Oleh: Anugrah Begie Gobel*
Selepas itu, 1983, Maradona ditransfer dari klub negaranya, Boca Juniors ke FC Barcelona dan memecahkan rekor pembelian kala itu. Sebetulnya di klub asal Katalan ini, dia bermain bagus. Sayang, Barcelona gagal juara La Liga musim itu.
Maradona malah jadi public enemy saat jadi biang perkelahian massal antara Barcelona vs Atletico Bilbao di semifinal Copa Del Rey akibat tak tahan selalu dikasari selama pertandingan, khususnya oleh Andoni Goichoetxea –ironisnya jadi pemain Barça setelah Maradona pergi.
Hanya semusim Maradona di Barcelona, kemudian diboyong Napoli. Di Italia, kegemilangan prestasi, permainan, dan sikap vokal a la Italiano (orang Italia) Selatan, membuat dia punya banyak musuh dan pembencinya, khususnya para petinggi FIGC (federasi sepakbola Italia) bahkan FIFA.
Di luar lapangan, skandal seks dan obat-obatan, terutama kokain dan doping menjadi “makanan” empuk pers menyorotinya dan intaian musuh untuk menghabisi Sang Maestro. Dua handicap ini, ditambah selaksa pedih atas kekalahan Italia dari Argentina pada semifinal Piala Dunia 1990, bukan hanya hasil tapi juga pemberontakan orang-orang Naples, membuat Maradona dipaksa keluar dari Italia dan klub Napoli yang dicintai (dan menyintainya).
BACA JUGA: Maradona, Diantara Cinta dan Benci (Bagian Kedua)
Saya terus terang membenci Maradona kala masa jayanya. Benci karena kehebatan dan daya magisnya membuat timnas yang saya dukung dan melawan Argentina -seperti Brazil, Italia, dan Jerman (Barat)- dan klub yang melawan Napoli -AC Milan- di Serie A sering dikalahkan Maradona. Maksudnya, Argentina dan/atau Napoli main jelek dan pantas kalah, namun Maradona-lah pembedanya.
Maradona kembali ke La Liga Spanyol, bergabung ke klub Andalusia, Sevilla. Namun puncak penampilannya adalah di Napoli. Sevilla yang memang sekelas Napoli sebelum Maradona masuk, hanya biasa-biasa saja. Sang Dewa yang terusir ini lantas kembali ke klub lamanya, Boca Juniors.
Di level internasional, sempat dihukum karena menggunakan steroid, Maradona comeback di Piala Dunia 1994 di AS. Turnamen dimana “Maradona” lain, yakni Hagi, bersinar. Maradona sebetulnya juga cemerlang. Duetnya bersama Gabriel Batistuta di fase grup luar biasa.
Sayang, musuh-musuhnya mulai kasak-kusuk, dan dicari sisi lemah Maradona. Saat di tes doping, dia terbukti positif. Dia pun terpaksa “pulang kampung” . Tanpa Maradona, di perempat final Argentina dihentikan Belanda.
Seperti rivalitas Messi dan Cristiano Ronaldo, di masa puncaknya, Maradona selalu dibandingkan dengan Pele, juara dunia tiga kali Brazil (1958, 1962, dan 1970). Beda dengan Messi-Ronaldo yang hampir aktif bermain bersama, Maradona-Pele datang di era yang berbeda. Hingga parameternya agak rumit diperbandingkan.
Laiknya Muhammad Ali di tinju, mulut Maradona senakal tingkahnya di dalam dan luar lapangan. Walaupun musuhnya di elit FIFA kerap membuat “pencitraan” bahwa Pele lebih baik, Maradona dengan “pede”-nya selalu mengklaim dirinyalah yang terbaik di planet bumi.
Saat milenium baru, FIFA mengampanyekan penghargaan langka: pemain terbaik abad- 20. Dan nominator tunggalnya sudah digiring: Pele. Benarlah demikian. Hari penobatan tinggal menunggu waktu.
Tapi, masyarakat sepakbola dunia memrotes. Jalan tengah terpaksa ditempuh FIFA: dilakukan jajak pendapat. Alhasil terpilih nama teratas dengan selisih mutlak dari yang lain: Maradona. Maka saat penobatan, Pele dan Maradona terpilih bersamaan sebagai Pemain Terbaik Dunia Abad- 20. Pele versi FIFA, Maradona versi jajak pendapat. Raja (Pele) dan Dewa (Maradona) itupun mendapatkan haknya secara adil.
Begitulah perjalanan hidup Maradona. Sarat kontroversi. Cinta dan benci beriringan. Cinta oleh akar rumput, khususnya di Argentina, Kota Naples, dan dunia, benci oleh elit-elit dan seteru Argentina dan Napoli. Namun di “kepulangannya”, Maradona mendapat satu sikap: respek. Penghormatan terakhir pada Sang Dewa, Capo, atau legenda.
Federasi, klub, dan pemain serta mantan pemain, ramai-ramai menyampaikan bela sungkawa dan rencana prosesi penghormatan, seperti FA Inggris, FC Barcelona, Pele, Messi, Aguero, Pep Guardiola, dan masih banyak lagi.
Saya memang sempat membencinya. Namun tak serta merta benci itu dibawa selamanya. Karena Maradona pantas mendapatkan penghormatan dan doa keselamatan di alam selanjutnya.
Rival terbesarnya, Pele berucap dengan kalimat menyentuh, “Saya menantikan kami akan bermain bersama di surga.”
Adios, Maradona.
(Selesai)
*) Penulis adalah penulis dan jurnalis non aktif.