Oleh
Murdiono Prasetio A. Mokoginta*
Sejak pertengahan abad ke-19, pasca secara resmi Kerajaan Bolaang Mongondow berada di bawah pengaruh Islam, para misionaris di Minahasa masih terus mengamati Kerajaan ini karena terdapat beberapa penduduk beragama Kristen yang dalam pandangan mereka begitu haus akan pengetahuan tentang keimanan dan perkabaran.
Karena itu Dewan Pusat NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap) melalui direktur lembaga memutuskan untuk mengirim Wilken dan Schwarz ke Bolaang Mongondow dengan tujuan untuk memberikan nasehat pembentukan misi di wilayah ini kepada Raja dan juga mencatat perjalanan mereka yang kemudian dipublikasikan dalam “Madedeelingen Van Wage Het Nederlandsche Zendelinggenootschap” Th. 1867. Perjalanan mereka ke Bolaang Mongondow berlangsung sejak tanggal 13 Juni hingga 29 September 1866.
Dengan keterbatasan yang ada penulis mencoba mereview bagian pertama tulisan mereka dalam majalah di atas yang berjudul ‘Verhaal Eener Reis Naar Bolaang-Mongondou (hlm. 1-41)’, terjemahkan kurang lebih; ‘Kisah Perjalanan Ke Bolaang Mongondow’.
Tulisan ini kiranya bisa menambah pengetahuan kita semua akan salah satu kepingan puzzle Sejarah Bolaang Mongondow sebagaimana yang terdapat dalam catatan Wilken dan Schwarz.
Tanpa membacanya, maka terasa banyak yang hilang dari perjalanan masa lalu Bolaang Mongondow yang kita cintai. Tulisan ini menceritakan perjalanan Wilken dan Schwarz di Bolaang Mongondow yang dicatat dalam dokumen kolonial di atas sebagai mana akan diulas berikut.
Menuju ke Bolaang Mongondow
Senin, 13 Juni 1866 dua orang lekaki yang bernama N.P. Wilken dan J.A. Schwarz berangkat dari Manado menuju Bolaang Mongondow menggunakan kapal Virgo dengan bekal perjalanan yang cukup hingga sampai ke sana. Kapal Virgo sendiri dalam catatan mereka adalah kapal sekunar kecil yang dibuat di Jawa dan digunakan untuk pelayaran di Maluku hingga sepanjang pantai Sulawesi.
Turut serta beberapa orang dari Sonder bersama kepala desa mereka dan lima orang lainnya termasuk penerjemah. Tidak disebutkan jelas nama orang-orang ini. Dalam catatan perjalanan mereka hanya tiga nama yang disebut di atas geledak kapal itu yaitu BB. Linemann, Tendeloo, dan Mr. De W.
Hari itu cuaca begitu cerah, laut terlihat tenang. Terhampar lautan yang luas tak berangin. Tepat jam sembilan pagi jangkar pun di angkat dan kapal bergerak perlahan keluar dari sungai Manado menuju tujuan perjalanan mereka ke Bolaang Mongondow.
Kondisi laut tak berangin ternyata melambatkan kapal mereka. Sampai sore hari, kapal baru baru saja berada di Tanawangko. Beruntungnya saat malam hari angin darat rupanya menguntungkan mereka sehingga kapal berjalan sedikit lebih cepat. Saat pagi hari di keesokannya kapal sudah melewati Amurang.
Dari atas kapal mereka melihat ke daratan Minahasa yang menampakan kemegahannya dengan pemandangan indah gunung Dua Basudara, Klabat, Sapoetan, Lokon, Lolonboelan.
Saat memandang ke Utara, Manado perlahan menjauh hingga tak nampak lagi. Sementara itu pesisir laut Minahasa terlihat sepi sekali, memandang dari kapal yang ada hanya hamparan hutan belantara. Beberapa petak kecil mungkin terlihat seperti ditanami padi dan milu (jagung Turki).
Perjalanan melewati Minahasa yang hening dan sepi, ditambah cuaca terik matahari siang membuat orang-orang di atas kapal merasa kepanasan. Hampir seharian mereka mengalami kondisi demikian hingga suasana hati menjadi senang saat jam empat sore hari itu kapal membuang jangkarnya di laut depan Bolaang. Suasana hati menjadi girang dan semangat pun seperti muncul kembali.
Pekerjaan awal yang mereka lakukan saat tiba di sana adalah menulis surat kepada Raja untuk memberitahu kedatangan dan memohon agar bisa menerima mereka selama di sana. Menunggu hingga larut malam, tibalah surat balasan dari Raja yang memberitahukan bahwa Raja akan menemui mereka keesokan paginya.
Sambutan Raja
Tanggal 20 Juni pukul delapan pagi mereka diturunkan dari kapal dengan sampan kecil dari Raja. Saat tiba sana, mereka tinggal di rumah Djogugu yang merupakan orang ke dua berpengaruh di Kerajaan ini. Sebenarnya mereka akan tinggal di rumah Raja, sayangnya karena sedang dalam kondisi rehabilitas pembangunan hal itu tidak memungkinkan.
Hari itu mereka bertemu langsung dengan Raja, Djogugu, dan beberapa orang penting di sana. Penyambutan mereka sangat sopan, tapi kaku.
Raja adalah seorang pria paruh baya, bertubuh pendek dengan wajah yang bulat, tanpa banyak ekpresi dan melotot. Hari itu raja mengenakan jaket hitam pendek dengan kancing berlapis emas, celana panjang hitam, rompi sutera, dan dasi berwarna terang.
Djogugu sendiri nampak menggunakan pakaian mode Eropa, tapi seluruhnya hitam. Memiliki penampilan bak besar dan ideal, dan postur tubuh yang ramping. Di antara anggota keluarga kerajaan lainnya nampak sosok-sosok maskulin dan cantik dengan tubuh ideal, mengenakan kebaya panjang putih atau beraneka ragam dengan celana panjang dan banian (semacam jaket) dari kain katun dan kerudung warna-warni.
Mereka semua duduk di bangku kayu di satu sisi beranda depan, adapun Wilken dan Schwarz duduk di sisi lain dengan Raja dan Djogugu di meja bundar dengan kursi. Kepada Raja ke dua orang ini memberi surat rekomendasi dari Residen Manado Tn. Van Deijnse yang berisi tujuan perjalanan mereka selama di Kerajaan Bolaang Mongondow yang ingin mengetahui lebih tentang negeri dan orang-orangnya.
Di antara yang hadir ada juga beberapa pangeran, dan adik raja yang diperkenalkan meski cenderung diam jika ditanyakan sesuatu dan lain hal. Bila Wilken atau Schwarz bertanya kepada Raja dan Djogugu, maka jawaban akan diberikan setelah ada sedikit diskusi antara keduanya.
Wilken dan Schwarz memperhatikan Raja seakan tidak begitu penting, sementara Djogugu begitu nampak pengalaman, pengetahuan, dan pemahaman. Meski begitu, Djogugu menjaga wibawa raja dengan mengingatkan rakyat akan kesucian dan kekuatan raja. Pertemuan hari itu berakhir sesudah makan siang bersama Raja dan Djogugu.
Makan Bersama Raja dan Djogugu
Meski sederhana, rasa makanan yang disajikan terasa enak menurut Wilken dan Schwarz. Dari apa yang mereka lihat, saat makan, Raja memiliki keistimewaan tersendiri. Semua makanan disajikan kepada Raja dengan piring terpisah.
Tidak ada satupun yang bole makan di atas sajian yang dihidangkan. Kesucian peribadinya tidak dibenarkan harus berbagi atau ditawari di atas piring bersama orang lain.
Air minum saja dituangkan untuknya dari kendi yang terpisah. Semua alat yang digunakan untuk memasak makanan raja juga harus terpisah dengan semua orang meski dengan orang seistana. Raja memiliki keistimewaan tersendiri dan kesuciannya harus begitu dijunjung tinggi.
Setelah makan, Raja dan Djogugu langsung beranjak pergi. Namun sebelum itu pada Wilken dan Schwarz, Raja berpesan bahwa mereka harus mengganggap rumah itu seperti rumah mereka sendiri agar tidak cangung dan segan.
Rumah yang besar dan luas semuanya di bangun dari kayu. Kubah besar tergantung di loteng, dindingnya dihiasi dengan cermin dan piring, beberapa dari gambar yang terpampang di sana mengambarkan adegan perang Krimea.
Inilah sedikit catatan awal kedatangan mereka di Kerajaan Bolaang Mongondow yang disambut oleh raja dan keluarga istana dengan ramah dan penuh toleransi.
Catatan selanjutnya akan membahas tentang asal-usul Bolaang sebelum adanya komunitas Lombagin. Catatan akan mengurai sedikit tentang komunitas Buntalo dan Tondoga dan beberapa informasi historis lainnya pada bagian selanjutnya tulisan ini.
*Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)