Editor/Peliput: Sumantri Ismail
Lensa.news,SULUT — Ribuan massa aksi damai yang tergabung dalam Asosiasi Nelayan Pajeko (Asneko) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) meminta Gubernur Sulut Olly Dondokambey agar bisa mengambil kebijakan tentang Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 yang mengalihkan pengurusan Izin operasi nelayan dari PTSP Kementerian Perikanan dan Kelauatan ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Dengan adanya PP 24 Tahun 2018 yang mengatur pengurusan perizinan maupun perpanjangan izin operasi melalui Online Single Submission (OSS), rakyat yang berprofesi sebagai nelayan tidak bisa melaut karena izin untuk beroperasi tidak ada.
“Kami keberatan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018, yang dieksekusi pada tanggal 21 Juni 2018. Dimana tanpa ada sosialisasi, namun itu sudah implementasi dan itu sudah diberlakukan kepada seluruh pengusaha dan itu berdampak sangat negatif. Bukan hanya buat nelayan, tetapi bagi semua orang yang mau berusaha. Karena ini merupakan sistim satu pintu, dimana seluruh izin berusaha dan perpanjangan diurus di tempat ini,” kata Ketua Asneko Sulut Lucky Sariowan, kepada awak media, Senin (23/7/18).
Namun, persoalan yang disesalkan oleh para Nelayan, ada salah satu pasal yang menyebutkan pengurusan perpanjangan izin operasi yang telah diproses dan masuk di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dibawah tanggal 20 Juni 2018 tidak dapat diproses dan dilimpahkan ke sistim OSS yang ada pada PP 24 Tahun 2018 ini.
“Persoalan yang terjadi, saat kami cek dilapangan, ada dua hal yang terjadi, pertama Sistim OSS itu belum ada websitenya. Yang kedua lembaga non Kementerian yang nanti akan menangani sistim OSS dibawah Kemenko Perekonomian itu belum dibentuk oleh Pemerintah. Sementara kapal-kapal yang suratnya sudah masuk di KKP akan jatuh tempo pada Bulan Juni dan Juli. Catatan kami ada hampir 100 kapal di Kota Manado yang izinnya tidak dapat diproses oleh sistim OSS ini. Dan anehnya KKP tidak mau bertanggungjawab. Padahal ada pengusaha kapal yang sudah membayar Pungutan Hasil Perikanan (PHP), jadi secara hukum kapal yang sudah membayar PHP punya hak Kelaut, tapi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) nya yang belum keluar,” jelas Lucky.
Akan tetapi, dari PP 24 Tahun 2018 ini, Lucky mengatakan ada pasal yang menegaskan, apabila terjadi penghambatan, maka Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur, itu bisa mengambil kebijakan dan memiliki wewenang penuh untuk memutuskan persoalan yang terjadi.
“Ada dalam pasal 98 PP No. 24 Tahun 2018 ini yang mengatakan apabila ada hambatan dilapangan, maka Pemerintah Daerah yakni Gubernur bisa ambil kebijakan atau diskresi serta memiliki kewenangan penuh dalam memutuskan persoalan yang terjadi. Nah disini ki hanya meminta semacam surat rekomendasi perizinan penangkapan sementara, diberlakukan per 3 bulan sampai OSS dan lembaga yang dibentuk Pemerintah itu ada,” terangnya.
Dikatakannya pula, jika tidak ada rekomendasi dari Pemerintah Daerah, maka akan ada pengangguran jika sampai akhir Juli ini apabila kapal tidak beroperasi.
“Dari catatan kami, ada sekitat 10.000 Anak Buah Kapal (ABK) tidak dapat bekerja atau nagnggur. Itu baru ABK, belum buru yang ada dilapangan dan sopir-sopir angkutan Ikan. Jadi dampaknya sangat luar biasa bahkan berpengaruh pada perekonomian di Sulut,” tukasnya.
(Tri)