Oleh: Wahyu Pratama Andu*
Masih ada catatan menarik yang dirasa perlu ditulis dari apa yang saya baca dalam dokumen kolonial yang berjudul “Nederlandsche Zendling Genootschap” tahun 1867 arya M.Wyt dan Zonen. Sebagaimana pernyataan saya pada tulisan yang lalu bahwa ada begitu banyak ‘tradisi lisan’ Bolaang Mongondow di dalam karya ini.
Tulisan kali ini masih juga merujuk dalam sumber yang sama sebagaimana tulisan ‘Putri Silagondo, Mandoka, dan Negeri Buntalo’.
Kini saya akan mengulas kisah heroik Banton mengalahkan Pata Besi. Sebuah cerita yang menampilkan kedigdayaan Kerajaan Bolaang Mongondow dan Kesultanan Ternate di atas hagemoni dan kekuasaan keduanya, namun berujung pada persahabatan erat bahkan menjadi alasan Sultan Ternate begitu segan pada Raja Loloda Mokoagow. Bagi orang Belanda, pertarungan Banton melawan Pata Besi ini seperti pertarungan “David (Daud) Melawan Goliat’’.
Dalam arsip di atas tercatat bahwa peristiwa ini terjadi ketika di masa awal pemerintahan Raja Loloda Mokoagow. Sebagai raja baru, beliau sangat penasaran dan sangat ingin mengunjungi Sultan Ternate yang dikenal perkasa.
Raja Loloda memiliki sebuah perahu yang terbuat dari kulit kayu yang kasar dan dengan menggunakan perahu itu, beliau ditemani oleh tujuh orang pemberani di kerajaannya untuk menyeberang dari Kema menuju Kesultanan Ternate.
Ketika tiba di Ternate dia diterima dengan penuh hormat oleh Sultan. Maka untuk menghormati tamu, Sultan menyarankan agar diadakan pertandingan antara petarung terbaiknya dengan salah satu pengikut Loloda Mokoagow. Kata Sultan “Saudara, biarkan Ayam kita bertarung satu sama lain dalam pertarungan yang agung”. Dengan penuh bangga Sultan berharap akan diperhitungkan.
Tantangan Sultan pun diterima oleh Raja Bolaang Mongondow Loloda Mokoagow. Pertarungan pun direncanakan akan berlangsung keesokan harinya. Saat tiba hari yang ditentukan, Sultan Ternate memanggil petarung terkuatnya yang bernama Pata Besi karena kekuatannya yang hebat. Ia bertubuh raksasa, berpenampilan garang, berbulu, dan sangat terkenal di sana karena menjadi singa dalam perperangan, memiliki kecepatan dan kehebatan dengan senjata khasnya yang disebut ‘tam-pilang’ (pedang besar) ditangannya yang selalu siaga menerjang lawan.
Majulah Banton, perintah Raja Loloda Mokoagow kepada pengikutnya. Ternyata Banton adalah nama petarung Bolaang Mongondow yang siap meladani jagoan Sultan Ternate. Pertarungan persahabatan dua kerajaan ini menjadi makin panas dan menegangkan. Tapi ada pemandangan yang sedikit menggelikan saat melihat tubuh Banton yang kurus dan ramping. Ia juga hanya dipersenjatai ‘kelet’ (belati kecil).
Penampilan yang lemah dan dengan senjata kecil itu, menimbulkan senyum kasihan dari semua penonton yang hadir untuk menyaksikan pertarungan ini. Sebelum dimulai Sultan sudah memperkirakan kemenangan gemilang dan optimis Pata Besi akan mengalahkan Banton dengan mudah.
Saat mereka berhadapan Pata Besi berkata kepada Banton bahwa ia yang pertama harus melayangkan pukulan. Pata Besi berteriak “Sebagai yang lebih tua, harus kau Banton yang memulai serangan lebih dulu”. Banton lalu menjawab dengan suara nyaring “Saudaraku, tetapi kamu tetap melakukannya terlebih dahulu’.
“Ketika saya memulai, kamu tidak akan memiliki kesempatan lagi. Dan hanya dengan pukulan pertama, aku akan membelah kamu jadi dua”, sahut Patah Besi.
Sayangnya Banton tetap menolak untuk menyerang duluan. Kini tanpa menunggu lagi Pata Besi akhirnya memulai serangan. Raksasa itu (Pata Besi) mulai maju mengayunkan tampilang maju mundur. Namun pukulan itu selau gagal, karena setiap kali sebelum pukulan itu mengayun ke kanan, Banton berdiri dengan satu lompatan ke sisi kiri di hadapan raksasa itu. Bila Pata Besi menyerang ke kiri, Banton melompat ke kanan dengan lincahnya
Suka cita kerumunan penonton untuk menyambut kemenangan sang raksasa memudar. Ketegangan antara prajurit dan penonton melihat pertarungan sengit itu meningkat. Sayangnya prediksi mereka ternyata keliru. Banton tidak mudah untuk dikalahkan.
Sekarang giliran Banton menyerang. Ia melompat ke kanan dan mendorong dengan keleletnya melalui sisi raksasa. Hanya dengan serangan sekilas, Patah Besih jatuh sekarat di hadapan Sultan yang merasa heran atas hasil akhirnya dengan penuh rasa kecewa.
Kekaguman dan ketakutan memenuhi suasana hati Sultan usai pertarungan persahabatan itu. Maka Sultan dan Raja Loloda Mokoagow kemudian menjalin persahabatan yang sangat erat setelahnya.
Inilah peristiwa yang membuat orang-orang di wilayah Kesultanan Ternate menaruh hormat kepada Raja Loloda Mokoagow dan bawahannya yang berkunjung ke sana. Dalam sumber lain, Montanus menulis dalam catatan gerejanya pada tahun 1675. “Raja Loloda Mokoagow begitu terhormat dan sangat dikagumi hingga saat itu orang Ternate, Tagulander, Sangir, dll. Mereka menyanjungnya dan memuliakanya dalam nama keluarga mereka yang disegani ‘Binangkang’.
Di sinilah sepertinya istilah ‘Binangkang’ mulai disematkan di belakang nama keluarga Loloda Mokoagow. Rasa segan Sultan Ternate dan ikatan persahabatan erat itu diabadikan dalam namanya. Karena Sultan beragama Islam, maka ia menjuluki Raja Bolaang Mongondow ini sebagai Datu’. Maka saat Raja Loloda Mokoagow kembali ke Bolaang Mongondow wilayah kekuasaannya, ia lalu dijuluki Datu’ Binangkang atau Raja yang dihormati dan disegani.
*Penulis adalah Pengiat Sejarah di Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)