RESENSI | Hamri Manoppo*
Buaarrr… Sang Ayah tersungkur, petir menyambar kokayugan jika tidak, ayah pasti meregang nyawa.
Demikianlah ending Cerpen yang ditulis oleh Uwin Mokodongan, “Gerimis Sore Itu” dengan total sekitar 1.200 kata. Cukup nikmat, tapi pembaca terkesan mencari sesuatu yang ia rindu.
“Di manakah tokoh cerita yang diimpikan rindu jadi sejarahwan, tapi tak disukai ayahnya? Ah, licentia poetica. Penulis memiliki hak penuh ke mana cerita dibawa? Ayah mati, ibu mati, atau si bungsu yg terkena, terserah penulis.
Plot berjalan sederhana, peristiwa makan bersama, yang hanya dibumbui sedikit flashback kegagalan dua kakaknya yang menikah cepat seyogyanya pembaca rindu ke mana nasib sang bungsu?
Cerita yang mengalami dua gradasi klimaks dan saat petir menyabar sesungguhnya mencoba menyuguhkan dua sub klimaks sebelum klimaks ketiga sebagai puncak cerita. Saat ayah melemparkan gelas, dan dentuman petir pertama penulis memancing keinginan pembaca untuk menikmati terus sebagai upaya suspence pengarang mengikat pembaca.
Uwin adalah anak muda penyuka dan “pekerja” sejarah. Oleh sebab itu di cermin ini ia ingin menyampaikan bahwa menjadi sejarahwan tak ada bedanya dengan seorang Insinyur. Sejarahwan adalah “insinyurnya” riwayat peradaban manusia. Imajinasi sahabat kerjanya Novel Damopolii, yang seminggu silam memposting juga Cerpen yang mengangkat martabat sejarahwan turut menginspirasi Uwin.
Bahasa Uwin cukup rapih, walau pun pembaca yang tak mampu berbahasa Mongondow sedikit kesulitan saat melewati dialog antar tokoh yang ditulis dalam bahasa Mongondow. Konsep dramatik lewat tiga gelombang peristiwa utama, (lempar piring, kilat pertama, dan kilat ke dua) tertata cukup bagus, karena Uwin semasa di Kampus Unsrat Manado adalah juga seorang pekerja teater.
Berbeda dengan puisi yang harus mengutakan diksi dan metafora, dalam “Gerimis Sore Itu” tak banyak bahasa metafora yang diumbar. “Kala itu gerimis turun seperti nyanyian.” Uwin menata metafora diawal cerita dengan cukup baik.
Tapi ia dikejar harus memaparkan tema dan tujuan cerita bahwa tingkah laku nenek moyang dulu dengan memasang alat cukuran menghalau petir bukan tanpa alasan. Ke manakah Uwin berlabuh? Sejarahwan, sastrawan atau teaterawan?
Bagi saya toh tak masalah, jika salah satu putra terbaik BMR yang satu ini memegang ketiganya. Bukankah Nugraha Notosusanto mantan Mendiknas RI adalah seorang sejarawah, sastrawan sekaligus ilmuwan?
Cerpen ini membuat saya penasaran siapakah tokoh utama? Ayah, Ibu atau S Bungsu? Satu Cerpen memang dituntut cuma satu tokoh sentral. Tapi Uwin mengakhiri tamparannya pada Sang Ayah. Biarkan saya mencari tokoh utamaku. Sang Bungsu.
Salam kreatif, Adinda Uwin.
BACA JUGA: Gerimis Sore Itu
*) Penulis mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bolaang Mongondow, mantan guru sastra, penulis buku dan puisi, pegiat sastra, budaya, dan sejarah Bolmong.