Oleh: Donald Q Tungkagi
Tepat di hari pahlawan, 10 November 2020, Sulawesi Utara mendapat hadiah lagi berupa anugerah gelar pahlawan nasional untuk salah satu tokohnya.
Adalah Arnold Mononutu menjadi tokoh bergelar pahlawan nasional ke-10 asal Sulawesi Utara. Ini menggenapi A.A. Maramis, yang menempati posisi pahlawan ke-9 saat diberi gelar setahun sebelumnya.
Capaian 10 tokoh bergelar pahlawan asal Sulawesi Utara ini jelas merupakan prestasi luar biasa. Dibanding dengan daerah atau etnis dan suku lainnya di Indonesia, jumlah tokoh bergelar pahlawan nasional asal Sulawesi Utara terbilang cukup banyak bahkan terbanyak jika dilihat dari jumlah penduduknya.
Sebagai warga Sulawesi Utara jelas saya ikut berbangga. Namun di sisi lain juga, jujur saya tak bisa menyembunyikan rasa kecewa. Musababnya dari 10 tokoh tersebut masih tetap saja keterwakilan Bolaang Mongondow Raya belum juga mendapat jatah.
Masa iya satu-satunya kerajaan terbesar di semenanjung utara pulau Sulawesi menurut kolonial ini tak punya tokoh yang pantas? atau jangan-jangan sengaja tak dipantaskan? Apapun alasannya, tetap saja monopoli gelar pahlawan nasional dari salah satu entitas memang cukup disayangkan juga.
Informasi yang beredar di berbagai media, jika tidak berhalangan ada enam tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi pada tahun ini. Mereka diantaranya; Sultan Baabullah dari Provinsi Maluku Utara, Macmud Singgirei Rumagesan, Raja Sekar dari Provinsi Papua Barat, Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto, Tjokrodiatmodjo dari Provinsi DKI Jakarta, Arnold Mononutu dari Provinsi Sulawesi Utara, MR. SM. Amin Nasution dari Provinsi Sumatera Utara, dan Raden Mattaher Bin Pangeran Kusen Bin Adi dari Provinsi Jambi (DetikNews, Sabtu, 7/11/2020).
Gelar Pahlawan, Pentingkah?
Dalam karyanya berjudul Imagined Communities, Benedict Anderson mengungkapkan bahwa membangun sifat identitas baik sifatnya nasional maupun lokal, dengan cara menumbuhkannya melalui semangat-semangat kepahlawanan sangatlah penting.
Sedangkan identitas akan terus dibangun dan direkonstruksi melalui hal-hal yang berkaitan dengan sejarah. Dalam konteks ini, penganugerahan gelar pahlawan tersebut menjadi medium untuk mengkonstruksi identitas tersebut.
Pada dasarnya tokoh yang diberi gelar pahlawan dapat menjadi ikon sifat keteladanan, sekaligus merupakan prestise bagi daerah di mana pahlawan itu berasal. Bagi pemerintah daerah, gelar pahlawan nasional merupakan sebuah kebanggaan dan dapat dijadikan ukuran berhasil tidaknya suatu daerah dalam konteks nasional.
Pandangan tersebut sengaja ditampilkan untuk mempertegas bahwa keberadaan pahlawan nasional asal Bolaang Mongondow Raya juga sangat penting artinya. Selain bisa dijadikan sebagai cara mengkonstruksi identitas melalui pembuktian sejarah, juga demi menunjukkan peran entitas Bolaang Mongondow Raya dalam perjuangan kemerdekaan di level nasional.
Jika ditanya, siapa tokoh yang sekiranya pantas menjadi pahlawan nasional asal Bolaang Mongondow Raya? Dari sekian banyak tokoh yang ada, saya mengusulkan nama;
Datu Loloda Mokoagow alias Datu Binangkang alias Raja Manado alias Raja Bolaang alias Raja Mongondow.
Penyebutan berbagai nama Loloda Mokoagow ini bukan lahir dari ruang hampa apalagi imajinasi liar semata. Nama-nama ini justru fakta yang disebutkan dalam berbagai arsip-arsip kolonial dan juga ditemukan dalam tulisan orang lokal. Nama seperti Datu Binangkang dan Raja Manado tersebut faktanya merujuk pada tokoh yang sama yakni; Datu Loloda Mokoagow.
Misalnya, dalam arsip kolonial pada koran De Sumatra Post edisi Zaterdag 9 September 1939, tertulis ” Van Radja Datoe Binangkang (1689) den eersten Mongondouschen Radja die als zoodanig in de geschiedenis van Nederlandsc-Indie beken staat,..” informasi ini jelas menyebutkan bahwa Raja Datoe Binangkang adalah Raja Mongondow sebagaimana tertulis dalam sejarah Hindia-Belanda.
Sedangkan dalam arsip lokal, Datu Binangkang disebut juga sebagai Raja Manado. Seperti buku yang ditulis Stella B. Mantiri berjudul, Datu Binankang, Raja Manado (1644-1689): Pelopor Kemerdekaan Nusantara Utara. Dua referensi tersebut cukup memberi gambaran bahwa Datu Binangkang, Raja Manado, Raja Mongondow adalah Loloda Mokoagow.
Dibanding daerah lain di Sulawesi Utara, tidak diragukan lagi, Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang merupakan tokoh yang paling melekat di sanubari masyarakat Bolaang Mongondow Raya. Sebab tokoh ini merupakan bagian dari identitas kesejarahan masyarakat di negeri para bogani.
Jasa Loloda Mokoagow bahkan diabadikan melalui pemberian nama RSUD Datoe Binangkang, yang awalnya merupakan rumah sakit peninggalan Hindia-Belanda dan dibangun atas izin dari Raja DC Manoppo pada tahun 1917. Serta dijadikan juga sebagai nama bandar udara, yakni Bandara Loloda Mokoagow di Lolak.
Gelar Pahlawan untuk Loloda Mokoagow
Jujur saya sangat mengapreasi buku berjudul “Datu Binangkang, Raja Manado (1644-1689): Pelopor Kemerdekaan Nusantara Utara” karya Stella B. Mantiri yang diterbitkan tahun 1990. Bisa dibilang, ini salah satu karya yang ditulis orang luar Bolaang Mongondow namun cukup positif menjelaskan peran Loloda Mokoagow saat menguasai wilayah semenanjung Utara Sulawesi. Stella Mantiri sendiri adalah anak dari seorang Hukum Besar, H.C. Mantiri asal Minahasa.
Sebagai buku sejarah, buku ini sebenarnya bisa menjadi referensi utama bagi Pemda Sulawesi Utara untuk mengusulkan penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Loloda Mokoagow. Saya menduga, tujuan dibuatnya buku tersebut justru menuju ke arah ini. Hanya saja belum terealisasi hingga 30 tahun usia buku ini sejak diterbitan. Dari judul buku ini saja Datu Binangkang bisa diusulkan sebagai pahlawan pelopor kemerdekaan di Nusantara Utara.
Stella Mantiri dalam bukunya cukup banyak menyebutkan peran Loloda Mokoagow di kawasan semenanjung utara sulawesi (nusantara utara). Karena terbatasnya ruang redaksi, dari sekian banyak data, saya mengutip satu paragraf saja sebagai contoh.
Mantiri menulis pada paragraf pertama halaman 33 sebagai berikut: “Begitu hebatnya Perang Nusantara bagian Timur di laut Maluku menghadapi VOC itu sehingga tidak dapat dibedakan lagi mana Sultan Hasanudin, Sultan Ternate dan Loloda Mokoagow, Datoe Binangkang, Raja Manado itu.”
Kalimat ini justru menegaskan bahwa Loloda Mokoagow, Sultan Hasanudin, Sultan Ternate saat memerangi VOC justru dalam kedudukan yang setara. Peran Loloda Mokoagow ini masuk akal secara historis, sebab sebagian besar wilayah semenanjung utara pulau sulawesi berada di bawah kekuasan Raja Loloda Mokoagow hingga akhir abad ke-17.
Meski begitu, saat hendak mengusulkan Loloda Mokoagow nanti, maka kajiannya bisa juga dimulai dengan memverifikasi, mengkritisi dan melengkapi buku karya Stella Mantiri itu. Hal ini hanya dapat terlaksana saat muncul kesadaran dari para pemangku kepentingan di Bolaang Mongondow Raya bahwa pemberian gelar pahlawan nasional dapat meningkatkan citra sebuah daerah di tingkat nasional.
Selain itu, mengenai peran Loloda Mokoagow dalam perjuangan memelopori kemerdekaan di Nusantara Utara bisa ditelusuri buktinya dengan bantuan arsip-arsip kolonial, laporan-laporan para pelancong, serta data temuan para peneliti dalam tesis dan disertasi mereka.
Akhir kata, momentum ini seharusnya membuat kita membela Raja Manado, Loloda Mokoagow dengan cara elegan. Jangan sebatas mengingat jasa dengan menyamatkan namanya di Rumah Sakit dan Bandara saja. Setidaknya dituliskan sejarahnya serta jadikan Loloda Mokoagow, Raja Manado, Datu Binangkang sang Penguasa Semenanjung Utara pulau Sulawesi sebagai pahlawan nasional di tahun-tahun berikutnya. Pemerintah daerah sudah seharusnya membaca peluang ini. ‘Inggai kita motobatu molintak kon Bolaang Mongondow Raya.”
Penulis, Direktur The Bolmongraya Institute