Lensa.News, KOTAMOBAGU – Ada empat gambar tangkapan layar yang dibagikan oleh akun Nink Sangkota. Gambar pertama adalah tangkapan layar video di YouTube berjudul “BMKG: Indonesia Harus Siap Hadapi Gempa Megathrust”.
Gambar kedua adalah tangkapan layar foto dari akun Facebook Makassar Info dengan teks bahwa, di titik megathrust wilayah Sulawesi, skala gempanya bisa mencapai di atas 8 Skala Richter dan menghasilkan gelombang tsunami setinggi 10 meter lebih.
Gambar ketiga adalah infografis dari laman fajar.co.id tentang letak sesar dan subduksi di Pulau Sulawesi. Sementara itu, gambar terakhir adalah tangkapan layar dari portal publiksatu.com berjudul: “Pulau Sulawesi Masuk Jalur Gempa Megathrust, Bisa Memicu Tsunami Dahsyat”.
Oleh akun Nink Sangkota, keempat gambar itu dibagikan dengan narasi : “Allah pemilik lagit dan bumi beserta isinya. Jika Allah yg berkendak, kita bisa apa. Hanya bisa meminta perlindungan semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita semua.”
Apakah benar gempa megathrust mengintai Pulau Sulawesi?
PEMERIKSAAN FAKTA
Terlebih dahulu, Tempo akan memeriksa sumber tangkapan layar itu apakah sesuai dengan fakta atau berupa hasil suntingan.
Pertama, terkait gambar tangkapan layar video di YouTube berjudul “BMKG: Indonesia Harus Siap Hadapi Gempa Megathrust”. Berita dengan judul yang sama pernah dipublikasikan oleh Metro TV pada 23 Juli 2019.
Berita itu berisi keterangan dari Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati terkait megathrust yang berpotensi terjadi di Indonesia. Menurut dia, wilayah Indonesia yang berada di atas lempeng-lempeng tektonik aktif tidak akan terlepas dari potensi bencana gempa dan tsunami. Karena itu, Dwikorita meminta masyarakat mengetahui informasi tersebut dan tetap siap tanpa harus tinggal dalam ketakutan.
Kedua, terkait infografis sesar di Pulau Sulawesi. Infrografis itu telah dipublikasikan di laman fajar.co.id pada 5 Agustus 2019 dalam berita yang berjudul “Gempa Megathrust Intai Pulau Sulawesi”. Berita itu bersumber dari wawancara dengan Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin Adi Maulana. Ia menyebutkan bahwa titik megathrust di Sulawesi berada di wilayah Sulawesi Utara.
Jalur megathrust Sulawesi Utara merupakan dampak dari lempeng Filipina yang bergeser ke arah selatan. Jalur ini terjadi akibat tumbukan lempeng samudera dengan benua yang membangkitkan gempa dengan skala yang besar. Isi berita inilah yang dicuplik dalam gambar kedua, gambar tangkapan layar dari akun Facebook Makassar Info.
Sementara itu, terkait gambar keempat, berita berjudul “Pulau Sulawesi Masuk Jalur Gempa Megathrust, Bisa Memicu Tsunami Dahsyat” memang benar telah dipublikasikan di portal publiksatu.com pada 5 Agustus 2019. Isi berita di portal itu sama dengan yang dimuat oleh fajar.co.id.
Namun, benarkah ada potensi gempa megathrust di Sulawesi?
Megathrust adalah gempa dengan kekuatan destruktif yang luar biasa, terutama gempa dengan magnitudo 8 atau lebih, dan dapat menghasilkan tsunami.
Peneliti gempa bumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mudrik Rahmawan Daryono, menjelaskan, bahwa potensi gempa megathrust hanya berada di utara Pulau Sulawesi.
Sementara itu, yang berada di antara Selat Makassar adalah thrust fault atau sesar naik. “Jadi, berbeda. Thrust itu sesar naik. Sedangkan megathrust itu sesar naik yang besar dan biasanya disebabkan oleh zona subduksi,” kata Mudrik saat dihubungi tim Cek Fakta Tempo pada Rabu, 14 Agustus 2019.
Sesuai Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017 yang diterbitkan oleh Pusat Studi Gempa Nasional, Sulawesi merupakan salah satu dari lima pulau besar di Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar yaitu Lempeng Sunda, Lempeng Australia, dan Lempeng Filipina. Lempeng Filipina mensubduksi Lempeng Sunda pada bagian barat Sulawesi.
Ada dua jenis subduksi di Pulau Sulawesi. Pertama, Sangihe Double Subduction. Wilayah Sulawesi Utara didominasi oleh pola tektonik Subduksi Lempeng Laut Sulawesi (Subduksi Minahasa) dan Subduksi Sangihe. Wilayah Sulawesi punya riwayat beberapa kali gempa besar dengan kekuatan di atas magnitudo 7.
Sejak 1858, di Manado dan Gorontalo, tercatat pula delapan kali gempa yang memicu tsunami. Magnitudo maksimum yang bisa terjadi akibat Subduksi Minahasa adalah 8 dengan siklus 234 tahun serta akibat Subduksi Sangihe adalah 8,5 dengan siklus 230 tahun.
Aktivitas subduksi tersebut memengaruhi daerah Teluk Tomini. Di Teluk Tomini tercatat satu kali gempa besar pemicu tsunami pada 1996 dan sembilan kali gempa tanpa tsunami. Termasuk di wilayah Sulawesi Tengah yang didominasi aktivitas tektonik Sesar Palu-Koro.
Adapun jenis yang kedua adalah North Sulawesi Trench atau Minahasa Trench, thrust terpanjang dan terbesar di Sulawesi. Ini merupakan subduksi antara Lempeng Filipina dengan microblock Sulawesi Utara. Pada 1905 dan 1939, tercatat terjadi gempa dengan magnitudo 8,4 dan 8,6 di sana.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan waktu datangnya gempa belum bisa diprediksi. “Dalam situasi ketidakpastian kapan terjadinya gempa besar dan tsunami, perlu upaya mitigasi yang nyata,” katanya.
Caranya antara lain dengan mendirikan bangunan aman gempa, melakukan penataan tata ruang pantai yang aman dari tsunami, serta membangun kapasitas masyarakat terkait cara menyelamatkan diri saat terjadi gempa dan tsunami. ”Inilah risiko tinggal dan menumpang hidup di pertemuan batas lempeng yang harus kita hadapi,” ujarnya.
Dengan upaya mitigasi yang kuat, kata Daryono, masyarakat tidak perlu cemas dan takut menghadapi gempa dan tsunami. Mewujudkan semua langkah mitigasi, selain dapat meminimalkan dampak, juga membuat orang dapat hidup dengan selamat, aman, dan nyaman di daerah rawan gempa. “Peristiwa gempa bumi dan tsunami adalah keniscayaan di wilayah Indonesia,” katanya.
Kesimpulan:
Pemeriksaan fakta di atas menunjukkan bahwa benar Pulau Sulawesi bagian utara berpotensi mengalami gempa megathrust. Akan tetapi, waktu datangnya tsunami tidak bisa diketahui atau diprediksi. Langkah terbaik yang perlu dilakukan adalah mitigasi bencana.
(Sumber : Tempo.co)