliwangi, 1976: 283).
Batalyon 330/Kujang
Pasukan TNI yang memiliki tugas khusus membebaskan Kotamobagu adalah Batalyon 330/Kujang I dan tenaga bantuannya dari Divisi Siliwangi di bawah pimppinan Mayor S. Surya. Batalyon ini keluar dari Dayeuhkolot, Bandung menuju stasiun Bandung dan diantar oleh sanak keluarga mereka di sana pada pagi hari jam 05.00 tanggal 30 Agustus 1959. Apel batalyon dilakukan pada jam 07.00 pagi di depan stasiun Bandung.
Tepat jam 07.51 batalyon ini menuju Tanjung Priok Jakarta dan sampai pada jam 13.30. Pasukan ini akan diangkut menuju Gorontalo menggunakan kapal ‘Hongkong Fir’, namun sebelum berangkat, tepat pada jam 16.45 Letnan Jendral A.H. Nasution masih melakukan inspeksi sesaat sebelum pemberangkatan.
Untuk menghargai keberanian dan meningkatkan moril pasukan, maka seluruh TNI yang ikut dalam operasi ini dinaikan pangkat beberapa tamtama menjadi bintara dan dari bintara menjadi pembantu Letnan II serta pelantikan beberapa pegawai sipil menjadi tamtama. Setelah upacara selesai, pasukan ini meninggalkan Tadjung Priok dengan kapal “Hongkong Fir” pada malam hari 30 Agustus 1959.
Kapal perlahan meninggalkan Tanjung Periok dengan rahasia karena kapal musuh sewaktu-waktu bisa saja melancarkan serangan terhadap pasukan infatri yang berada di atas kapal itu. Bersyukur Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan perlindungan terhadap mereka dalam perjalanan hingga pada keesokan harinya tanggal 1 September 1959 kapal sudah berada di antara perairan Cirebon dan Semarang. Melewati Pulau Selayar tanggal 4 September, sehari setelahnya pada 5 September 1959 jam 18.00 kapal akhirnya sampai di pelabuhan Gorontalo.
Konsolidasi di Gorontalo
Tanggal 6 September 1959 di Gorontalo diadakan rapat yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Mursyid Panglima Kodam Merdeka dengan Komandan dan beberapa Perwira Batalyon 330 selama lebih dari dua jam antara pukul 08.45 – 11.00. Ada tiga hal yang dibahas dalam pertemuan ini yaitu mengenai situasi daerah musuh, menentukan rencana penyerangan, dan penentuan sasaran merebut Kotamobagu dan sekitarnya dari tangan Permesta.
Untuk merebut Kotamobagu yang menjadi misi utama Batalyon 330, pada tanggal 7 September 1959 pendaratan pasukan akan dibagi dua yakni pasukan yang akan masuk dari wilayah selatan dan pasukan lainnya yang akan melakukan serangan dari arah utara. Untuk penunjuk jalan oleh KODAM Merdeka telah diperbantukan tiga orang yakni Husain Damopolii, dkk.
Kolonel A.Y. Mokoginta sendiri untuk membebaskan tanah kelahirannya dari cengkaraman Permesta memimpin infiltrasi awal sekaligus juga sebagai penunjuk jalan ke sana bersama 40 orang partisannya yang bergabung pada 7 September 1959. 40 orang yang ikut serta bersama Mokoginta akan dibagi-bagikan ke dalam kompi-kompi Batalyon 330. Setelah semua pasukan telah mengkonsolidasikan diri maka serangan menuju Kotamobagu akan secepatnya dimulai.
Pasukan dari Selatan rencananya akan berlabuh di pantai Onggunoi dibawah pimpinan langsung Komandan Batalyon 330. Adapun pasukan pancingan untuk mengelabui Permesta akan berlabuh dari Inobonto di bawah pimpinan Wakil Komandan Batalyon 330.
Front Onggunoi
Di bawah Komandan Batalyon 330 Mayor S. Surya, pasukan TNI melakukan pendaratan senyap di ‘Pantai Merah’ Onggunoi. Pendaratan yang dilakukan di pantai dilakukan secara bertahap karena tidak memungkinkan bila dilakukan secara serentak. Hal itu karena minimnya alat pendaratan di sana untuk tempat berlabuh dua LCVP dan dua buah sloep bermotor dari kapal Hongkong Fir.
Pasukan garis depan yang menuju Kotamobagu tidak dibenarkan membawa ransel supaya mereka bebas melakukan gerakan bila terjadi serangan tiba-tiba dari tentara Permesta. Regu pantai (Pi & Mi) ditugaskan membawa batrei untuk kebutuhan pasukan garis depan.
Akhirnya Pasukan Batalyon 330 mulai bergerak menuju perairan Onggunoi dari Gorontalo pada pukul 09.20 tanggal 7 September 1959. Kapal yang mengantar mereka ke sana masih tetap Hongkong Fir dan Baeso serta kapal jenis Korvet LRI BS 16 Lamandang yang mengangkut Mco dan pasukan pengawalnya dan dua buah LCVP yang ditarik oleh kapal. Pasukan ini akhirnya tiba di Onggunoi pada dini hari pukul 01.00 tanggal 8 September 1959.
Sampainya di depan laut Onggunoi, terjadi kendala teknis untuk mendaratkan pasukan pada dini hari yang gulita itu. Pendaratan ke pantai baru bisa dilaksanakan pada pagi hari pukul 06.00 oleh Pleton III Kie D/330 + 1 Ru Pi Mi + 1 Ru Mo.60 di bawah pimpinan Peltu II Juhana.
Pendaratan berlangsung kurang lebih 4 jam dari pukul 06.00-09.00 pagi hingga seluruh Pleton pertama didaratkan. Kondisi gelombang dan angin kencang cukup menyulitkan pendaratan di hari itu. Hingga pukul 24.00, akhirnya semua pasukan di bawah pimpinan Komandan Batalyon 330 berhasil didaratkan tanpa gangguan serangan dari musuh.
Menyisir Rute Selatan
Setelah pendaratan di pantai Onggunoi berhasil tanpa gangguan, oleh Komandan Batalyon 330 Mayor S. Surya, Pleton I/Kie B (330) di bawah Letnan II Sukanta diperintahkan untuk membuka gerakan pembersihan di kampung Onggunoi di mana menurut laporan penduduk setempat 6 orang prajurit Permesta ada di sana namun saat dilakukan pengerebekan dapat melarikan diri ke arah kampung Tobayagan.
Tanggal 9 September 1959 pukul 08.00 Batalyon 330 Siliwangi mulai bergerak menuju arah Dumagin dan tiba di sana pada pukul 11.45. Perjalanan ke Dumagin tidak mendapat gangguang dari Permesta.
Saat TNI memasuki kampung Dumagin mereka disambut dengan suka cita oleh penduduk yang ada di sana. Di Dumagin pasukan beristirahat hingga pukul 13.00 siang dan melanjutkan perjalanan hingga mencapai tepi sungai Tombayatong pada 17.30 dan berhenti berkemah di sana.
Keesokan harinya tanggal 10 September 1959 pasukan kembali melanjutkan perjalanan dimulai pukul 07.30 pagi hingga pukul 11.45 tanpa mendapat gangguan dan rintangan dari Permesta. Tiap kampung yang dilalui selalu mendapat sambutan yang meriah dari masyarakat di sana. Dari wajah-wajah penduduk ini nampak ketakutan dan kerinduan terhadap keamanan dan kedamaian. Mereka mengharapkan itu semua dari kedatangan TNI di wilayah mereka ketika itu. Selesai berisitrahat, di siang itu juga perjalanan kembali dilanjutkan hingga pukul 15.45 kemudian beristirahat pada titik koordinat 267.570.
Kontak Senjata Pertama
Pada 11 September 1959 pukul 07.30 pasukan kembali melanjutkan perjalanan menuju Kotamobagu. pada pukul 11.00 pasukan garis depan Kie C/330 mengirim informasi bahwa mereka berhasil mengamankan beberapa mata-mata Permesta yang sedang bergerak menuju Kotamobagu setelah berhasil menemukan informasi pendaratan pasukan Batalyon 330 di Onggunoi. Bersyukur mereka berhasil dikejar dan langsung diamankan sambil menunggu petunjuk dari Komandan Batalyon 330 Mayor S. Surya.
Dari penyampaian beberapa tahanan ini, didapatkan informasi bahwa sebanyak 20 tentara Permesta sedang bergerak menuju lokasi perkemahan pasukan Batalyon 330 utama untuk melakukan penyergapan dengan berkekuatan 2 pucuk BMG dan sepucuk Mo.5.
Mayor S. Surya memerintahkan Kie C/330 supaya memasang perangkap untuk menjebak tentara Permesta yang sedang menuju ke sana. Pasukan juga diperintahkan untuk membereskan sepasukan tentara Permesta itu.
Mendengar instruksi Komandan Batalyon, Kie C/330 segera bergerak untuk membereskan tentara Permesta yang sedang menuju lokasi perkemahan pasukan inti. Kontak senjata terjadi kurang lebih setengah pukul tepatnya 10.30 s/d 11.00 siang hari tanggal 11 September 1959 yang menewaskan 1 orang dan 5 orang lainnya mengalami luka-luka dari kubu Permesta. Usai pertempuran itu Batalyon 330 kembali melanjutkan perjalanan dari siang itu hingga pukul 17.00.
Desa Bakan Berdarah
Tanggal 12 September 1959 saat pasukan Batalyon 330 Siliwangi telah berada di dekat Perkampungan Bakan, pasukan garis depan Siliwangi dari Kie C/330 pada pagi hari pukul 08.00 mendapat informasi dari rakyat yang kebetulan diperintahkan oleh Permesta untuk membuat kubu pertahanan di perkebunan desa melaporkan kepada TNI bahwa di lokasi yang mereka buat terdapat 24 tentara Permesta di bawah pimpinan seorang Letnan.
Kini jarak antara Kie C/330 dengan tentara Permesta yang ada di kubu pertahanan itu tinggal berjarak sekitar 750 M. Di kubu pertahanan itu dipertahankan oleh 3 Kie Combat Troop “D” dan 1 Pleton Permesta di bawah pimpinan Kapten/Permesta Dakhlan. Tepat pukul 13.00 siang Kie C/330 Siliwangi melakukan serangan di kubu pertahahan Permesta tersebut. Pertempuran sengit terjadi antara kedua belah pihak dengan begitu hebat yang berlangsung lebih dari 1 pukul. Baru pada pukul 14.10 Kie C/330 Siliwangi berhasil merebut kubu pertahahan tersebut.
Pasukan Permesta yang tidak mampu mempertahankan benteng mereka di perkebunan Bakan memilih mengundurkan diri menuju perkampungan penduduk. Kie C/330 Siliwangi terus melakukan pengejaran kepada tentara Permesta hingga dipersimpangan tiga perkampungan. Pertempuran tak terelakan antara tentara Permesta dan Kie C/330 Siliwangi terjadi dengan begitu sengit. Pukul 15.30 seorang prajurit TNI Kie C/330 Siliwangi atas nama Syarief Abdullah tertembak dan meninggal di simpang tiga desa Bakan. Baru pukul 18.00 Desa Bakan akhirnya dapat dikuasai oleh pihak TNI.
Prajurit atas nama Syarief Abdullah tercatat sebagai prajurit TNI Divisi Siliwangi pertama yang meninggal dalam misi pembebasan Kotamobagu dari Permesta. Ia adalah prajuri TNI yang berasal dari Kanoman Cirebon yang mendarma baktikan nyawanya untuk Ibu Pertiwi. Siliwangi mencatat nama beliau sebagai saksi atas kesetiaan kesatuan mereka kepada Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga dengan gagah berani turun ke medan perang yang jauh di pedalaman Sulawesi untuk menumpas pemerontakan Permesta.
Tragedi Bakan berdarah adalah pertempuran awal sebelum menuju kobaran api perang yang yang telah menyambut mereka di gerbang Kotamobagu sebagai basis pertahanan terkuat dan terakhir bagi Permesta. Dari pertempuran ini pula Siliwangi belajar bahwa perang ini bukanlah sebuah mainan belaka. Permesta serius, dan Siliwangi harus berjuang hingga titik darah penghabisan demi mengembalikan Kotamobagu ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Kini puncak-puncak pegunungan dari pedalaman Mongondow telah nampak di ujung mata dari para tentara Permesta. Di kejauhan sana seakan kematian dan nyala api perang telah menyambut mereka. Bagaimana detik-detik langkah mereka memasuki Kotamobagu?, Bagai mana besarkah nyala api perang di sana???. (Bersambung)