Oleh:
Murdiono Prasetio A. Mokoginta*
Sejak bangunan baru HIS dibuka secara resmi di Kotamobagu tahun 1911, akses pendidikan di sana berjalan lacar. Cukup banyak anak-anak dari kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan yang bisa bersekolah dengan tenang. Meski begitu, keadaan ini melahirkan masalah masalah baru yakni keterbatasan guru yang mengajar di sekolah ini karena melonjaknya murid.
Holandsche School membutuhkan guru tambahan yang harus dikirim NZG. Yang mendesak dibutuhkan adalah guru yang bisa mengajar bahasa Belanda yang juga harus menguasai bahasa lokal kerajaan. Adalah Johanna P. Schuiling Van Der Endt yang menjadi guru bantu untuk menjawab masalah ini. Johanna adalah adik dari Adr. Van Der Endt yang telah lebih dahulu datang Kotamobagu dan telah mengajar di sana. Guru bantu ini tiba di Kotamobagu pada Februari 1915.
Selama di Kotamobagu ia bekerja dengan penuh dedikasi dengan mengajar para murid berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk juga bahasa Belanda. Sayangnya ia hanya bisa di Kotamobagu selama 4 tahun saja. Pada Juni 1919 ia menikah dan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya di sini.
Meski begitu di tempat lain ia tetap berkonstribusi untuk memajukan pendidikan di Kotamobagu dengan mengirim berbagai bantuan yang diperlukan untuk memajukan pendidikan di Kerajaan Bolaang Mongondow. Dan tidak berselang lama, lebih dari setahun kemudian pada September 1920 Jhon meninggal karena penyakit yang tidak diketahui.
Tentang Sekolah Hollandsche
Sebenarnya regulasi yang berlaku di sekolah Hollandsche mengatur bahwa murid baru di sana sudah boleh didaftarkan saat berusia 6 tahun. Saat masuk sekolah anak-anak masih diberi kursus (mungkin bahasa Belanda) hingga berusia 7 tahun. Namun orang tua murid umumnya baru mengirim anak-anak mereka atas permintaan sendiri saat anak telah berusia 9-10 tahun. Untuk sekolah rendah ada banyak murid yang berusia 13-17 , bahkan ada yang telah berusia 18 tahun.
Saat melihat murid baru yang berusia demikian hal ini nampak terasa sukar. Terlebih anak-anak remaja ini nyatanya datang bersekolah dan harus duduk terlebih dahulu di sekolah rendah. Namun guru-guru tetap memperlakukan mereka dengan penuh perhatian seperti anak kandung mereka sendiri karena mereka masih sangat mandiri. Karena itu Dunnebier, dan guru yang lain tidak pernah berniat menutup sekolah rendah yang notabene adalah kelas untuk murid yang berusia 6-10 tahun di mana realitas di lapangan, para murid sekolah rendah di sini telah berusia remaja.
Pelajaran yang diajarkan di sekolah ini antara lain pelajaran umum sekolah dasar, sejarah Al-Kitab, dan pelajaran yang berkaitan langsung dengan bahasa Belanda. Di antara pelajaran, mengajar bahasa Belanda yang mengalami kendala dan kesulitan, khususnya untuk para murid baru yang bersekolah di sini.
Oleh karena itu pada tahun-tahun awal itu pelajaran difokuskan pada pengajaran bahasa Belanda. Pembelajaran juga dalam beberapa tahun ini difokuskan pada materi tentang hortikultura praktis dan praktik kerja manual, namun dua pelajaran ini karena keadaan tertentu telah berhenti diajarkan tahun 1915.
Sebelum resmi menjadi murid di sekolah Holandsche, tiap peserta didik harus magang untuk mengasah dan memperdalam bahasa Belanda dengan baik. Jika ada anak di sekolah ini yang terlihat fokus belajar bahasa, aritmatika, membaca, dll, berarti anak tersebut melewati masa magang di sini dengan luar biasa.
Para guru cukup puas dengan perkembangan anak yang pesat. Semangat mereka kadang lebih besar daripada kekuatan fisik. Para murid di sini sangat menyukai tantangan. Kadang saat mereka menyerahkan pekerjaan rumah, mereka ingin diberi tugas yang lebih sulit daripada yang biasa diberikan guru. Mereka sangat haus pengetahuan dan pelajaran.
Kendala lainnya di sekolah Holandsche Kotamobagu adalah begitu banyak murid dari desa yang jauh dan ingin menempuh pendidikan di sekolah ini. Para orang tua ingin agar guru-guru misi menyempatkan datang memberi langsung pelajaran sekolah pada anak-anak di desa mereka. Mereka agak keberatan jika anak mereka tinggal berjam-jam (bahkan beberapa hari) jauh dari sekolah.
Akhirnya para guru mengambil keputusan bahwa para murid yang bertempat tinggal jauh dari sekolah untuk tinggal saja di rumah dinas guru. Atas kebijaksanaan ini tiap hari jumlah para murid terus meningkat hingga melebihi tempat yang tersedia. Murid yang tinggal di rumah guru sekitar 20 siswa. Dengan banyaknya para murid di sini, dan lainnya sudah berusia remaja, ada juga sedikit kekhawatiran Van Der Endt dan guru-guru lain atas keselamatan Istri mereka walaupun ini hanya kekhawatiran saja.
Orang tua sangat menantikan pesatnya perkembangan pengetahuan dan penguasaan bahasa Belanda anak-anak mereka. Kesempatan ini juga digunakan oleh guru misi untuk mengajarkan keberkatan Tuhan kepada para murid yang tinggal di rumah dinas para guru misi.
Melonjaknya murid yang tinggal di rumah dinas membuat para guru berfikir bahwa mungkin perlu diusulkan pengadaan asrama untuk para murid yang berasal dari sekolah yang jauh itu. Para guru misi berharap bahwa ide ini akan terwujud atas perhatian dari Raja Bolaang Mongondow.
Alumnus Holandsce Scholl 1914
Tahun 1914 untuk pertama kali sekolah Holandsche melahirkan siswa lulusan dari sekolah ini. Lulusan yang membawa harapan baru bahwa berkat hasil kerja keras dan dedikasi para guru misi lahirlah alumni Holandsche yang berasal dari putra-putri asli Kerajaan Bolaang Mongondow. Mereka yang kemudian akan membawa perubahan dan kemajuan di masa depan.
Pasca mereka lulus dari Holandsche School Kotamobagu, mereka melanjutkan pendidikan ke sekolah M.U.L.O (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Tondano, sekolah pelatihan (seperti sekolah kejuruan) di Ambon, atau ke sekolah pelatihan di Solo (Jawa). Ada juga lulusan di sini yang telah langsung bekerja melayani pemerintah atau juga perusahaan swasta.
Meski sudah lulus sekolah, alumni ini tetap menjaga komunikasi yang baik dengan para guru misi di Kotamobagu. Mereka yang sempat melanjutkan studi di luar Bolaang Mongondow berbagai pengalaman baru yang mereka temui di sana dengan para guru misi saat mereka kembali untuk liburan atau untuk urusan yang penting. Para guru selalu menasehati mereka untuk jangan pernah jauh dari berkat Tuhan.
Melihat keberhasilan mereka para guru misi semakin bersemangat untuk mendedikasikan waktu mengajar di sekolah zending di Kotamobagu dengan harapan akan lebih banyak anak-anak yang akan mendapat kesempatan yang sama seperti para alumni yang sudah memiliki wawasan luas. Kerja keras para guru misi ini membuahkan hasil dan mereka merasa tidak sia-sia telah mengajari pengetahuan kepada anak-anak di sini.
Tahun-tahun berikutnya setelah angkatan pertama alumni Holandsche Scholl 1914, makin banyak anak-anak yang lulus dari sekolah ini. Mereka yang akan menjadi orang-orang yang kelak akan membangun Kerajaan Bolaang Mongondow dengan kerja keras dan usaha yang luar biasa. Semua ini tidak lepas dari usaha guru misi yang bekerja sejak 1905 dan membuahkan hasil hampir sedekade (10 tahun) kemudian. (BERSAMBUNG-MENUJU BAGIAN AKHIR)
*Penulis adalah Ketua Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)