Oleh: Murdiono Prasetio A. Mokoginta*
Selama Dunnebier di Kerajaan Bolaang Mongondow (1905-1920), kerajaan membangun sekolah di 12 Desa yang ada di wilayahnya. Jumlah ini bertambah hingga tahun 1920 menjadi 19 sekolah rakyat. Pengabaran injil juga oleh masyarakat di sini diterima mereka dengan cara yang berbeda-beda.
Sebagaimana yang menjadi maksud kedatangan Van Der Endt, Dunnebier, dan guru misi lainnya di kerajaan ini yaitu memberikan pendidikan melalui sekolah NZG dan memberikan perkabaran berkat Tuhan (misionaris). Dua misi ini hingga tahun 1920 cukup berjalan lancar meski banyak juga kendala yang ditemui di lapangan.
Pendidikan dan misi ‘perkabaran’
masyarakat asli Mongondow ada juga yang ingin mendapat berkat melalui perkabaran. Awalnya mereka hanya ingin melihat proses pembelajaran anak-anak mereka melalui luar dinding sekolah. Mereka datang melihat aktivitas di sekolah secara sendiri maupun berkelompok-kelompok. Mereka mungkin penasaran dengan aktivitas sekolah dan bagaimana cara anak-anak menerima pengetahuan.
Ketika guru melihat orang tua murid yang berada di luar, mereka dengan senang hati menyapa dan mengajak para orang tua untuk ikut masuk mengikuti proses belajar-mengajar. Para guru berfikir bahwa inilah kesempatan mereka untuk mengajarkan berkat bukan hanya pada para murid, tapi juga orang tua mereka yang juga membutuhkan berkat Tuhan.
Saat orang tua ini pulang kembali ke rumah selepas mengikuti aktivitas belajar dari sekolah, mereka mungkin saja memikirkan segala apa yang disampaikan oleh guru misi. Tidak langsung menerima tapi mencoba mendiskusikan hal baru yang baru mereka dengan dengan orang lain di lingkungan mereka. Ini juga yang menjadi alasan mereka kembali ke guru misi untuk berdiskusi dan membahas hal-hal itu lebih mendalam.
Ada di antara mereka yang menerima berkat, ada juga yang tetap menolak. Orang-orang Mongondow yang menerima inilah yang menjadi siding pertama dari penduduk asli yang ada. Orang-orang ini atas panggilan diri berkumpul tiap hari Minggu hingga akhirnya terdapatlah 10 perkumpulan mereka.
Dunnebier benar-benar melakukan pekerjaan ini dengan kerja keras yang luar biasa. Kadang para pembantu pribumi datang padanya untuk membahas masalah kota dan pendidikan. Kadang justru Dunnebier yang datang berkunjung pada mereka untuk membangun komunikasi yang erat.
Orang-orang Mongondow asli yang banyak menerima berkat ini sebagian besar dari mereka adalah penganut ‘paganisme’. Ada juga dari muslim walau hanya sedikit. Selama 15 tahun di Bolaang Mongondow, Dunnebier mengklaim di Kerajaan Bolaang Mongondow terdapat 4000 orang Kristen. Dunnebier selalu mensyukuri pencapaian ini.
Semakin banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan oleh Dunnebier untuk mengurus sekolah dan jemaat. Karenanya dia harus menerima bantuan kedatangan guru misi yang akan datang ke kerajaan Bolaang Mongondow. Berikutnya J.H.D. Nijenhuis datang pada tahun 1919, dan Van De Laar Krafft pada 1920 yang mengambil alih Holandsche School pasca Dunnebier pulang kembali ke Negeri Belanda karena sakit. Akhir tahun 1920 P. Hein datang untuk menggantikan saudara perempuan Adr. Van Der Endt.
Kotamobagu Tahun 1911
Kotamobagu adalah tempat khusus yang berada di Kerajaan Bolaang Mongondow. Kotamobagu didirikan pada tahun 1911 bertepatan dengan pemindahan kantor Controleur ke tempat ini. Kotamobagu merupakan tempat yang heterogen yang terdiri atas macam-macam penduduk dan agama yang berbeda. Corak masyarakat Kotamobagu sangat plurlal.
Populasi penduduk di sini bukan hanya Mongondowers asli, tetapi ada juga bangsa-bangsa lain seperti orang asing, Tionghoa, imigran Minahasa, Bugis, dan lain-lain. Penduduk di sini juga memiliki pekerjaan dan profesi yang berbeda-beda. Ada penduduk luar yang tinggal di sini hanya sementara, tapi pendatang lain juga menggantikan mereka bila kembali pergi.
Misi perkabaran di Kotamobagu juga cukup lancar. Pertemuan minggu pagi di sini dihadiri banyak orang dan bahu membahu saling membantu untuk mendukung perkabaran di antara mereka. Selama di Kotamobagu semua sangat menyenangkan.
Keputusan
Banyak hal yang terjadi selama perjanalan Dunnebier, Van Der Endt, dan kawan-kawan lain untuk membawa misi pendidikan dan perkabaran ke Kerajaan Bolaang Mongondow. Tentang kesulitan Nijenhuis mengajar, tentang pekerjaan mengabarkan keberkatan, pengalaman indah dan sedih dari masyarakat asli yang membantu mereka, anggota jemaat dan siswa di Holandsche School, tentang kehidupan masyarakat Islam di Kerajaan Bolaang Mongondow, semua suka dan duka, perjuangan dan kemenangan, semua itu memberi pengalaman berharga bagi para guru misi.
Akhinya tahun 1920 Dunnebier harus kembali ke Belanda karena jatuh sakit. Di waktu itu pembangunan gereja pertama di Popo’ mulai diselesaikan dan bahkan gereja semacam itu juga akan dibangun di Kotamobagu. Van De Laar Krafft yang akan mengantikan Dunnebier untuk pekerjaan ini.
Adr. Van Der Endt juga meninggalkan Kotamobagu pada tahun 1920 ini. Dengan begitu berakhir juga catatan perjalanan panjang dan indah selama berada di Kerajaan Bolaang Mongondow. Selama di sini banyak ujian dan rintangan berat yang mereka hadapi. Menutup catatan, Van Der Endt membuat sajak yang juga akan menutup catatan yang panjang ini.
“Blijf, o God! in onze dagen, voortgaan met uw heerlijk werk; Doe ons moedig steenen dragen, tot den opbouw uwer Kerk. Alle volken zullen komen en uw poorten binnenstroomen; Knielen voor uw aangezicht, juichen in uw eeuwig licht.”
“Tetaplah, ya Tuhan! di hari-hari kita, Lanjutkan pekerjaan mulia Anda; Buatlah kami membawa batu dengan berani Untuk membangun Gereja Anda. Semua bangsa akan datang Dan membanjiri gerbang Anda; Berlututlah di depanmu, Berteriak dalam Cahaya Abadi Anda.”
(Sajak Penutup “De Zending In Bolaang Mongondow”, Oleh: Adr. Van Der Endt, 1920)
*Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)