Lensa NASIONAL-Terkait terjadinya tragedi kemanusiaan yang menimpa saudara-saudara kita dari etnis Rohingya, di daerah Arakan, Wilayah Rakhine, Myanmar sejak rangkaian serangan pada tanggal 9 Oktober 2016 hingga saat ini.
GP Ansor telah membaca dengan seksama laporan UN Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) – 2017 maupun laporan-laporan dari lembaga yang dipercaya lainnya, di mana diketahui 60 ribu lebih etnis Rohingya merasa nyawanya terancam pergi menyelamatkan diri dari daerah konflik, ribuan lebih korban telah tewas dibunuh secara keji, ribuan orang pula telah dihilangkan secara paksa, 64% dari etnis Rohingya melaporkan pernah mengalami penyiksaan secara fisik maupun mental, 52% perempuan Rohingya melaporkan mengalami pemerkosaan dan/atau pelecehan seksual lainnya yang mengerikan, ditambah lagi dengan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang sekaligus penyiksaan selama penahanan terhadap ribuan warga Rohingya, perusakan maupun penjarahan terhadap rumah, harta benda, makanan dan sumber makanan warga Rohingya secara masif, serta pengabaian maupun ketiadaan perawatan kesehatan terhadap para korban.
GP Ansor menilai bahwa ini merupakan tragedi kemanusiaan terparah di kawasan Asia Tenggara saat ini, dan menduga keras ini dilakukan oleh tangan negara, baik aparat militer, keamanan, kepolisian maupun pemerintahan Myanmar, setidaknya didasarkan pada laporan pengindraan secara satelit oleh UNOSAT maupun HRW, terdapatnya pola-pola (patterns) serangan terhadap desa-desa etnis Rohingya yang memang telah ditargetkan.
GP Ansor mengkaji dengan seksama, khususnya secara geopolitik mengapa terjadi insiden serangan dengan menargetkan wilayah-wilayah yang dihuni etnis Rohingya pada tahun 2013, kemudian 2016 dan semakin menguat di tahun 2017 ini dengan intensifikasi jumlah korban dan jenis kekejian yang dilakukan.
GP Ansor menilai tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya merupakan konflik geopolitik, khususnya pertarungan kuasa dan kekuasaan (yang tak seimbang) di daerah Arakan-Rakhine, yang dihuni mayoritas etnis Rohingya, dengan dugaan kuat didasarkan pada perebutan secara paksa tanah dan sumber daya, khususnya minyak dan gas, khususnya di wilayah-wilayah sekitar: 1). Pipa gas (mulai beroperasi 1 Juli 2013, dengan kapasitas 193,6 juta kubik kaki per hari) dan pipa minyak (mulai beroperasi 1 Desember 2013 dengan kapasitas 400 ribu barrels per hari) dari Kyauk Phyu ke perbatasan China sepanjang 803 km – yang dikelola oleh konsorsium bersama dengan komposisi kepemilikan saham 50,9 % CNPC (China), 25,04% Daewoo International (Korea), 8,35% ONGC (India), 7,37% MOGE (Myanmar), 4,17% GAIL (India) dan 4,17% investor-investor swasta lainnya; 2). Pipa gas (mulai beroperasi 1 Juli 2013, dengan kapasitas 105,6 juta kaki kubik per hari) dari Shwe ke Kyauk Phyu sepanjang 110 km – yang dikelola oleh konsorsium bersama dengan komposisi kepemilikan saham 51% Daewoo International (Korea), 17% ONGC (India), 15% MOGE (Myanmar), 8,5% GAIL (India) dan 8,5 KOGAS (Korea); 3). Blok-blok minyak dan gas di Semenanjung Rakhine di mana Daewoo International (Korea), ONGC (India), MOGE (Myanmar), GAIL (India), KOGAS (Korea), Woodside Petroleum (Australia), CNPC (China), Shell (Belanda/Inggris), Petronas (Malaysia), MOECO (Jepang), Statoil (Norweigia), Ophir Energy (Inggris), Parami Energy (Myanmar), Chevron (Amerika Serikat), Royal Marine Engineering (Myanmar), Myanmar Petroleum Resources (Myanmar), Total (Prancis), PTTEP (Thailand) dan Petronas Carigali (Malaysia) beroperasi dan berproduksi, di mana daerah tersebut dilaporkan memiliki cadangan terbukti sebesar 7,836 triliun kaki kubik gas dan 1,379 milyar barel minyak – yang beberapa blok di antaranya berproduksi sejak 2013, ditawarkan tahun ini sebagai temuan baru, dan beberapa blok lainnya jatuh tempo kontraknya tahun 2017 ini; dan 4). Blok-blok minyak dan gas di daratan Arakan di mana North Petro-Chem Corp (China), Gold Petrol (Myanmar), Interra Resources (Singapura), Geopetrol (Prancis), Petronas Carigali (Malaysia), PetroleumBrunei (Brunei), IGE Ltd. (Inggris), EPI Holdings (Hongkong/China), Aye Myint Khaing (Mynmar), PTTEP (Thailand), MOECO (Jepang), Palang Sophon (Thailand), WIN Resources (Amerika Serikat), Bashneft (Russia), A1 Construction (Myanmar), Smart Technical Services (Myanmar), Myanmar Petroleum Resources (Myanmar) dan ONGC (India) beroperasi dan berproduksi, di mana daerah tersebut dilaporkan memiliki cadangan terbukti sebesar 1,744 triliun kaki kubik gas dan 1,569 milyar barel minyak-yang beberapa blok di antaranya jatuh tempo kontraknya pada tahun 2017 ini.
GP Ansor juga mempelajari konflik geopolitik yang sangat berdarah di daerah-daerah kaya sumber daya alam khususnya minyak dan gas (Oil & Gas Blood) atau kutukan sumber daya (Resource Curse) bukan fenomena khas Myanmar, dan bukan hanya menimpa etnis Rohingya, tapi juga terjadi di belahan bumi yang lain-di mana untuk menutup operasi apropriasi kapital dan sumber daya secara menjijikkan operator-operator di lapangan membungkus dan/atau menutupnya dengan konflik antaretnis, antaragama, antarkelompok masyarakat-dengan tujuan agar akar maupun persoalan sebenarnya menjadi kabur dan tersamar.
GP Ansor juga membaca bahwa saudara-saudara kita dari etnis Rohingya yang tinggal di daerah Arakan – Rakhine memang menjadi sasaran khusus dengan operasi terselubung (covered operation) apropriasi kapital dan sumber daya yang secara biadab dan terencana menyasar praktik dan simbol agama serta membenturkan antar ummat beragama ermasuk di dalamnya dengan melakukan pembakaran Al-Qur’an, pemerkosaan di Masjid, mempersenjatai dan memprovokasi warga Rakhine untuk juga melakukan persekusi terhadap minoritas Rohingya.
GP Ansor juga mencermati bahwa tragedi kemanusiaan terhadap saudara-saudara kita etnis Rohingya karena situasi di mana pemeluk agama mayoritas yang sebenarnya moderat memilih diam dan bukan melawan saat terjadi persekusi terhadap kaum minoritas, Aung San Sukyi, sang penerima Nobel Perdamaian, hanyalah contoh paling memuakkan dari diamnya mayoritas.
GP Ansor juga menyadari bahwa penyelesaian kasus Rohingya akan menjadi sulit, terlebih melihat banyaknya pihak, negara dan korporasi yang berkepentingan terhadap penguasaan aset, kapital maupun sumber daya di daerah-daerah di mana saudara-saudara kita etnis Rohingya sebelumnya dan/atau saat ini tinggal.
GP Ansor juga menilai sangat sulit bagi ASEAN untuk bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik, mengingat selain Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei juga memiliki perusahaan nasional yang beroperasi dan berproduksi di daerah konflik geopolitik tersebut, dan meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk lebih aktif bersuara dan cenderung memimpin aliansi mitra dialog dan diplomasi hak asasi manusia (Human Rights Diplomacy) mengingat: 1). Posisi Indonesia yang cenderung netral dari kepentingan geopolitik di wilayah tersebut; 2). Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan; dan 3). Indonesia secara tegas dalam konstitusi menghendaki agar penindasan di muka bumi harus dihapuskan.
GP Ansor juga mengajak organisasi kepemudaan dan masyarakat Indonesia lainnya, untuk melakukan aksi solidaritas kemanusiaan dan misi bantuan kemanusiaan terhadap saudara-saudara kita etnis Rohingya, serta melakukan secara lebih aktif lagi People-to-People Diplomacy di kawasan, dengan tentu saja dengan kesadaran agar konflik geopolitik di Myanmar itu tidak diimpor ke negeri kita.
GP Ansor juga menyarankan agar mensholat ghoibkan para korban yang tewas, mengirimkan doa khusus dan juga membaca Hizb Nasr agar para korban yang tewas mendapat ketenangan, agar para korban terluka ringan maupun berat segera mendapatkan kesembuhan, agar para korban yang hilang bisa diketemukan dalam keadaan hidup dan sehat, agar para korban yang mengungsi mendapatkan keamanan dan perlindungan, dan agar perdamaian abadi bisa kembali hadir di Negeri Myanmar sehingga para pengungsi dapat pulang ke tanah mereka dengan jaminan keamanan dan perlindungan.
Akhirnya, GP Ansor mengutuk keras tragedi kemanusian terhadap saudara-saudara kita etnis Rohingya di Myanmar sekaligus mengajak kita semua untuk menyatukan hati, tekad, semangat dan usaha #KitaIniSama satu tujuan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial serta tentu saja tidak memilih diam terhadap setiap ujaran kebencian, permusuhan dan persekusi terhadap minoritas.
Pernyataan ini ditandatangani oleh Wakil Sekjen PP GP Ansor Mahmud Syaltout. (Red Alhafiz K/nu.or.id/udy)