Pierre Andreas Tendean? Tentu saja semua orang mengenalnya sebagai pahlawan revolusi. Pierre Andreas Tendean atau dikenal sebagai Kapten Tendean lahir pada tanggal 21 Februari 1939 di Jakarta.
Ayahnya dr. A.L. Tendean adalah dokter berdarah minahasa yang juga pimpinan Rumah Sakit Jiwa Tawang, Semarang. Ibunya Maria Elizabeth Cornet, wanita Indonesia berdarah Perancis, Pierre Tendean merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati.
Pendidikan dasar menengah diselesaikan Tendean di Semarang. Ayahnya A.L. Tendean menginginkan Pierre Tendean mengikuti jejaknya masuk kedokteran, namun Pierre Tendean lebih tertarik dengan militer.
Pierre Tendean masuk Akademi Teknik Angkatan Darat di Bandung, yang kemudian berganti nama menjadi Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek). Pierre Tendean merupakan siswa yang berbakat hingga diangkat sebagai Komandan Batalion Taruna di samping sebagai Ketua Senat Korps Taruna. Pada waktu masih taruna, Pierre Tendean pernah mendapat tugas lapangan dan dikirim memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatra Barat dalam kesatuan Zeni Tempur.
Pada tahun 1962 Pierre Tendean menyelesaikan pendidikan militernya dan ditugaskan di Batalion Zeni Tempur 2 Kodam II Bukit Barisan. Satu tahun kemudian Pierre Tendean disekolahkan di sekolah intelijen Bogor. Pada tahun 1965 Pierre Tendean diangkat menjadi ajudan Menteri koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) Jenderal Nasution.
Menjelang tanggal 1 Oktober 1965, Pierre Tendean sedang tidak menjalani tugas namun waktu itu beliau berada di belakang rumah dinas A.H. Nasution. Mendengar suara rentetan senjata, Pierre Tendean mengambil senjatanya, namun dia ditangkap oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya G30S/PKI.
Pierre pun dibawa ke Lubang Buaya bersama bersama ke enam perwira tinggi TNI lainnya, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono, Mayjen TNI S Parman, Mayjen TNI R Soeprapto, Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan, dan Brigjen TNI Soetojo S.
Kemudian mereka dibunuh secara keji dan dimasukkan ke dalam sumur berdiameter 75 cm dengan posisi kaki di atas. Pierre Tendean meninggal di usianya yang menginjak 26 tahun. Duka mendalam pun dialami ibunya dan juga calon istri bernama Rukmini Chaimin yang menantinya di Medan untuk melaksanakan pernikahan pada bulan November 1965. Berdasarkan SK Presiden No. 111/KOTI/1965 tanggal 5 Oktober 1965, pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Revolusi. (Humas Pemprov Sulut)