Oleh: Anugrah Begie Gobel*
Kematian adalah keniscayaan. Namun kepergian insan, apalagi pesohor, selalu mengejutkan. Termasuk Diego Armando Maradona, atau Maradona saja.
Setelah berjuang hidup mati melawan penyakit yang menggerogotinya, terakhir adalah hematoma subdural (gumpalan darah di otak), Maradona tak kuasa melawan takdir, jantungnya berhenti bekerja. Dan, Bye. Adios (bahasa Spanyol, bahasa induk orang Argentina).
Rakyat Argentina pun dirundung kesedihan luar biasa. Maradona adalah legenda. Bukan hanya di negeri Tango itu. Tapi legenda dunia. Banyak yang tak kenal atau tahu sepakbola, tapi tahu Maradona.
Di Argentina, semua ucapannya pasti didengar. Maradona lebih berpengaruh dari siapapun yang jadi presiden, semasa pria 60 tahun ini hidup. Saking besarnya pengaruh Maradona, hingga AFA (federasi sepakbola Argentina) melakukan “perjudian” besar dengan menunjuk pemilik kaki kidal maut ini menjadi head coach tim Tango di Piala Dunia 2010 di Afsel.
Padahal Maradona tak punya reputasi “wah” sebagai pelatih. Klub-klub yang diasuhnya, sama sekali tak berprestasi. Malah, salah satu klub di UEA terdegradasi kala dilatih Maradona!
Tak Akan Ada “Cinta Kedua”
Kesedihan mendalam pasti juga dirasakan masyarakat Naples, Italia. Maradona adalah “Dewa” di sana. Memang rekor golnya di klub Napoli (klub sepakbola kota Naples) sebanyak 115 gol sudah dipatahkan Marek Hamsik (121 –kemudian dilampaui Dries Martens (122 musim 2019/2020 lalu). Namun prestasi Maradona masih belum bisa disusul Hamsik dan Martens. Dua kali Napoli dibawanya scudetto dan sekali juara UEFA Cup, tahun 1989.
Dari sisi kuantitas, jumlah itu tentu tak sepadan dibandingkan dengan, misalnya Chiellini dan Buffon yang mengantar Juventus delapan dan tujuh kali scudetto, terakhir musim kompetisi tahun lalu (2019-2020). Atau Ribbery dan Robben di FC Bayern München yang juara Bundesliga enam kali berurutan.
Tapi Napoli adalah klub “antah berantah”, yang begitu Maradona bergabung, jadi klub kuat. Konon biaya transfer Maradona dari FC Barcelona ke Napoli bukan berasal dari budget klub sebagaimana lazimnya sepakbola modern atau rogohan pribadi pemiliknya seperti Roman Abramovich di Chlesea, tapi hasil patungan masyarakat Naples!
Transfer yang kemudian dibayar lunas oleh prestasi dan performa Maradona. Dia langsung didaulat jadi kapten. Dan mulailah Napoli beringsut jadi raksasa Italia, pula Eropa.
Permainan Napoli menghibur dengan dirigen Maradona. Di setiap musim, Maradona selalu bersaing menjadi capo cannonieri (top scorer), bersaing dengan pemain-pemain bintang lima lainnya, Van Basten dan Gullit (milik AC Milan), Serena dan Matthäus (Inter Milan), Vialli dan Baggio (Juventus), serta striker se-klub, Careca.
Yang tak kalah penting dari prestasi dan aksi di lapangan hijau, karakter pemberontak Maradona amat identik dengan masyarakat Italia Selatan, letak Naples di peta Italia. Keberadaan Napoli mengusik kemapanan sepakbola Italia Utara lewat klub-klub Juventus, AC Milan, Inter Milan, Fiorentina, dan klub ibukota, AS Roma.
Jika boleh dibahasakan dalam dialek Melayu-Manado seperti ini: “Sepakbola Italia bukang cuma Ngoni (Italia Utara), tapi Torang ley (Italia Selatan).”
Lengkaplah sudah posisi Maradona sebagai “Dewa” atau capo, sematan untuk Don Corleone, tokoh sentral mafia dalam buku “The Godfather” karya Mario Puzzo. Jadi, tidak pernah akan ada lagi “Maradona” lain di Napoli. Sehebat apapun dia. Bahkan jika Messi dan Ronaldo bergabung.
(BERSAMBUNG)
*) Penulis, Ketua Bapemperda DPRD Kota Kotamobagu, penulis, dan jurnalis non aktif.