JAKARTA — Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, mengemukakan, Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan kepala daerah. Begitupun presiden, kata Yusril, tak berwenang mengambil inisiatif memberhentikan kepala daerah (Kada).
“Instruksi Presiden, Instruksi Menteri, dan sejenisnya pada hakikatnya adalah perintah tertulis dari atasan kepada jajaran yang berada di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,” jelas mantan Menteri Hukum dan HAM ini, pada Sabtu (21/11).
Yusril melanjutkan, sebetulnya bisa saja di dalam Instruksi Mendagri itu ada ancaman kepada Kada yang tidak mau melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait penegakkan protokol kesehatan. Namun, katanya, proses pelaksanaan pemberhentian Kada itu tetap harus berdasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
UU Pemerintahan Daerah sekarang, terang Yusril, menyerahkan pemilihan Kada secara langsung kepada rakyat melalui pemilihan Kada (Pilkada) yang dilaksanakan oleh KPU dan KPU di daerah. KPU adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan mana sebagai pemenang dalam Pilkada.
“Walau kadang kala KPU harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila penetapan pemenang yang sebelumnya telah dilakukan, dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi,” kata saksi ahli saat gugatan hasil Pilkada Kotamobagu di MK tahun 2013 ini. Pasangan manapun yang ditetapkan KPU sebagai pemenang, kata Yusril, tak dapat dipersoalkan, apalagi ditolak oleh pemerintah.
Presiden atau Mendagri hanya perlu menerbitkan keputusan tentang Pengesahan Pasangan Gubernur atau Bupati/Walikota terpilih dan melantiknya. “Jadi, presiden tidak berwenang mengambil inisiatif memberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur. Mendagri juga tak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan bupati dan wali kota beserta wakilnya,” jelas Yusril.
Dia melanjutkan, semua proses pemberhentian Kada tetap harus dilakukan melalui DPRD. Termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d, yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan Protokol Kesehatan.
“Jika ada DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan atau impeachment,” kata dia. Menurut Yusril, jika DPRD berpendapat sudah ada cukup alasan bagi Kada untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib disampaikan kepada Mahkamah Agung.
Penyampaian itu wajib dilakukan untuk dinilai dan diputuskan apakah beralasan menurut hukum atau tidak. Untuk tegaknya keadilan, masih lanjut Yusril, maka Kada yang akan dimakzulkan itu diberi kesempatan oleh Mahkamah Agung untuk membela diri. Karena itu, ulas Yusril, proses pemakzulan tersebut akan memakan waktu lama. Mencapai satu tahun atau bahkan lebih.
Makanya, dipaparkan Yusril, kewenangan presiden dan Mendagri hanya melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan oleh DPRD dalam hal Kada didakwa ke pengadilan dengan ancaman pidana di atas lima tahun. Bisa pula jika Kada itu didakwa melakukan korupsi, makar, terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara atau kejahatan memecah-belah NKRI.
“Kalau dakwaan tidak terbukti dan Kada tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih tersisa, presiden dan Mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya,” kata dia.
Untuk diketahui, sebelumnya Mendagri Tito Karnavian mengeluarkan instruksi yang memuat ketentuan Kada bisa diberhentikan jika melanggar protokol kesehatan Covid-19. Instruksi itu terbit sehari pasca Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diminta klarifikasi polisi terkait dugaan pelanggaran protokol kesehatan di acaranya Habib Rizieq Syihab.
(cag/republika.co.id)