Oleh: Murdiono Mokoginta (Alumni Magister (S2) Sejarah, Universitas Hasanuddin)
“Di tengah persaingan politik, kita harus tetap mengingat bahwa kita semua adalah bagian dari satu bangsa yang sama.” Begitu kata bijak dari Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri perempuan dalam sejarah Inggris Raya. Bagi “wanita besi (julukannya)” ini, politik bukan sekedar sarana pergulatan merebut kekuasaan dari tangan lawan tetapi jauh dari itu harus menjadi sarana merangkul lawan demi kepentingan bangsa dan negara dalam tujuan persatuan. Persatuan adalah pondasi utama menuju kejayaan karena bangsa yang terkotak-kotak tidak akan pernah mampu tegap melawan derasnya arus sejarah.
Jauh sebelum Thatcher hidup, Bolaang Mongondow telah lama eksis dalam ruang peradaban Nusantara. Negeri ini menapaki kejayaannya melalui semangat itu; yakni persatuan yang kita sebut hari ini “motobatu”. Yah, semangat motobatu yang menjadi sumber mata air untuk menyuburkan peradaban negeri ini agar tetap hidup sebagai warisan nenek moyang (mogoguyang) untuk anak cucu kita kelak.
Bangsa Indonesia sedang diuji dengan dinamika kebangsaan yang kompleks. Setelah Covid-19 (2019-2023) yang memporak-porandakan tatanan dunia, tahun 2024 ini kita dihadapkan pada Pemilihan Umum (Pemilu) serentak Pemilihan presiden dan wakil presiden (eksekutif), anggota dewan perwakilan rakyat (legislatif) dari tingkatan daerah hingga pusat, pemilihan kepala daerah (kada) yang benar-benar menjadi ujian bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Suatu bangsa memang demikian, harus diuji dengan dinamika dan pergulatan demokrasi untuk menuju pendewasaan. Karena tonggak sejarah akan semakin tegap setelah melawan badai perubahan yang menjadi keniscayaan dalam suatu negara. “Kita bukan bangsa tempe dan tahu” kata Bung Karno yang lembut dan rapuh. Untuk menjadi bangsa yang disegani kita harus menjadi bangsa yang kuat dan tidak takut melewati ujian dan rintangan baik dari luar maupun dalam. Kekuataan utama bangsa ini adalah semangat “gotong royong” atau persatuan itu sendiri.
Sebagai bagian dari Republik Indonesia, Bolaang Mongondow Raya ikut serta dalam dinamika pemilu tahun 2024 ini. Semangat motobatu seperti menjadi oase di tengah padang gurun. Sepertu bulandu’ (mata air) penyejuk untuk kita semua yang haus akan suasana persaudaran (pogoginalum) meski berbeda pilihan politik dan dukungan. Bupati Bolaang Mongondow, Jusnan C. Mokoginta memahami apa yang dibutuhkan oleh kita semua dengan menghidupkan kembali istilah ‘motobatu’ bertepatan dengan tahun-tahun pemilu ini.
Kamus bahasa Mongondow-Indonesia oleh Saad Mokoagow (2015: 187) menyebut bahwa kata “motobatu” diambil dari akar kata “tobatu” atau satu. Angka Tuhan yang memiliki nilai baik atau esa. Motobatu mengandung arti “persatuan” yang memiliki nilai mendalam sebagai sumber kekuatan masyarakat untuk menghadapi berbagai ujian dan rintangan dalam ruang dan waktu hingga Bolaang Mongondow tetap abadi dalam sejarahnya.
Semangat motobatu bagi orang Mongondow telah teruji dalam perjalanan sejarah Bolaang Mongondow itu sendiri. Para penguasa tanah ini sejak dahulu kala mengunakan semangat itu untuk mencapai kejayaannya. Di era Punu’ Molantud Mokodoludut, melalui semangat motobatu’ dari para Bogani yang berkumpul di Tudu in Bumbungon, Mokodoludut diangkat dan dikukuhkan sebagai pemimpin mereka dan hingga kini menjadi akar sejarah dan kebudayaan orang Bolaang Mongondow itu sendiri.
Abad ke-16, Damopolii Inta Ki Kinalang dengan semangat motobatu menyatukan negeri-negeri: Dumoga, Polian, Binangunan, Buluan, Lombagin yang menjadi cikal bakal penyatuan entitas Bolaang Mongondow hari ini. Setelah berhasil nopotobatu’ (menyatukan) beberapa kelompok entitas tersebut, Damopolii lalu menaklukan semenanjung utara Celebes hingga menjadi Raja Manado yang ditemui oleh Fr. Diogo de Magelhaes pada bulan Mei 1564. Melalui kampanye motobatu‘ Damopolii mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai salah satu raja yang disegani di Semenanjung Utara Sulawesi hingga hari ini.
Loloda Mokoagow inta ki Datu Binangkang membawa panji-panji motobatu untuk menyatukan wilayah vasalnya dari Bonton, Palu, Laut Tomini, Laut Sulawesi, Manado, dan sebagainya dari serangan bangsa-bangsa Eropa di antaranya bangsa Spanyol yang kemudian berhasil di usir keluar dari Nusantara Utara pada tahun 1677. Meski sejarah membuktikan bahwa politik devide et impera (pecah belah) oleh VOC berhasil memukul wilayah kuasanya hingga memindahkan pusat Bolaang Mongondow dari Manado ke Bolaang pada akhir-akhir abad ke-17.
Bolaang Mongondow perlu belajar dari sejarah tersebut bahwa semangat motobatu ternyata telah membawa negeri ini pernah menapaki kejayaan dan kehormatan. Dan sejarah mencatat pula bahwa perpecahaan dan pertikaian hanya akan membawa Bolaang Mongondow dalam kehancuran dan kemunduran yang imbasnya masi kita rasakan hingga kini saat kita hanya berada di halaman belakang Sulawesi Utara.
Seperti kata Confusius bahwa “kemuliaan terbesar kita bukanlah karena tidak pernah jatuh, tetapi bangkit setiap kali kita jatuh”. Maka belajar sejarah tersebut setidaknya memberi kita pelajaran apa yang perlu dilakukan untuk bangkit dan perlu ditinggalkan karena membuat kita mundur dan lemah.
Semangat motobatu akan membawa kita pada kesadaran bahwa mobakid moloben (musyawarah besar) akan menjadi solusi utama untuk keluar dari problem-problem masyarakat hari ini. Tadohe yang merupakan ayah Datu Binangkang menggunakan semangat ini hingga lahirlah hukum adat Bolaang Mongondow “Paloko dan Kinalang” yang diwariskan kepada kita saat ini. Melalui apakah semua itu dicapai? Tentu dengan semangat motobatu’.
Jusnan C. Mokoginta tentu memahami akar sejarah ini melalui ayah beliau J.C. Mokoginta yang terkenal sebagai salah satu profesor adat dan budaya Bolaang Mongondow. Melihat kondisi Bolaang Mongondow hari ini yang penuh dinamika dan pergulatan di tahun pemilu, bukan tidak mungkin pertikaian dan perpecahan tidak akan terjadi. Akan tetapi dengan semangat motobatu kita seakan dibawa untuk merenungkan kembali bahwa politik tanpa semangat motobatu hanya akan mengkerdilkan kita di antara suku bangsa lain di Indonesia.
Bagi saya siapapun yang akan terpilih menjadi Bupati/Walikota di lima kabupaten/kota di Bolaang Mongondow Raya, jadikan motobatu sebagai filosofi pembangunan. Jusnan C. Mokoginta telah menghidupkan lagi semangat motobatu. Renungkanlah bahwa motobatu adalah rahmat bagi semua masyarakat Bolaang Mongondow, inanakan in mogoguyang kon buta in Totabuan.