RESENSI | Hamri Manoppo*
Usai membaca cerpen “Kucing Hitam”, saya langsung teringat Cerpen-Cerpen Danarto, sastrawan nasional berdarah Jawa yang sempat mengejutkan jagat sastra Indonesia. Setidaknya saya menyadari bahwa di BMR ternyata ada sastrawan yang mampu menulis Cerpen yang hampir ideal. Andaikata Uwin masih menambah 400 kata, dari 2.600 kata yang ditulisnya, maka “Kucing Hitam” sudah masuk kategori Cerpen ideal.
Berbeda dengan Cerpen “Gerimis Sore Itu” yang membuat kita mengejar ke mana tokoh utama dibawa, maka dalam Cerpen “Kucing Hitam” kita menikmati kemampuan Uwin membangun karakter tokoh utama dengan sempurna. Kehidupan kampus sebagai setting: tempat awal cerita terangkai sangat suspensif membangun daya pikat.
Mahasiswa Didi yang mengalami kesulitan karena kekurangan uang biaya kuliah dalam keseharian sering kelaparan. Penulis melakukan setting peristiwa dengan sempurna.
Jika menyelami jauh melihat kesatuan seting, plot dan karakter hanya plot atau alur yang agak longgar. Plot Cerpen menurut sastrawan Amerika Ernest Hemmingway seharusnya lurus sepintas, tak perlu berpindah- pindah.
Pemindahan peristiwa dari kehidupan kampus saat tokoh utama kelaparan terpotong dengan munculnya plot lanjutan dengan peristiwa gangguan dalam tidur dan sebagainya. Penulis membangun derita tokoh utama dengan, lapar, stres dan sakit. Secara implisit penulis ingin menggiring pembaca untuk simpati dan rasa sayang kepada tokoh utama.
Lalu kemana tema cerita mau disampaikan? Bicara “Kucing Hitam” di mana pun konotasi horor menakutkan terbangun secara alami. Ibarat gonggongan anjing saat gulita malam yang nyaring, sejalan dengan sorot tajam dua mata kucing yang bulat tembaga.
Ketika kita melihat kucing hitam dengan pandangan mata yang tajam siapa pun muncul naluri ketakutan, apalagi tengah malam.
Uwin adalah pegiat budaya. Dalam jiwa sang penulis melekat nilai budaya mengobati penyakit dengan diri sendiri.
Dalam perjalanan cerita, Uwin mengajak pembaca menikmati alam bawah sadar. Uwin membangun sastra sufistik dengan membuat alur inkonvensional. Dari kuburan kucing tokoh cerita seperti mendapatkan mu’zijat menghilang dari pandangan orang. Alam surrealisme penulis membawa pikiran pembawa ke alam gaib. Masuk rumah makan, ke toko atau ke mana saja. Tokoh utama miliki kemampuan khusus.
Di sinilah penulis mampu membangun nilai plus Cerpen ini. Sebuah Cerpen yang mengingatkan kita pada budaya leluhur Mongondow yang kuat tentang cerita mistik. Peristiwa tokoh utama tak lagi terlihat orang adalah puncak imajinasi penulis memasang nilai keluhuran budaya leluhur masa lalu.
Nafsu kuno dan kepercayaan yang lama berakar dalam budaya Mongondow menjadi kekayaan Uwin menulis cerita. Mampu menghilang, tahan lapar, mimpi buruk, semua rangkaian yang dialami tokoh utama tak lebih dari gambaran orang sakit dan perlu berobat.
Cathastrope cerita tak berujung sedih atau gembira, kecuali kesimpulan Didi sedang sakit dan pulang dulu untuk berobat. Dua ekor kucing hitam, di kampus dan di Passi telah mampu menembus hati kita. Matanya tajam dan membuat kita takut seketika.
Selebihnya, kita bersyukur Uwin mampu menghibur kita dengan “Kucing Hitam” – nya.
BACA JUGA: Kucing Hitam
*) Penulis mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bolaang Mongondow, mantan guru sastra, penulis buku dan puisi, pegiat sastra, budaya, dan sejarah Bolmong.