Lensa.News, Yogjakarta — Siapa yang tak kenal Malioboro? Destinasi wisata Kota Jogjakarta ini sejak dulu dikenal sebagai kawasan yang tak pernah tidur.
Kawasan ini dipenuhi toko yang menjual batik dan kerajinan tangan. Pula ratusan penjaja makanan lesehan (duduk) berserak di Malioboro (bahasa Jawa: Hanacaraka, ꦢꦭꦤ꧀ꦩꦭꦶꦪꦧꦫ , Dalan Maliabara).
Selain itu, Malioboro terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim, angkringan, dan sebagainya. Intinya, banyak peluang usaha yang dimanfaatkan dan berputar di kawasan itu.
Lukman (34 tahun), bapak seorang putra berusia 10 tahun, urun masuk mengais rezeki di Malioboro. Lelaki ramah yang tinggal di Jalan Mataram ini, sejak tiga tahun lalu menjadi tukang pijat refeksi.
Lukman menuturkan, jam bekerjanya biasanya selepas shalat Isya. “Setiap hari, kecuali Selasa Wage,” katanya. Selasa Wage jatuh 40 hari sekali dan bukan hanya Lukman yang tidak bekerja. Sebab hari itu oleh orang Jawa dipercayai tidak elok dijadikan hari bekerja.
Lukman menambahkan, rata-rata jam selesai mengais rezeki antara pukul 24.00 hingga 02.00 tengah malam, tergantung pelanggan. Adapun rata-rata yang didapat semalam, dua hingga empat orang. Tarifnya adalah Rp. 50 ribu untuk pijat refleksi (kaki) dengan durasi 30 menit dan Rp. 100 ribu untuk pijat full dengan durasi sejam.
Dari pendapatan itu, sambung Lukman, untuk sebulan Rp. 25 ribu disetor ke Paguyuban Ahli Pijat Malioboro untuk keperluan anggota paguyuban itu sendiri guna keperluan mendadak atau sumbangan bila ada ‘force majeur’ seperti bencana alam. Anggota paguyuban yang beroperasi di Malioboro mencapai 15 orang.
Adapun kewajiban ke Pemkot Jogjakarta, ungkap Lukman tidak ada, selain turut menjaga kebersihan. Apalagi keamanan dan kebersihan selalu di pantau oleh Jogoboro (sekuriti kawasan Malioboro).
Lantas, apa harapan Lukman?
“Saya hanya berharap tetap diizinkan beroperasi, tidak diusir. Karena kami kan tidak mengganggu. Hanya berharap menghidupi keluarga dari keahlian ini,” pinta lelaki yang pernah merantau 9 tahun di Bandung ini.
(Chag)