Lensa.News, KOTAMOBAGU – Sayangnya adanya UU yang diberikan presiden ini tak menjamin keamanan pers pada masa tersebut. Karena toh masih banyak kejadian seperti pers yang tidak dilindungi dan masih terganggu kebebasannya.
Wartawan atau jurnalis seringkali mengalami kekerasan fisik tanpa adanya kejelasan terkait penyelesaian kasusnya. Bahkan tak jarang kantor pers diserang oleh orang yang tidak dikenal dan merusak atau melukai mereka. Namun kembali lagi, keprofesionalan mereka tetap diutamakan dan pers dikenal sebagai profesi tanpa rasa takut.
Merujuk dari sejarah pers pada awal kekuasaan Orde Baru, Indonesia dijanjikan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Sehingga masyarakat berharap mereka dapat menyampaikan harapan terhadap negara, terutama saat Indonesia sudah bisa merdeka dan merasakan menjadi negara yang independen. Hal ini juga menjadikan masyarakat menyambut kepemimpinan pemerintahan Soeharto setelah mengalami keterpurukan pemerintah saat masa orde lama. Pemerintah saat itu harus memiliki berbagai pemulihan mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan psikologis masyarakat.
Pada masa Orde Baru, banyak terjadi pemberedelan terhadap beberapa media massa nasional. Tepatnya pada tahun 1994, terdapat tiga media massa yang diberedel atau dicabut surat izin penerbitannya, yaitu Majalah Tempo, Majalah Editor, dan Majalah Detik.
Kasus kekerasan pada kalangan pers juga sempat terjadi hingga pasca era Reformasi. Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), terdapat 50 kasus kekerasan yang dialami kalangan pers pada tahun 2013. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi ancaman atau teror, pengusiran dan larangan peliputan, serangan fisik, sensor, tuntutan atau gugatan hukum, pemberedelan atau larangan terbit, regulasi, demonstrasi dan pengerahan masa, perusakan kantor, serta perusakan alat. (Chag/detik.com)