Oleh: Murdiono Prasetio A Mokoginta
“Bogat toigu, yondog in kuyatnya”, penggalan lagu yang dinyanyikan oleh Dessi Mokodompit, salah satu artis lokal Bolaang Mongondow sepertinya memang memiliki benang merah sejarah dengan makanan khas dari negeri para Bogani di awal abad 20 sebagai mana dalam catatan Van der Endt di buku perjalanannya De Zending in Bolaang Mongondow;
Endt menulis, “Het hoofdvoedsel is maïs, die men fijngemalen en gekookt, tweemaal daags met wat groente en zoo mogelijk met wat visch, (soms vleesch) nuttigt.” (hlm. 11). Artinnya; “Makanan pokoknya (orang Bolaang Mongondow) adalah jagung yang digiling dan dimasak. dua kali sehari dengan sedikit sayuran dan jika mungkin dengan sedikit ikan, (terkadang daging).”
Selain jagung, masyarakat juga menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok dengan cara membudidayakan padi ladang karena hingga tahun 1920an, luas sawah di kawasan Bolaang Mongondow memang masih sangat sedikit.
Sering kali masyarakat kita mengalami krisis bahan makanan karena kurangnya ketersediaan jagung dan beras. Kesulitan ini terjadi karena peceklik juga karena ketiadaan uang yang dimiliki. Maka untuk bertahan hidup, masyarakat menjadikan sagu sebagai bahan makanan alternatif.
Selain makanan, masyarakat Bolaang Mongondow mengusahakan sendiri bahan industri khususnya peralatan rumah tangga. Mereka membuat peralatan dapur seperti panci, bejana air, alas tidur, keranjang, tabung bambu, dll, secara mandiri.
Seni menenun juga berkembang di masyarakat untuk bahan kain, pakaian dan perhiasan diantaranya dari emas dan perak. Untuk beberapa barang dari besi, Endt menganggap bahwa benda-benda tajam buatan Mongondow seperti parang dan sebagainya adalah salah satu yang terbaik. Secara umum, di bidang industri kita sulit berkembang karena kurangnya keahlian masyarakat.
Pun demikian, bidang pertanian kita termasuk unggul karena memasok beberapa produk yang memiliki nilai ekonomis tinggi ke Eropa. Di awal abad 20, telah ada beberapa perusahaan yang didirikan yang bergerak di perkebunan kelapa, perusahaan kopi, dan perusahaan emas di Goeroepahi, yang berjarak 6 jam dari Kotamobagu.
Dinamika Islam – Kristen Abad 17 – 19
Sepertinya Van der Endt mengalami kesulitan ketika menelusuri sejarah Bolaang Mongondow. Bayangkan saja, kesulitan mengulas sejarah bahkan dialami oleh sang guru misi di mana ia pernah tinggal di sini dalam kurun waktu 1910 – 1920. Padahal di masa itu mungkin saja ia bisa lebih mudah melakukan riset di banding kita saat ini yang telah terlampau jauh dari masa lalu.
Namun kita juga harus memahami apa yang menjadi tujuan Endt datang ke Bolaang Mongondow ketika itu. Sebagaimana dalam catatan awal, Endt sendiri menjelaskan bahwa ia datang di sini hanya sebagai guru misi. Bukan arkeolog sejarah atau antropolog sehingga ia hanya mencatat bagian-bagian umum yang menurutnya memiliki hubungan dengan tugasnya di kerajaan.
Tentang sejarah Bolaang Mongondow, Endt menulis kembali;
“Veel is er uit de geschiedenis van dit volk helaas niet bekend. De eerste berichten gaan over de aanraking met de Portugeezen, van wie de bevolking verschillende voorwerpen leerde kennen die thans nog met een min of meer verbasterden Portugeeschen naam worden genoemd.” (hlm. 12)
“Sayangnya tidak banyak yang diketahui dari sejarah orang-orang ini. Laporan pertama adalah tentang kontak dengan Portugis, yang penduduknya berkenalan dengan berbagai benda yang masih disebut dengan nama Portugis yang kurang lebih telah rusak.”
Berdasar pada keterangan di atas, informasi yang bisa ia dapat tentang Bolaang Mongondow perspektif (Eropasentris), bahwa bangsa Eropa yang pertama kali melakukan kontak dengan masyarakat ini (Bolaang Mongondow) adalah Portugis. Juga di tahun 1900an, di Bolaang Mongondow masih terdapat banyak benda-benda peninggalan mereka walaupun benda itu telah banyak yang mulai rusak.
Kontak ke dua masyarakat Bolaang Mongondow dengan Eropa adalah dengan Belanda dalam hal ini VOC. Hingga awal abad 20 masyarakat masih banyak yang menggunakan koin mata uang VOC untuk transaksi jual beli dengan Belanda.
Kedatangan Belanda ke Bolaang Mongondow menjelang abad ke 17 juga membawa misi menyebarkan agama Kristen. Beberapa misi dari Ambon dan Ternate datang ke Kerajaan Bolaang Mongondow dan membawa pengetahuan pertama tentang Injil. Berkat kerja keras untuk menyiarkan Injil, maka pada abad ke 17 pengaruh Islam dalam internal kerajaan Bolaang Mongondow menjadi lemah. Ini ditandai dengan diangkatnya Raja Jacobus Manoppo pada tahun 1689 sebagai raja Kristen pertama.
Setelah raja diangkat, 10 tahun setelahnya banyak para penginjil yang datang dan meyebar ke berbagai wilayah kerajaan untuk membaptis anak-anak dan orang dewasa. Abad ke 17 menjadi tahun emas bagi penyaiaran injil di Bolaang Mongondow.
Meski demikian, satu hal yang menjadi kelemahan. Yakni ketidakpahaman secara mendalam para raja terhadap ajaran agama Kristen. Dalam hal ini, Raja hanya berstatus penganut Kristen, tapi ilmu yang mendalam terkait ajaran dan berkatnya tidak dikuasai sama sekali. Hal ini menyebabkan raja menjadi tidak konsisten dengan misi penyiaran, dan menyebabkan ia tidak mampu membendung peningkatan pengaruh Islam di akar rumput Kerajaan Bolaang Mongondow.
Islam dan Kristen berdinamika dalam kerajaan secara damai. Kristen berpengaruh kuat di lingkungan kerajaan, sementara Islam memiliki pengaruh kuat di akar rumput (masyarakat bawah). Pengaruh Kristen dalam kerajaan masih terasa kuat hingga Raja Jacobus Bastian meninggal tahun 1881. Menjelang raja wafat, ia meminta kembali kedatangan para pengemban misi ke kerajaan melalui Residen Manado.
Menurut Raja, selama masih ada para penginjil yang mengajarkan keberkatan Kristen di kerajaannya maka pengaruh Islam yang kuat masih bisa dibendung. Hanya saja permintaanya tidak dipenuhi oleh Residen Manado hingga ia meninggal.
Sepertinya masa kemunduran bagi misi penyaiaran Kristen mulai nampak menjelang pertengahan abad ke 19. Setelahnya hampir setengah abad para penginjil tidak pernah datang lagi ke Bolaang Mongondow pasca wafatnya Raja Jacobus Bastian. Dan kemunduran ini menjadi jawaban mengapa hingga abad ke 20, dengan datangnya kembali Dunnibier, termasuk juga Van der Endt ke Bolaang Mongondow tidak lagi mampu mengoyahkan kekuatan pengaruh Islam di kerajaan pada masa itu. (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR).