Oleh: Murdiono Prasetio A Mokoginta
AWAL abad XX, untuk terakhir kali, Bolaang Mongondow diberi kesempatan mendapatkan perhatian Belanda melalui Residen Manado untuk fasilitas pendidikan melalui program sekolah misi. Beberapa guru misi yang dikirim ke Bolaang Mongondow antara lain; Br. William Dunnebier, Br. A.V.D. Endt, Br. J.H.D. Nijenhuis, Ny. A.G.V. Prehn-Boom (mengajar di Holland. School), Ny. J. Nijenhuis-Evers, Ny. A.M.V.D. Endt-Mallee, Nettie V. D. Endt, dan Ny. Dunnebier-Demmenie (istri W. Dunnebier).
Sayangnya kedatangan mereka tidak lagi membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini karena pengaruh Islam telah mengakar begitu kuat pada hampir semua masyarakat asli di Kerajaan Bolaang Mongondow sejak akhir abad ke-19.
Jika saja Residen Manado mengindahkan keinginan Jacobus Bastian (guru misi di Bolaang Mongondow Tahun 1831-1881), maka keprihatinan ini tidak mungkin terjadi. Mari membuka lembaran sejarah sedikit jauh di abad ke-19, ketika Islam merambah istana kerajaan.
Islamnya Raja Jacobus Manuel Manoppo (1844)
Akhir abad ke-19 memberi kesempatan pada penyebaran Islam yang pesat di Bolaang Mongondow. Bila abad ke-17 menjadi masa keemasan penyebaran Kristen, maka akhir abad ke-19 pengaruh itu mulai goyah. Terlebih ketika Raja Jacobus Manuel Manoppo (1831–1856) memeluk Islam pada tahun 1844, diikuti bawahan dan keluarga istana, maka pengaruh Kristen dalam kerajaan mulai runtuh.
Orang-orang Arab yang menetap di Kerajaan Bolaang Mongondow juga turut serta dalam penyiaran Islam yang lebih luas pada masyarakat. Tidak adanya misi penyiaran di separuh akhir abad ke-19 dan juga dakwah Islam di kalangan masyarakat akar rumput (masyarakat biasa) yang kian gencar membuat kepercayaan dan tradisi Islam membudaya kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Akhir abad ke-19 tidak ada lagi yang mampu mengubah pendirian sebagian besar penduduk kerajaan Bolaang Mongondow. Bahkan jika Belanda melakukan tindakan represif untuk mengekang hak beragama mereka, maka perlawanan rakyat sewaktu-waktu akan meletus dan isu yang diangkat kepermukaan tentu adalah ‘identitas’. Belanda tidak ingin kerugian seperti itu dan terpaksa menerima keputusan Raja Jacobus Manuel Manoppo saat memeluk Islam.
Negosiasi dan Kompromi
Masuknya raja ke dalam agama Islam menjadikan Kerajaan Bolaang Mongondow secara de facto menjadi kekuasaan Islam yang independen di wilayah utara pulau Celebes. Ini di luar ekspektasi Belanda yang sebenarnya begitu ingin menjadikan Bolaang Mongondow tunduk sepenuhnya kepada Belanda.
Memaksakan kehendak agama mereka terhadap raja dan penduduk Islam Bolaang Mongondow adalah tindakan yang ‘gegabah’ dalam pemikiran Belanda. Belajar dari perang Aceh yang hingga penghujung abad ke-19 tak kunjung usai membuat mereka berpikir untuk untuk bertindak keras. Jalan satu-satunya adalah berkompromi dengan Raja Jacobus.
Setelah raja masuk Islam pada tahun 1844, beliau ke Manado untuk melakukan pertemuan dengan Abraham Isaac Van Olpen pejabat Residen Manado (1843 – 1850), memberi pernyataan terkait masuknya beliau ke dalam agama Islam. Pertemuan ini berlangsung genting. Namun Di sini terlihatlah pendirian Raja Bolaang Mongondow yang tidak ingin diusik atas keputusan pribadinya dalam beragama.
Raja Jacobus bertanya kepada segenap hadirin, “Vroeg of daartegen ook bezwaren zouden bestaan?” (hlm. 15) “Apakah ada yang keberatan untuk itu?”, kepada para pejabat Residen Manado atas sikap beliau yang telah memeluk Islam.
“Hiertegen bestaat onzerzijds geen enkel bezwaar, Als ge maar trouwe onderdanen van het Gouvernement blijft.”(hlm.15),, artinya “Kami tidak keberatan dengan ini, selama anda tetap setia kepada pemerintah,” Itu jawaban Residen Manado sebagai kompromi atas keputusan Raja yang tidak bisa diganggu-gugat lagi.
Sempat Residen Manado meminta Raja Jacobus agar menggunakan kekuasaanya untuk kembali melakukan transisi di sana, tapi raja menolak tindakan seperti itu. Kalau penduduk ingin meninggalkan Islam biarlah atas keinginan mereka sendiri jika misionnaris bisa kembali ke sana untuk mengubah keyakinan rakyat Bolaang Mongondow. Karena raja tetap menjamin bahwa tidak ada larangan bagi misi-gembala yang datang mengabarkan misi ke Kerajaannya.
Era Baru Bolaang Mongondow
Tidak dapat dibayangkan kekecewaan Belanda atas gagalnya misi ‘gospel’ yang dirintis sejak masuknya Portugis, hingga VOC yang menjalin kerjasama dengan Kerajaan Bolaang Mongondow sejak abad 17. Bukankah di abad itu misi perkabaran mengalami perkembangan yang pesat bahkan berpengaruh kuat di kalangan kerajaan?, bukankah kelompok Muhammaden (Islam) hanya terdiri dari masyarakat jelata yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa?
Kini Belanda harus menelan pil pahit atas kegagalan mereka. Raja Jacobus Manuel Manoppo telah memeluk Islam, dan Belanda tidak bisa melakukan daya apapun untuk menekan raja dan rakyatnya selain berkompromi dan berharap bahwa mereka akan tetap setia bekerja sama dengan Kolonial. Melancarkan perang hanya mendatangkan kebinasaan.
Bagi Belanda, masuknya Raja Bolaang Mongondow sebagai pemeluk Islam adalah kerugian bagi penduduk kerajaan itu sendiri. Akan sulit bagi residen untuk mendatangkan uang yang banyak, dan berbagai bantuan publik dari Batavia ke Kerajaan ini. Islam-nya mereka adalah alamat kemunduran. Mereka tidak diperhatikan lagi. Itulah hukuman setimpal atas keputusan raja dan rakyatnya. Raja tidak berfikir bahwa kepentingan seluruh penduduknya dipertaruhkan.
Kini rakyat Bolaang Mongondow telah menentukan jalannya masa depan mereka di tanah Hindia. Mereka akan terasing dan tidak diperhatikan. Apapun permintaan mereka kepada pemerintah hindia, akan sulit direalisasikan karena tidak lagi sejalan antara Pemerintah Hindia dan Kerajaan Bolaang Mongondow. Ini dilematis, tapi bagaimanapun Bolaang Mongondow telah bersikap.
Residen Manado biar bagaimanapun tidak mungkin merengek atas lepasnya pengaruh ‘gospel’ di Bolaang Mongondow. Ketika raja kembali ke Bolaang Mongondow, beliau justru menyampaikan kepada rakyatnya bahwa pemerintah telah merestui mereka masuk Islam.
Atas hal ini, Van der Endt yang datang di awal abad ke-20 dan mengalami kesulitan misi perkabaran berpendapat bahwa ia tidak bisa menyalahkan keputusan Raja Jacobus saat menjadi Islam. Kenyataan memang tidak ada pilihan lagi bagi raja selain memeluk Islam karena sebagian besar penduduknya tidak asing lagi dengan agama ini.
Van der Endt lalu berguman; “Zoo begon voor Mongondow een nieuw tijdperk, waarin het hoe langer hoe meer van de kennis van God vervreemdde.” (hlm. 16) Artinya ; “Maka dimulailah era baru bagi Mongondow, di mana ia menjadi semakin terasing dari pengetahuan tentang Tuhan.”
Bolaang Mongondow telah lepas, hilang dan terasing. Tidak akan mungkin Batavia memperhatikan wilayah yang tidak sejalan dengan misi mereka. Tapi jika mengalihkan pandangan ke Minahasa sungguh perbedaan yang kontras. Pada pertengahan Abad ke-19, misi dan perkabaran di sana semakin banyak menaklukan tempat hati orang-orang. Adapun Tanah Mongodow telah terjadi penurunan spiritual dan keterasingan dari pengetahuan tentang Tuhan yang hidup, tulis Endt.
(BERSAMBUNG)
*) Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)