Oleh: Algifari Yulio Sugeha*
Roh Leluhur dan Ritual Tolu Gobi’i
Di kuil desa, masyarakat memanggil mahluk halus seperti Mangkubi’ untuk datang di tiap rumah pengorbanan. Sedangkan di halaman rumah kepala desa, diundang leluhur-leluhur Sadohe seperti Doengkoel, Dondo, Simbonan, Rokolow, Dodongkilat, Dodal dan Simbala.
Mahluk halus Mangkubi’ diundang untuk duduk dan diberikan makanan di kuil yang besar. Sedangkan untuk roh pengawal Sadohe di undang untuk duduk di kuil yang kecil.
Saat seluruh roh yang diundang datang di malam hari selama tiga hari berturut-turut maka masyarakat yang ada di sana dilarang menggunakan kata-kata terlarang (poton). Masyarakat tidak boleh membuat kegaduhan seperti berteriak dan membuat keributan saat upcara monibi tengah berlangsung. Masyarakat di desa itu pun dilarang untuk datang ke desa lain yang sedang melakukan upacara yang sama.
Kuil kecil tempat persembahan ini sangat mirip dekorasinya seperti gubuk kebun yang diletakan di tengah desa. Didingnya dipangkas dengan lepuh-lepuh dari ujung batang pohon yang tajam, dilindungi dengan kain-kain antik yang disandari dengan daun kelapa, serta kuil ditempatkan dua bantal‘ atau boneka khusus untuk lelaki dan perempuan. Untuk pria dipakaikan dengan celana kebaya sedangkan untuk wanita dipakaikan dengan sarung, kabaya, ikat rambut, dan memakai kalung dan gelang.
Orang Mongondow biasanya menyebut bantal pakaian atau boneka yang berpakaian dengan boneka patung. Dan ritual ini digunakan selama tiga malam. serta selama proses ritual itu dijalankan maka setiap malam lampu damar tidak akan pernah dimatikan.
Kuil untuk roh mogoguyang bentuknya seperti gubuk kebun kecil yang diletakan di halaman depan rumah kepala desa dikelilingi dengan dedaunan kelapa dan kain antik seperti halnya boneka-boneka lelaki dan perempuan yang begitu mirip. Lalu mereka diatur dan dibiarkan untuk duduk seperti halnya kuil-kuil yang berada di desa.
Sebelum boneka-boneka itu diberikan pakaian, maka boneka-boneka ini dilambangkan dengan pengawal Sadohe dan istrinya. Adapun boneka-boneka yang berada di kuil besar yang juga berada di halaman rumah kepala desa dianggap mewakili Mangkubi’ dan istrinya.
Pasca Tolu Gobi’i dan Akhir Ritual
Saat ritual tolu gobi’i (tiga malam) berlalu, semua orang akan berkumpul di desa lalu mereka kembali mengundang roh-roh untuk dibuatkan tempat persembahan di halaman depan rumah mereka. Pada tempat persembahan itu diletakan tempat makanan yang nantinya ditempati roh-roh yang diundang.
Di pagi hari ketika ritual di atas dilaksanakan pada malam sebelumnya, maka semua masyarakat sibuk memasak persembahan untuk diberikan kepada para roh-roh yang diundang. Saat malam hari tiba semua masyarakat datang untuk mengantarkan makanan yang telah selesai dimasak untuk diletakan di tempat persembahan (kuil) yang telah mereka buat di masing-masing halaman rumah mereka. Masyarakat lalu menuruni tangga kuil persembahan yang mereka buat lalu mulai mengundang roh-roh leluhur untuk makan sesajian.
Saat para roh diyakini telah datang, semua orang lalu berkumpul dan mengantar makanan yang telah disediakan di halaman rumah mereka. Roh yang dipanggil akan dituangkan air oleh para hadiri serta mokokapoi’ untuk mencuci tangan. Mereka memanggil semua roh jahat di sekitar mereka yang diantara mereka juga ada Mangkubi’ yang baru saja diberikan pengorbanan. Masyarakat bahkan mengejar roh-roh ini sampai ke rumah-rumah mereka di ujung desa.
Saat ritual telah selesai dilaksanakan, semua orang diminta berkumpul untuk melaporkan bagaimana jalannya ritual, apakah berhasil atau memiliki kendala. Bila dirasa semua ritual telah berjalan lancar maka seorang tetua akan berbicara sembari memohon berkah kepada roh-roh itu sambil berkata:
“Sekarang kami telah menerima Anda dengan hormat dan juga telah kami berikan persembahan dan makanan. Semoga Anda akan melimpahkan kebaikan terhadap perbekalan kami seperti ternak dan hewan peliharaan sehingga makin berlimpah dan tanaman-tanaman kami akan semakin subur, anak laki-laki kami yang sakit diberikan kesehatan dan kekuatan sehingga nanti kami akan bertemu dilain waktu dan mengundang anda untuk diberikan persembahan seperti makanan dan lain-lain lagi.”
Upacara pun dilanjutkan dengan tari-tarian yang dilaksanakan masyarakat desa selama tiga-empat malam. Saat hari mulai terang dan mereka telah selesai menari akan ada empat orang mokokapoi yang akan pergi menuangkan air kelapa muda untuk menetralisir kekuatan-kekuatan yang berbahaya di berbagai sudut rumah di desa itu.
Mokokapoi akan ditemani oleh lima atau enam roh yang tidak berbahaya sambil memercik air kelapa muda pada rumah-rumah yang ada di desa. Bila roh-roh masuk diberbagai rumah-rumah itu mereka akan mengambil lepuh dari semak dajow dan mencelupkannya pada air kelapa muda sambi memercikan di sudut rumah-rumah itu.
BACA JUGA: Catatan Dunnebier tentang ‘Monibi’ (Bag. I)
Catatan Akhir
Pemujaan atau penyembahan kepada leluhur adalah salah satu bentuk ritual agama Bolaang Mongondow. Hal-hal seperti ini adalah sebuah bentuk paham yang saling berhubungan dengan ketaatan pada agama dengan struktur masyarakat yang saling berhubungan dan hidup. Bagi masyarakat, agama seperti ini adalah sebuah dugaan bahwa antara manusia dengan leluhur atau nenek moyang pasti selalu terjalin suatu hubungan atau ikatan.
Pemujaan leluhur seperti upacara monibi dimaksudkan untuk menyenangkan hati mereka dan juga mencengah datangnya sebuah bencana. Bagi masyarakat, leluhur selalu dipandang sebagai penjaga sebuah tradisi dan moral. Apabila tradisi dan moral serta hubungan di dalam sebuah kehidupan terancam bahaya atau bencana, maka para leluhurlah yang akan bertindak atau menanganinya. Maka dari itu para leluhurlah yang dapat dipandang sebagai kelanjutan dari kehidupan mahluk hidup. Baca: Hekker (2004: 1-2).
Tradisi monibi bagi masyarakat Bolaang Mongondow memiliki fungsi untuk pengobatan desa, ritual pemujaan atau persembahan kepada leluhur demi mencegah hal-hal yang bisa membahayakan desa dari berbagai penyakit atau wabah untuk menghindarkan bencana yang akan menimpa penduduk dari berbagai sisi.
Bagi masyarakat Bolaang Mongondow ritual-ritual seperti tradisi monibi sering diadakan setahun sekali. Upacara ini adalah kebiasaan turun temurun yang oleh orang-orang terdahulu berfungsi menolak ancaman serta marabahaya yang akan menyerang desa.
Upacara atau tradisi monibi ini terakhir diadakan di tahun 1939 di Kotobagon sebagai tempat kedudukan istana (komalig) raja D.C Manoppo serta di Matali sebagai tempat pemakaman Raja D.C Manoppo dan keturunanya.
Sayangnya, kini, tradisi seperti ini di dimasa sekarang sudah tidak sesuai lagi, karena dianggap bertentangan dengan norma-norma agama Samawi yang mungkin pelaksanaanya sudah tidak bisa dilanjutkan lagi.
* Penulis adalah pegiat sejarah di Lembaga Kajian dan Riset Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2-BMR)