“Plotnya dan penyajiannya baik, endingnya pun baik, tapi sayang, dia tidak mengkaji perihal apa dan siapa Loloda Mokoagow ini”
KOTAMOBAGU — Kalibut Teater Pingkan Matindas: Cahaya Bidadari Minahasa terus menuai ragam pendapat.
Seperti yang diberitakan Lensanews, para tokoh di Bolaang Mongondow Raya (BMR) hingga pimpinan daerah, sampai-sampai mengutuk pagelaran seni tersebut.
Begitu pun aktifitas dari media sosial, banyak warga net menganggap pagelaran teater Pingkan Matindas: Cahaya Bidadari Minahasa, yang digelar Sabtu (31/10) lalu, di eks gedung DPRD Sulawesi Utara (Sulut) tersebut, sebagai “wahana” politik.
Seniman asal Bolaang Mongondow Raya (BMR), Hamri Manoppo, yang dikenal akan ketertarikannya pada dunia teater, juga angkat suara.
Diwawancarai Lensanews, via seluler Selasa (3/11) kemarin, Hamri berpendapat, secara esensi pagelaran teater yang disutradarai Achi Breyvi Talanggai itu, mampu menyatukan berbagai unsur kesenian mulai dari monolog, dialog yang tidak membosankan, musik, nyanyian, tarian, puisi dan bahkan terdapat unsur komedi, sehingga menjadi suatu mahakarya.
“Saya tidak memihak. Achi adalah salah satu kader kami dalam dunia teater Sulut. Usianya masih muda. Saya memandang kesalahan yang dilakukan olehnya sebagai suatu kesalahan fatal. Plotnya sudah baik, penyajiannya baik, endingnya pun baik, tapi sayang, dia (Achi, sutradara teater;red) tidak mengkaji perihal apa dan siapa Loloda Mokoagow ini,” katanya.
Di satu sisi Hamri memuji suksesnya pagelaran teater tersebut. Namun ia menyesalkan, tidak adanya upaya penggalian informasi yang akurat, dari prolog yang ditampilkan.
“Sungguh disesalkan. Betapa hebatnya karya ini di satu sisi, namun di sisi lain tidak ada usaha untuk menggali informasi yang lebih akurat lagi. Padahal dari Balai Bahasa sendiri, sempat merekomendasikan Achi untuk me-replace nama Loloda Mokoagow menjadi “Raja Perompak” agar terhindar dari kesan menyinggung salah satu komunitas. Diabaikan. Ketika pementasan berlangsung, ternyata mereka masih menggunakan nama Loloda Mokoagow. Sementara nama itu adalah nama leluhur orang Mongondow, lalu digambarkan seperti itu, yang kepalanya dipenggal, kemudian dipertontonkan, sayang sekali,” ujar Hamri, menyayangkan. (Tng/vil)