Oleh: Murdiono P. A. Mokoginta (Sejarawan BMR, Alumni Magister Sejarah (S2) Universitas Hasanuddin)
Abad 21 ini rasanya hampir semua negara di dunia menganggap demokrasi masih merupakan sistem yang ideal untuk menjawab persoalan-persoalan bangsa utamanya yang berkaitan dengan politik dan kekuasaan. Tiap bangsa di dunia hampir semua berkaca pada sejarah jatuh bangunnya peradaban sebuah negeri hanya karena soal jatuh bangunnya kekuasaan, otoritarian dan feodalisme, dinasti dan oligarki, serta hal-hal yang dianggap membunuh hak-hak rakyat untuk menyatakan keinginan atau berpendapat demi mengambil peran dalam kekuasaan.
Konteks sejarah Indonesia juga membuktikan fakta-fakta di atas saat para Founding Father utamanya Soekarno dan Hatta sebagai proklamator bangsa menerima demokrasi. Bung Karno dalam pidatonya Indonesia Menggugat (1930: 89) berkata bahwa “Orang seseorang tidaklah mengembangkan kekuasaan yang besar. Maka manusia seseorang-seseorang itu lantas berkumpul, mengambungkan diri satu sama lain, suatu perkumpulan lahirlah ke dunia”. Pandangan Soekarno ini mencoba menjelaskan tentang arti demokrasi dalam pandangannya yang lebih mengedepankan persatuan masa aksi untuk membentuk kekuatan yang solid dan kuat.
Moh. Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita (1960: 22-23) dengan tegas menyatakan bahwa demokrasi Indonesia harus pula berupa perkembangan dari demokrasi yang asli. Semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme barat, memperkuat pula keinginan untuk mencari sandi-sandi bagi negara nasional yang akan dibangun dalam masyarakat sendiri. Dari kedua tokoh bangsa ini kita bisa membaca bahwa demokrasi merupakan sistem yang ideal bagi negara Indonesia untuk mempersatukan dan menyatukan dengan nilai-nilai kebangsaan rakyat Indonesia untuk membawa negeri ini pada puncak kejayaan di masa akan datang.
Demokrasi yang berkembang di Jawa sejak abad ke-20 sebagaimana di atas menarik minat tokoh-tokoh lokal Bolaang Mongondow seperti A.P. Mokoginta, Adampe Dolot, dan tokoh-tokoh Syarekat Islam di Bolaang Mongondow untuk memikirkan kembali arah negeri ini yang dianggap tertinggal dengan bangsa-bangsa lain di Hindia Belanda masa itu. Jangankan memikirkan arah masa depan, dalam sumber daya manusia (SDM) saja kita sangat tertinggal ditandai dengan minimnya partisipasi masyarakat mengakses pendidikan yang hanya diperuntukan bagi elit pribumi (abo) dan peranakan-peranakan Eropa yang ada di Bolaang Mongondow.
Melalui gerakan Syarekat Islam yang menginisiasi pendidikan bagi rakyat pribumi, Bolaang Mongondow mulai membangun SDM yang handal. Politik dan demokrasi juga ditanamkan melalui lembaga ini dan gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan yang kemudian dianggap menentang visi kerajaan yang dibangun atas dasar feodalisme. Kekuasaan hanya untuk kelompok-kelompok tertentu yang secara pengaruh keluarga dianggap mapan dan mampu. Untuk itu Syarekat Islam kemudian lahir dengan membawa perubahan mendasar untuk Bolaang Mongondow yakni pemerataan pendidikan, membawa semangat demokrasi, dan pendidikan politik bagi rakyat biasa.
Sejak dibukanya sekolah Islamiyah tahun 1926 hingga kerajaan Bolaang Mongondow bubar pada tahun 1950, kekuatan Syarekat Islam dianggap telah mengakar dalam sanubari dan alam kehidupan masyarakat utamanya yang beragama Islam. Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) tampil sebagai salah satu partai politik yang besar dan memiliki pengaruh bagi Bolaang Mongondow ketika itu. Bahkan setelah Indonesia merdeka, organisasi ini bisa dibilang memiliki peran yang cukup sentral bagi masuknya paham persatuan Indonesia dalam tubuh kerajaan Bolaang Mongondow.
Sebagaimana paham Bung Karno bahwa demokrasi harusnya menyatukan kekuatan kolektif orang-orang untuk menciptakan kekuatan yang bisa merebut kekuasaan. Semangat demokrasi di Bolaang Mongondow dapat dilihat pada bulan Mei 1950 saat gerakan rakyat Bolaang Mongondow menentang sistem feodalisme yang diinisiasi oleh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Bolaang Mongondow, yang menuntut agar Bolaang Mongondow menjadi kabupaten terlepas dari Kabupaten Sulawesi Utara yang berpusat di Gorontalo. Hingga akhirnya pada tanggal 1 Juli 1950 pada rapat akbar yang dihadiri oleh ribuan masa PSII dan masa lain yang dipimpin oleh Z. Imban, Raja Henny Yusuf Cornelis Manoppo menyatakan pengunduran diri sebagai Raja Bolaang Mongondow dan menarik diri sebagai ketua dewan raja-raja. Bersamaan dengan itu sistem Kerajaan Bolaang Mongondow berakhir hingga saat ini (Mokoginta, dkk, 2023).
Setelah Kerajaan Bolaang Mongondow jatuh pada tahun 1950, empat tahun kemudian pada bulan Maret 1954 Kabupaten Bolaang Mongondow lahir dengan mengambil batas-batas wilayah peninggalan Afdeeling Bolaang Mongondow 1901 yang meliputi wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Kaidipang Besar (termasuk di dalamya eks Kerajaan Bolaang Itang), dan Kerajaan Bolango Uki dengan pusat pemerintahan di Kotamobagu. Iklim demokrasi pada masa ini sangat terasa bahkan bisa dibilang cukup memanas menjelang pemilihan umum (pemilu) tahun 1955 yang merupakan pemilu pertama di Indonesia.
Pemilu tahun 1955 secara praktis menjadi pemilihan umum yang bersejarah bukan hanya bagi bangsa Indonesia, tetapi bagi masyarakat Bolaang Mongondow khususnya. Pada pemilu ini, PSII sangat diunggulkan secara faktual mengingat peran partai ini bagi pendidikan, sosial, ekonomi, dan demokrasi di Bolaang Mongondow. H.J.A. Damopolii (2023: 75) dalam memoranya Dodandian, Konotanoban, dan Kisahku menulis bahwa simpati masyarakat terhadap PSII didorong oleh dambaan, simpati, dan ingin mengembangkan pengetahuan Agama Islam melalui PSII sehingga banyak tokoh-tokoh masyarakat yang ada dalam PSII pada tahun 50-60an.
Pemilu 1955 di Bolaang Mongondow diikuti beberapa partai politik antara lain: PNI, Masyumi, NU, PKI, PSII, Parkindo, Katolik, PSI, dan PKR. PSII sendiri nyatanya hanya menempati urutan ke-2 setelah Masyumi yang menjadi pemenang pada pemilihan tahun 1955 dari 53 Partai Politik Nasional di Bolaang Mongondow. Persentase 9 besar perolehan suara terbanyak tersebut, antara lain; PNI (8,88%), Mayumi (35, 27%), NU (0,37%), PKI (3,33%), PSII (31,81%), Parkindo (14.08%), Katolik (0,55%), PSI (2,94%), dan PKR (0,03).41 Hal ini cukup mengejutkan berbagai pihak (Mokoginta, 2017: 25-26). Pada pemilihan ini faktanya partau Masyumi yang menjadi partai pemenang di Bolaang Mongondow dengan presentase suara 35,27 % dibandingkan dengan PSII yang hanya memperoleh 31,81%.
Pemilihan ini membuktikan bahwa kaderisasi tidak bisa menjamin kemenangan di Bolaang Mongondow sebagaimanya PSII yang hanya menjadi pemenang kedua setelah Masyumi. Kemenangan Masyumi sendiri didasari atas kampanye-kampanye otonomi daerah yang digaungkan oleh partai ini saat kampanye sejak tahun 1953. Sebagai bekas kerajaan yang memang secara historis terpisah dari sejarah Jawa dan Indonesia, nampak keinginan orang-orang Bolaang Mongondow untuk mengatur wilayah mereka sendiri dalam bingkai Indonesia merdeka melalui prinsip otonomi daerah yang khusus untuk wilayah-wilayah eks-kerajaan termasuk Bolaang Mongondow. Satu-satunya partai masa itu yang jelas menolak sentralisasi adalah Masyumi dan itu disambut oleh orang-orang Bolaang Mongondow dengan suka cita.
Pemilihan umum 1955 juga menjadi bukti bahwa isu-isu pusat (nasional) bisa mempengaruhi suara orang Bolaang Mongondow. Kontkes pertarungan ideologi, paham, dan visi bangsa yang terjadi di Pulau Jawa rupanya mempengaruhi hasil pemilu di Bolaang Mongondow masa itu. PKI misalnya hanya mendapat 3% suara sementara PNI hanya 8%, sedangkan partai agama seperti Parkondo masih memiliki sekitar 14% suara oleh kelompok Kristen Bolaang Mongondow. Pertarungan Nasionalis, Agama, dan Komunis pada masa itu cukup memiliki pengaruh dalam peta perpolitikan di Bolaang Mongondow.
Pemilu tahun 1955 di Bolaang Mongondow berhasil dilaksanakan dengan aman dan tertib meskipun dalam praktisnya banyak kekuarangan terkait tempat (Lokasi) pemilihan, fasilitas, dan sebagainya. Meski begitu sejarah ini membuktikan bahwa demokrasi dan pemilu di Bolaang Mongondow selalu berlangsung tertib dan damai meskipun berbeda paham dan pilihan di masyarakat. Selain itu PSII sebagai partai yang memiliki rentang sejarah panjang di Bolaang Mongondow juga tetap memiliki tempat meskipun menjadi pemenang ke dua setelah Masyumi. Masyumi dengan jargon-jargon kampanye “perjuangan otonomi daerah untuk wilayah luar pulau Jawa” banyak meraup suara-suara di luar Jawa termasuk Bolaang Mongondow masa itu.
Masikah jargon itu relevan saat ini? saya rasa masih karena perjuangan otonomi daerah Bolaang Mongondow belum usai dan tuntas. Provinsi Bolaang Mongondow Raya (PBMR) masih tetap harus diperjuangkan dan semangat untuk itu belum padam. Buktinya pada pemilu sejak dekade ke-2 abad 21 ini, isu PBMR masih tetap hangat di telinga dan perasaan orang Bolaang Mongondow. Beberapa paslon/tokoh yang pernah berjanji memperjuangkan PBMR buktinya selalu menang di wilayah BMR pada tiap pemilu. Kita mungkin tinggal menunggu janji-janji itu terealisasi atau menunggu tokoh lain yang akan meninggalkan janji-janji yang sama untuk kita nantikan lagi.