CERPEN | dari Novel Damopolii*)
Dering telepon mengejutkan Candra yang sedang menekuni sebuah dokumen. “Pak Candra sudah disetujui, silahkan datang untuk mengambilnya.”
Euforia disahkannya Perda Adat menggema di ruang-ruang publik. Banyak orang merasa sebuah era baru Kotamobagu telah datang. Fajar kecerahan akan bangkitnya kejayaan Bolaang Mongondow seperti di masa Loloda Mokoagow begitu terasa di seantero Kotamobagu.
Candra memandang selembar surat yang diterimanya pagi itu. Rasa bahagia, haru menyatu dalam dadanya. Handphone-nya tak henti-henti berbunyi. Akun sosial Facebook dan Instagram miliknya penuh dengan ucapan selamat.
Sambil menghirup rokok kretek, ia mengingat kejadian demi kejadian yang lewatinya sampai surat persetujuan Rancangan Perda (Ranperda) Adat menjadi Perda berada ditangannya.
Seminggu Sebelumnya..
Pukul 10 malam di kedai kopi.
“Teman-teman, terima kasih sudah berkumpul. Langsung saja, Biro Hukum Provinsi belum menyetujui Ranperda yang diajukan. Mereka bahkan mengarahkan agar Lembaga Adat menjadi organisasi massa (Ormas)”, ujar Candra.
Diantara enam orang yang berkumpul, Ray yang dikenal pembawaanya meledak-ledak langsung memukul meja. “Mereka maunya apa? Sudah setahun diajukan, selalu minta diperbaiki.”
Wahyu, dengan kalem menimpali, “Sabar, Bro. Tidak akan selesai kalau dibawa dengan emosi.”
Owen yang paling senior diantara mereka segera menimpali, “Bung Candra, coba baca permintaan perbaikan mereka. Saya pikir yang paling penting adalah mencegah Lembaga Adat menjadi Ormas”.
Candra segera mengambil berkas dalam tas kerjanya dan mulai membaca perbaikan yang diminta.
“Demikian, sembilan poin tidaklah susah. Memang seperti yang saudara Owen katakan, Lembaga Adat tidak bisa kita jadikan Ormas. Ia harus menjadi lembaga yang dinaungi Pemerintah Daerah. Kita perlu mengingat bahwa Lembaga Adat yang selama ini berjalan di tingkat desa dan kelurahan, mereka diberikan insentif setiap tahun. Kalau berubah menjadi Ormas, insentif tidak bisa diberikan setiap tahun.”
“Sebentar Bung Candra!” Ray tiba-tiba memotong perkataan Candra.
“Apakah tidak mungkin ada unsur kesengajaan dari pihak provinsi untuk menyetujui Ranperda Adat ini. Kita sama tahu, upaya mereka selama puluhan tahun melakukan hegemoni atas daerah kita. Permesta adalah contoh nyata,” sambil melirik Doni.
Doni hanya tersenyum. Ia adalah penulis buku Permesta di Bolaang Mongondow. “Tak usah membawa Permesta dulu. Kita fokus pada perbaikan, dan saya pikir kita perlu menyusun argumentasi untuk mematahkan keinginan provinsi. Garis besarnya perlu segera disusun malam ini. Mungkin Saudara Gio bisa menyiapkan notulensinya.”
Candra mengangguk setuju. Ia meminta stafnya untuk segera menyiapkan laptop. Usulan dan ide segera mengalir di dalam ruang kecil itu. Bergelas kopi silih berganti mengisi gelas-gelas kosong.
“Saya pikir cukup dulu untuk malam ini. Kita ketemu besok siang di ruang kerja kerja saya. Saya juga perlu mengundang beberapa orang tua dan guhanga adat untuk mendengarkan masukan dari mereka,” kata Candra.
Ruang kerja DPRD, jam 1 Siang.
“Asssalamu’alaikum. Syukur moanto atas kehadiran orang tua dan guhanga serta rekan-rekan pusat studi sejarah. Perjuangan kita untuk menggolkan Ranperda Lembaga Adat sudah mencapai titik klimaks. Berbagai cara telah dilakukan pihak provinsi untuk mencegah disetujuinya Ranperda Lembaga Adat. Ini adalah amanah dari masyarakat Kotamobagu yang harus kita perjuangkan bersama. Tentu saja sebagai anggota legislatif, ini adalah tanggung jawab saya. Namun tidaklah mungkin perjuangan ini akan berhasil tanpa dukungan, masukan dari sekalian yang hadir dalam pertemuan kali ini. Demikian, pengantar dari saya. Di depan sudah ada draft beserta sanggahan yang kami susun untuk dilampirkan dalam Ranperda Lembaga Adat.” Candra berbicara dalam balutan penyampaian resmi dengan intonasi kalem.
Sesudahnya salah satu dari orang tua berbicara.
“Sukur moanto. Saya sudah membaca Ranperda ini beserta sanggahannya. Pada intinya sudah cukup baik. Namun ada satu yang mengganjal. Kenapa tidak ada tata cara pelaksanaan adatnya?”
Candra segera menanggapi.
“Sukur moanto atas tanggapannya. Ranperda Lembaga Adat ini hanya difokuskan pada lembaganya saja. Dan memang belum mengatur tentang pelaksanaan adat. Kami berencana sesudah Ranperda ini disetujui jadi Perda, maka Ranperda tentang Pelaksanaan Adat akan diusulkan.”
Ruang rapat segera menjadi hidup. Beberapa orang tua mengusulkan, menambahkan bahkan mengurangi beberapa kata dan kalimat dalam Ranperda Lembaga Adat itu.
Setelah berlangsung empat jam lamanya, pertemuan selesai dengan persetujuan seluruh peserta terhadap dokumen Ranperda Lembaga Adat dan meminta untuk segera diajukan ke pemerintah provinsi.
Dering telepon mengejutkan Candra yang sedang menekuni sebuah dokumen. “Pak Candra sudah disetujui, silahkan datang untuk mengambilnya.” Singkat, namun serasa Candra sedang memeluk dunia.
Candra segera tersadar dari kenangannya. Dengan penuh semangat ia menuju ruang kerjanya. Bersiap memulai persiapan pertemuan dengan Kepala Dinas.
Ambang, Sebuah Rumah Tua.
Pria itu laiknya berusia 50 tahun. Namun sesungguhnya ia telah berusia 90 tahun! Sore di belakang rumahnya, ia nampak menikmati secangkir kopi sembari memandang Gunung Ambang di kejauhan. Raut mukanya yang semula teduh, tiba-tiba berkerut. Entah apa yang dipikirkannya?
Tiba-tiba keheningan sore itu dipecahkan suara langkah kaki yang terburu-buru. “Aki,” suara seorang anak muda terdengar.
“Ada berita penting. Sudah ada Perda tentang Lembaga Adat.”
Orang tua itu hanya menanggapi dengan dingin.
“Sudah. Biarkan saja.”
Anak muda itu hanya terbengong heran melihat reaksi lelaki yang disapa Aki itu.
“Tapi Aki..”
Belum selesai ia berucap, si Aki segera memotongnya
“Ndak usah diurus. Kamu kembali saja ke Dumoga.”
Tak lama sesudah anak muda itu pergi, si Aki menggumam, “Suluh itu sudah dinyalakan.” Ia menoleh ke arah pohon di dekatnya, dan berbicara pelan.
“Sampaikan kepada tua’, api sudah dinyalakan.”
Sinumolantaan, Gubuk Tua.
Pria sepuh itu nampak seperti sedang bersemedi. Matanya tiba-tiba terbuka ketika mendengar suara seekor burung. Ia tersenyum.
Perlahan ia bangkit berdiri menuju keluar, ke arah pohon beringin yang ada di dekat gubuk. Sambil menyalakan kemenyan, ia mengguman sebuah syair.
Ketika selesai mengucap syair, sebuah kilat menyambar pohon di dekatnya. Namun lelaki itu tidak terlihat terkejut dengan kilat itu. Ia hanya mengucap, “Niondon.”
Puncak Passi.
Seorang gadis berlari kencang menuju rumah panggung. Di rumah panggung nampak seorang wanita paruh baya sedang memintal benang. Ia segera mengangkat kepalanya sambil bertanya, “Ada apa, Bua?
“Nek, ada kilat,” jawab si gadis.
“Dimana,” sambut wanita paruh baya itu. Si gadis segera memegang tangan wanita itu menuju ke luar rumah.
Di sana, Nek”, kata si gadis sambil menunjuk ke arah Dumoga.
“Bua kamu yakin melihat kilat di arah Dumoga dan bukan saat ada hujan?”
Si wanita ingin memastikan kebenaran berita yang dibawa cucunya.
“Iya, Nek. Tadi Bua pergi ke rumah teman di Tungoi. Ketika mau balik ke Passi, Bua tanpa sengaja melihat ke langit dan melihat sambaran kilat. Bua heran nek, kok ada kilat di siang hari?”
“Sudah ndak apa-apa. Bua pergi mandi. Sebentar malam ada acara mintahang di rumah pamanmu,” si wanita menenangkan cucunya.
Ketika cucunya pergi, wanita itu berbicara pelan, “Mereka sudah mulai bangkit kembali setelah sekian lamanya diam.”
Molayak, Kaki Gunung Impolian.
Aki Nanang sedang asyik memegang cangkul. Membuat lubang untuk menanam jagung. Tangannya yang memegang cangkul tiba-tiba bergetar.
Ia merasakan akan ada kejadian besar terjadi. Segera ia melepaskan cangkulnya dan mengalihkan pandangannya ke arah Dumoga. Keningnya berkerut. Tak lama ia pun mengalihkan pandangannya ke arah Passi.
“Hmm.” Ia menggumam. “Mereka mau perang lagi. Tak biasa dibiarkan, sudah sekian lama mereka tak ada gerakan. Sekarang mau memulai. Harus didamaikan. Bakid harus diadakan!”
*) Penulis, pemerhati sejarah dan budaya.