Lensa.news, RAGAM – Tokoh Sembilan Wali satu ini cukup terkenal di perjalanan kisah sejarah perjuangannya saat melawan penjajah. Serta dalam kisah perkembangan agama Islam di babad tanah Jawa, khusunya daerah Jawa Barat.
Sunan Gunung Jati, sebenarnya telah melakukan perjalanan dakwah ke berbagai wilayah di Nusantara. Namun lebih dikenal ketika beliau sedang memperjuangkan Islam di Kasultanan Cirebon.
Sunan Gunung Jati memiliki nama asli Syarif Hidayatullah yang lahir pada 1448 Masehi dari sorang ibu yang benama Nyai Rara Santang dan ayah yaitu Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim. Ayahnya adalah seorang penguasa yang berpengaruh di Kasultanan Cirebon.
Saat hendak menginjak usia dewasa, Hidayatullah diberikan sebuah mandat untuk memimpin kerajaan, namun beliau menolaknya. Alasan utamanya adalah karena beliau ingin menyebarkan agama Islam ke seluruh nusantara.
Tempat tinggalnya semula berada di wilayah Timur Tengah, namun Sunan Gunung Jati ke tanah Jawa dengan niat menyebarkan agama Islam.
Sunan Gunung Jati memiliki kemampuan yang cukup jarang dimiliki oleh ulama pada umumnya, antara lain yakni ahli bahasa, ahli menyusun strategi politik dan peperangan, ilmu kedokteran, dan agama.
Pada saat itu beliau sangat terkenal karena kemahirannya untuk mendeteksi berbagai gejala penyakit sekaligus menyembuhkannya. Warga percaya bahwa Sunan memiliki kesaktian untuk menyembuhkan berbagai penyakit atas izin Tuhan.
Syarif Hidayatullah juga menyebarkan Islam melalui peperangan pada saat memperjuangkan Kasultanan Cirebon. Ketangguhan yang dimilikinya membuat banyak orang kagum dan mengenalnya hingga saat ini. Metode penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Raden Syarif dikenal cukup unik, hampir sama dengan wali-wali lainnya, beliau menggunakan metode kesenian yang mudah diterima oleh warga Cirebon.
Media penyebaran Islam yang digunakannya berupa gamelan, bagi siapa saja yang ingin melihat pertunjukan seni gamelan dari Raden Syarif, dianjurkan untuk mengucapkan syahadat terlebih dahulu.
Ajaran filosofi sunan Gunung Jati yang cukup terkenal yakni sebuah kalimat, “Ingsun titip tajug lar fakir miskin”
Yang diartikan, “Masyarakat dianjurkan untuk selalu memelihara masjid, dan tidak boleh melupakannya. Selain itu, masyarakat juga dianjurkan untuk membantu dan memelihara fakir miskin.”
Ajaran tersebut sangat terkenal hingga kini, ada juga berupa Ma Lima atau Moh Lima seperti yang diajarkan oleh Sunan Ampel.
Kata “Moh” berasal dari bahasa Jawa yang artinya “tidak”, dan “Limo” artinya “Lima”. Jadi arti dari Moh Limo adalah “Tidak melakukan lima hal atau perbuatan yang dilarang oleh Allah”.
Isi dari ajaran Moh Limo adalah:
- Moh Mabuk (Tidak mabuk atau minum-minuman).
- Moh Main (Tidak main atau tidak berjudi).
- Moh Madon (Tidak main perempuan).
- Moh Madat (Tidak nyandu).
- Moh Maling ( Tidak mencuri).
Sunan Gunung Jati diperkirakan mencapai umur 120 tahun. Beliau wafat dipertengahan abad 15, sekitar tahun 1568 Masehi dan dimakamkan di sebuah bukit di Daerah Cirebon. Bukit itu bernama bukit Sembung yang khusus didirikan di pinggir kota Cirebon.
Di Gunung Sembung terdapat kurang lebih 500 makam. Di lokasi ini, terdapat juga makam istri Sunan Gunung Jati, yaitu Putri Ong Tien Nio (Nyi Ratu Rara Semanding).
Makam sunan Gunung Jati ini selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah. Mereka berdatangan dari berbagai wilayah di Cirebon, Jawa Barat atau daerah Jawa lainnya.
Khususnya pada malam Jumat Kliwon, suasana makam akan sangat ramai dengan para peziarah dan ketika pada bulan Maulid, pusaka-pusaka keraton akan diarak dari Keraton melalui alin-alun pada perayaan “Panjang Jimat“.
Diketahui kompleks makam sunan Gunung Jati terdapat dua area bukit yaitu bukit Sembung dan bukit Gunung Jati yang hanya berjarak ratusan meter, demikian ulasan singkat sejarah Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang dirangkum dari berbagai sumber.
(Iqhbal)