Oleh: Murdiono P. A. Mokoginta, S.Pd, M.Hum (Sejarawan Bolaang Mongondow Raya)
Tulisan ini diajukan untuk materi FGD Studi Pelestarian Budaya dan Analisis Ekosistem Kabela oleh Balai Pelestari Kebudayaan (BPK) Wilayah XVII
Setiap acara-acara tertentu seperti pernikahan, adat mogama (pesta pernikahan mempelai pria), kunjungan pejabat negara ke wilayah Bolaang Mongondow, tarian kabela selalu ditampilkan sebagai tarian penjemputan tamu orang Bolaang Mongondow. Tiap penampilannya selalu riuh dengan tepuk tangan meriah orang-orang yang menyaksikannya. Tarian kabela telah melekat dalam hati orang Bolaang Mongondow dan dianggap sebagai salah satu tarian adat daerah.
Namun apakah sebenarnya kabela itu? Bagaimana tarian ini diambil dari filsosfi kabela orang Bolaang Mongondow? Apakah pelestarian kabela masih hidup di kalangan pemerintah dan masyarakat di wilayah Bolaang Mongondow Raya? Dan apakah ekosistem kabela benar-benar lahir dan hidup di kalangan masyarakat itu sendiri?. Hal ini kiranya akan coba diurai dalam tulisan singkat ini. Sebuah catatan yang penulis persembahkan untuk kegiatan Forum Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVII dengan tema “Studi Pelestarian Nilai Budaya dan Analisis Ekosistem Kabela” di Kota Kotamobagu pada Selasa, 5 Maret 2024.
Kabela
Orang Bolaang Mongondow menganggap bahwa kabela telah ada sejak masa Salamatiti, Ibu Mokodoludut yang menjadi punu’ orang Bolaang Mongondow sekitar abad ke-14. Silsilah agung Bolaang Mongondow mencatat bahwa Salamatiti adalah anak dari Budolangit dan Sandilo dari Negeri Bumbungon Dumoga (Buk Ouman Sinumongondow, 1971: 278). Masa ini keterampilan yang diajarkan oleh Salamatiti antara lain, memintal benang (mongingkoi), menenun (mogabol), Kabela (mobatug) (Chairun Mokoginta, dkk, 2023: 202).
Kabela sendiri merupakan tempat sirih pinang yang dibuat dari gabus pelapah rumbia (kumbai) yang dihiasi dengan manik-manik halus berwarna-warni dengan motif manusia, binatang, atau daun tumbuhan. Bentuk kabela seperti kotak berukuran panjang, kira-kira 20 cm, lebar kira-kira 14 cm dan tinggi kira-kira 12 cm. Motif kabela lainnya antara lain motif lumandai (meraya) yang diambil dari tumbuhan merayap (sing-sing) sebagai simbol proses kehidupan manusia. Juga dikenal beberapa motif yang lain seperti motif malasai (pohon jarak), motif ini bermaksa sebagai simbol kesehatan (Chairun Mokoginta, dkk, 2023: 202-203).
Perkembangan kabela sendiri melalui proses yang panjang pada tiap masa. Tradisi lisan Bolaang Mongondow mengisahkan bahwa setelah Mokodoludut lahir, begitu banyak para bogani datang menjenguk bayi yang sejak lahir telah diangkat sebagai pemimpin (punu) orang-orang pra-Bolaang Mongondow. Pada masa itu sirih pinang masih diletakan di atas dedaunan biasa yang belum terlalu menarik. Oleh karena itu Inalie, ibu angkat Mokodoludut membuatkan sebuah kotak dari pelepah rumbia (tumpang) untuk meletakan sirih pinang yang akan disajikan kepada orang-orang yang datang.
Pada masa itu di Dumoga, pembuatan kotak kabela telah diajarkan oleh Salamatiti kepada orang-orang di sebuah tempat pendidikan (sekolah) kaum wanita yang bernama Sila’ad. Di Sila’ad ini diajarkan bagaimana cara memintal benang dan termasuk juga membuat kabela kepada perempuan-perempuan yang ada di kawasan Dumoga pada masa itu. Itulah yang menyebabkan mengapa Inalie juga bisa membuat kotak kabela yang digunakan untuk meletakan siri pinang demi menyambut orang-orang yang datang ke sana.
Transformasi kabela sendiri dimulai dari pingku di mana kotak masih dibuat dari pelepah pinang. Dari pingku’ kemudian menjadi kompe’ berbentuk kotak yang dibungkus dengan kain sikayu. Untuk menambah estetika orang-orang lalu menambah manik-manik. Kabela pertama sendiri masih menggunakan kain sikayu dengan motif yang dibuat berdasarkan imajinasi dan nilai-nilai dari motif yang diberikan oleh pembuat.
Kabela dan Nilai Kehidupan
Kabela tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan orang-orang Bolaang Mongondow di masa lalu. Benda ini berkaitan dengan nilai-nilai luhur masyarakat Bolaang Mongondow yang terkandung di dalamnya estetika, siritualitas, dan sosial. Nilai estetika dalam kabela dapat dilihat dari bentuk yang unik serta simbol-simbol yang terkandung di dalamnya. Nilai siprtualitas terkandung dari tatacara pembuatan yang dimulai dengan ritual itu-itum (mendoakan) agar kabela yang dibuat bisa membuat hidup pemiliknya menjadi makin baik dan dilancarkan semua urusan. Nilai sosial bisa dilihat dari manfaat kabela yang digunakan untuk meletakan sirih pinang yang akan menyambut tamu dan menghargai mereka dengan sungguh-sungguh. Kabela merupakan manifestasi kehidupan dan nilai luhur orang Bolaang Mongondow kepada Tuhan dan sesame manusia.
Aspek siprtualitas lain dari kabela misalnya dijelaskan oleh Chairun Mokoginta (Wawancara: Genggulang, 2 Maret 2024) dalam beberapa kombinasi warna putih, hitam dan merah pada kabela itu sendiri. Warna putih di kabela oleh orang Bolaang Mongondow diartikan sebagai warna kehidupan. Putih mengasosiasikan sebagai alam yang terang benderang, alam nyata kehidupan sebagai tempat manusia tinggal di dunia dan terikat dengan Tuhan, manusia, dan alam tempat tinggal kita. Sedangkan hitam adalah warna alam setelah kematian manusia (akhirat), sebuah negeri yang berada di sisi lain alam dunia dan manusia dibatasi pengetahuannya untuk memahami tempat tersebut (gaib). Sedangkan warna merah dalam kabela adalah warna manusia itu sendiri dari warna merah darah kehidupan. Tiga warna ini ada dalam kabela yang dibuat dengan ritual itu-itum (mendoakan) kebaikan-kebaikan bagi pemiliknya.
Menurut Chairun Mokoginta, kata “kabela” diambil dari kata “kabel/kumabel” sebuah bahasa lama (bahasa Mongondow kuno) yang berarti “menetap/tinggal”. Dari kata kabel/kumabel itu kemudian nama “kabela” diambil yang mengandung makna filosofis sesuai peruntukan kabela itu sendiri yang digunakan untuk tempat sirih pinang dengan bentuk persegi panjang, dihiasi manik-manik warna-warni; agar bilat amu datang, kabela’ berisi sirih, pinang, gambir kapur, dan tembakau untuk disuguhkan kepada tamu (Mokoagow, 2015: 80). Menurut Chairun Mokoginta, sejak dahulu orang Bolaang Mongondow selalu berupaya menyambut dengan sebaik-baiknya tamu yang datang agar mereka memiliki kesan yang baik dan mendalam kepada tuan rumah yang menyambutnya. Dengan meletakan sirih pinang dan kapur yang dimakan oleh si penyambut dan tamu maka itu menjadi simbol penyatuan perasaan, sikap, hati, dan jiwa di antara mereka. campuran sirih, pinang, dan kapur akan menjadi satu warna merah sebagai simbol penyatuan jiwa dan perasaan antara mereka sehingga dengan itu tamu akan memiliki kesan yang tertinggal (kabel) dan akan selalu diingat setelah mereka pulang.
Pada upaca monondeaga yang biasanya hanya dilaksanakan oleh kaum bangsawan atau oleh orang-orang kaya, karena upacara ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Upacara ini bertujuan antara lain untuk mempertinggi penghargaan masyarakat terhadap orang tua dan anak gadisnya. Juga mendoakan agar si gadis akan bertumbuh menjadi gadis yang cantik dan kemudian mendapatkan jodoh yang pantas baginya. Upacara im dilaksanakan pada saat si gadis mendapatkan haid pertama dan jika tidak sempat dapat dilaksanakan sesudah haid, tetapi jangan sampai melewati haid kedua. Upacara ini dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu: tahap pertama disebut poaimbuan, tahap kedua upacara puncak yang dilanjutkan dengan makan bersama dan tahap ketiga mengarak si gadis keliling desa (Saud, dkk, 2004: 45-46). Pada upacara ini biasanya gadis selama 40 hari berada di atas binubungan (sebuah ruangan di atas atap rumah) dan dilatih membuat tikar, kabela, dan sebagainya.
Kabela yang mengandung arti mendalam bagi masyarakat Bolaang Mongondow perlu mendapat perhatian serius bagi kita semua termasuk masyarakat dan pemerintah. Upaya pelestarian ekosistem kabela yang benar-benar lahir dari masyarakat Bolaang Mongondow perlu diperhatikan bersama karena meski kabela dibuat di Bolaang Mongondow, kenyataannya beberapa bahan seperti manik-manik itu bukan diproduksi di Bolaang Mongondow tetapi dari luar daerah (biasanya di pesan di Jawa). Pemerintah mungkin perlu memproduksi barang ini agar bisa memudahkan UMKM untuk memproduksi kabela yang benar-banar berasal dari masyarakat itu sendiri. Selain itu bagi para pengrajin kabela, agar kembali memasukan makna-makna filsosofis dalam membuat motif dan pewarnaan kabela agar sesuai dengan tujuan pelestarian dan revitalisasi kabela itu sendiri baik dalam bentuknya, warna, produksi, dan motif-motif yang memiliki nilai mendalam bukan hanya pada kepentingan estetika semata.
Daftar Sumber
Madedeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap; Bijdragen Tot De Kennis De Zending En Der Taal, Land- En Volkenkunde Van Nederlandsche Indie. 1871. Rotterdam: Beestuurders Van Het Genootschap.
Mokoagow, Saad. 2015. Kamus Bahasa Mongondow-Indonesia. Indie Publishing.
Mokoginta, Chairun, dkk. 2023. Buku Induk Bahan Ajar Mulok: Sejarah dan Kebudayaan Bolaang Mongondow Untuk SD dan SMP Kabupaten Bolaang Mongondow. Lolak. Dinas Pendidikan Kabupaten Bolaang Mongondow.
Saud, Lily E.N, dkk. 2004. Budaya Masyarakat Suku Bangsa Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Wawancara Bapak Chairun Mokoginta (Usia 70 Tahun). Kelurahan Genggulang, 2 Maret 2024.