Oleh: Murdiono Prasetio A. Mokoginta
Saatnya saya akan membawa kalian menyusuri ruang waktu untuk melihat kembali Bolaang Mongondow di awal abad ke 20. Banyak hal menarik yang perlu diangkat dan dibaca kembali untuk merawat ingatan kita agar tidak mudah mengalami amnesia sejarah.
Bagaimana pun sejarah penting untuk dipelajari guna menatap masa depan yang lebih baik. Kita belajar sejarah agar menjadi bijaksana dalam menyusun visi masa depan.
Tanpa sejarah, masa kini hanya seperti kehidupan yang kehilangan ruh penggeraknya. Kita seperti menyusuri ruang gelap tanpa arah dan akhirnya tersesat tanpa tujuan dan hilang dalam pusaran peradaban-peradaban manusia.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap sejarah lokal kita, di tengah kesibukan aktifitas mengajar, saya menerjemahkan beberapa catatan-catatan yang memiliki nilai historis terutama yang berkaitan dengan sejarah Bolaang Mongondow.
Bagi saya, menerjemahkan, sambil mencatat poin-poin penting masa lalu adalah bagian dari heuristik (pengumpulan sumber sejarah). Ada saatnya di mana berbagai informasi ini pasti akan berguna bagi saya sendiri maupun orang lain yang juga kelak akan melakukan penelitian sejarah Bolaang Mongondow.
Benang merah sejarah yang mulai kusut ini perlu di ikat kembali agar masa lalu dan masa kini saling menyambung dan kita bisa menemukan jawaban-jawaban tentang kehidupan masyarakat Bolaang Mongondow seiring dengan makin banyaknya sumber-sumber sejarah yang mulai ditemukan oleh para peneliti dan pengiat sejarah lokal kita.
De Zending In Bolaang Mongondow
“De Zending In Bolaang Mongondow”, diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia artinya “Pengiriman Ke Bolaang Mongondow”. Ini merupakan buku harian yang ditulis oleh seorang guru misi yang bernama Adr. Van der Endt. buku ini terbit tahun 1921 Oleh Uitgave Van Het Zendingsbureau Te Oegstgeest (Bij Leiden), yaitu kantor misi di Oegstgeest Kota Leiden Belanda. Buku ini kelak dikoleksi oleh Perpustakaan Universitas Teologi Apeldoorn.
Secara temporal, latar di dalam buku ini mengulas tentang Bolaang Mongondow sekitar tahun 1910 – 1920. Jadi ada sekitar satu dekade Endt menulis hal-hal penting tentang daerah ini berdasarkan pengalaman pribadinya selama tinggal di sini.
Saya akan mencoba mengulas poin-poin penting dari catatan ini untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita semua.
Bolaang Mongondow yang Bebas
Pada halaman awal catatannya, Endt melihat ada keunikan tersendiri antara Bolaang Mongondow dan Minahasa dari segi sosial – budayanya yang bahkan menurutnya, tidak akan ditemukan di tempat lain di Hindia Belanda.
Keunikan yang dimaksud oleh Endt, yaitu hubungan antara dua wilayah ini yang secara geografis bertetangga, tapi akulturasi budaya seakan tidak saling mempengaruhi. Ia lalu menjawab bahwa faktor agama lah yang menjadi akar masalah ini.
Minahasa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, dan Bolaang Mongondow yang beragama Islam menciptakan perbedaan mendasar bagi dua wilayah ini mulai dari karakter, gaya hidup, pakaian, makanan dan minuman dll.
Endt beranggapan bahwa Bolaang Mongondow adalah sebuah negara yang bebas dari intervensi manapun di wilayah Sulawesi. Ia setuju bahwa Bolaang Mongondow bisa saja memimpin wilayah-wilayah disekitarnya, hanya saja Bolaang Mongondow perlu lebih terbuka dengan pengaruh-pengaruh Eropa sebagaimana Minahasa.
Dari catatan ini kita mengatahui bahwa hingga awal abad 20, meskipun pihak Kerajaan Bolaang Mongondow telah lama memiliki hubungan dengan pemerintah Belanda, tapi masyarakat akar rumput Bolaang Mongondow berhasil menjaga kebudayaan mereka dari pengaruh-pengaruh Barat, bahkan wilayah-wilayah tetangganya seperti Minahasa.
Saya tekankan lagi, bahwa Bolaang Mongondow hanya bisa dipengaruhi oleh Belanda secara politik, tapi ‘tidak secara sosial-budaya’. Hal ini karena pengaruh Islam di masyarakat akar rumput yang membuat masyarakat daerah ini menjadi tertutup.
Islam di Bolaang Mongondow bukan sebatas ajaran spiritual masyarakat, tapi lebih dalam, Islam telah menjaga masyarakat Bolaang Mongondow dari pengaruh-pengaruh budaya Barat. Kontras dengan Minahasa yang benar-benar berada dalam pengaruh masayarakat koloni Eropa yang tinggal di sana.
Lokasi dan Geografis Bolaang Mongondow
Mengambarkan daratan Bolaang Mongondow, Endt menulis; “Allereerst mag ik u dan zeker wel even bekend maken met de ligging en aardrijkskundige gesteldheid van het land. We vinden het op het noordelijk schiereiland van Celebes, tusschen Gorontalo en de Minahassa, een stuk land, ongeveer zoo groot als onze provincies Friesland, Groningen en Drente te zamen. In het Noorden grenst het aan de Celebeszee, in het Zuiden aan de Golf van Gorontalo.”
Terjemahannya; “Pertanianama-tama, saya coba memperkenalkan kalian kepada lokasi dan geografi ‘negara’ (Bolaang Mongondow). Kita menemukan di semenanjung utara Sulawesi, di antara Gorontalo dan Minahassa, sebidang tanah kira-kira seluas Provinsi kami di Friesland, Groningen dan Drente. Di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sulawesi, di sebelah Selatan Teluk Gorontalo.”
Endt mengambarkan bahwa wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow, sebagai sebuah negara, memiliki luas yang sama dengan tiga provinsi di Belanda, yaitu Provinsi Friesland, Groningen, dan Drenthe. Ke tiga provinsi ini bisa di temukan melalui laman Wikipedia.
Sekitar tahun 1910-1920 penduduk di Bolaang Mongondow adalah sekitar 60.000 jiwa. 40.000 Jiwa di Kotamobagu, dan 20.000 jiwa di sekitarnya. Kediaman Controleur dan sekolah Hollandsche berada di Kotamobagu, sedangkan Kotobangon adalah tempat kediaman Raja dan pribumi terkemuka. Adapun Dunnebier saat itu ia bertempat tinggal di Passi. Wilayah Kotamobagu yang kita kenal saat ini, menurut Endt terdapat kurang lebih 30 desa yang saling berdekatan satu sama lain sehingga nampak seperti sebuah hamparan besar Kota.
Islam Sebagai Benteng Budaya
Bolaang Mongondow abad 20 nyatanya memang dianggap sebagai sebuah ‘negara’ oleh kolonial Belanda. Hal ini berdasarkan catatan Endt yang selalu menggunakan kata ‘land’ ketika menyebut geografis Bolaang Mongondow yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti ‘negara/tanah’.
Saat menyebut Gorontalo dan Minahasa, Endt sama sekali tidak menggunakan kata di atas. Ini bukan hal yang aneh, mengingat Bolaang Mongondow adalah sebuah kerajaan yang berdaulat dan diakui oleh pemerintah Belanda. Mereka mempengaruhi kebijakan Bolaang Mongondow secara politis, tapi tidak secara budaya, sosial, dan agama.
Untuk mempengaruhi tiga aspek di atas, mereka menggunakan sarana pendidikan dengan mengirim beberapa guru misi ke Bolaang Mongondow walaupun berakhir gagal karena pengaruh Islam telah mengakar kuat di masyarakat Bolaang Mongondow secara umum.
Ditambah lagi, model pendidikan Belanda yang cenderung rasis dan tidak memberi kesempatan kepada masyarakat biasa menyebabkan penetrasi budaya Eropa tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
Itulah beberapa poin yang saya garis bawahi dalam bagian pertama tulisan ini. Masih banyak informasi-informasi historis yang perlu saya angkat untuk menambah wawasan sejarah kita semua. Saya menulis kurang lebih lima bagian yang mengulas poin-poin penting dalam buku catatan De Zending In Bolaang Mongondow, karya Van der Endt ini. Karena banyak sekali gambaran masa lalu Bolaang Mongondow yang saya rasa perlu kita ketahui dan pelajari.
Selama masih diberi ruang untuk menerbitkan tulisan-tulisan ini, saya akan mengulas bagian-bagian lainnya secara bersambung. Sebagaimana kata pepatah “Saat sebagian orang sibuk dengan masa depan. Perlu ada orang lain yang membaca masa lalu dan menuliskannya.”
*Penulis adalah PNS, guru di SMPN IV Kotamobagu dan Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)