Lensa.News,BOLSEL — Dibuka dengan sekapur sirih dari Wahyudin Kadullah, Kadis Pariwisata Bolsel, Bedah Naskah Buku dalam bentuk dialog interaktif pun dimulai (24/06). Mengapa penulis butuh waktu yang begitu lama untuk merampungkan satu karya tulis semata-mata karena mengumpulkan informasi dari suatu peradaban yang telah berakhir bukanlah perkara membalikkan telapak tangan, dengan kata lain, tidak mudah.
Sebagian besar sejarah bangsa (atau etnisitas) Bolango diperoleh dari Syair Dangisa. Seperti yang dimuat oleh penulis dalam bukunya, syair-syair ini begitu dalam dan sarat makna, banyak bercerita tentang awal dan tumbuh kembangnya komunitas Bolango, dan juga merupakan penggambaran ekspresif dari sebuah realita.
Setelah penulis selesai memaparkan substansi dari karyanya, moderator memberi kesempatan bagi tiga orang untuk bertanya ataupun mengutarakan kritik dan saran. Dua orang sekaligus mengacungkan jari telunjuk tanda ingin berkata-kata, dan kesempatan pertama diberikan kepada seorang tokoh adat Bolsel, Om Rekso.
Beliau mengucapkan terima kasih kepada penulis yang telah mendedikasikan waktunya untuk menulis dan menggali sejarah Bolango. Om Rekso dengan berapi-api mengutarakan sejarah yang (juga) ia ketahui.
“Sebelum Raja Bolango ada (tiba di Bolaang Uki), telah ada dua orang yang menyisir pantai Utara dan Selatan, yaitu Yusuf van Gobel dan Lihawa van Gobel di tahun 1875.
Mereka menempati Soguo. Mereka meninggalkan Tapa karena tidak mau bekerjasama dengan “kapal putih”, para penjajah,” ungkapnya.
Kesempatan kedua diberikan kepada Z. Ointu yang intonasinya senantiasa berada di ketinggian 3.000 mdpl dan bergelora layaknya Bandung Lautan Api.
“Saya masih keturunan langsung Raja Atinggola. Namun jauh di dalam lubuk hati ini, saya adalah Bolango,” tukasnya diiringi tawa para hadirin.
Para sesepuh adat yang sempat hadir bergantian mengutarakan isi pikiran dan isi hati mereka. Mulai dari rasa bangga terhadap Deddy van Gobel, putra daerah yang berinisiatif untuk membukukan sejarah Bolango, hingga protes-protes kecil tentang silsilah yang tidak up-to-date, adapun yang mengomentari sejarah yang telah dimuat oleh penulis.
Ada juga yang mengutarakan panjang lebar sejarah yang mereka ketahui.
Kegiatan yang dijadwalkan berlangsung selama 2 jam lebih malah berakhir menjadi 4 jam lebih. Seharusnya berakhir pukul 18.00, namun karena para sepuh mulai membara, maka disepakati kegiatan dilanjutkan pukul 18.15, molor hingga 18.30 dan selesai pukul 20.00 WITA.
Di akhir dialog, penulis berharap agar kelak buku ini tak hanya tinggal di dalam rak buku dan dibiarkan berdebu, namun dijadikan bacaan maupun referensi studi suku Bolango lintas generasi dimanapun mereka berada.(Chong)