Oleh: Murdiono Prasetio A. Mokoginta*
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya.”
Begitu petikan pidato terakhir Bung Karno pada upacara Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1966. Petikan ini harusnya menjadi renungan mendalam bagi kita anak Pertiwi yang kini seakan mulai mengalami gejala amnesia sejarah hingga kehilangan arah menggapai cita-cita bangsa.
Kita selamanya tidak akan mampu mengubah masa depan menjadi lebih baik tanpa belajar sejarah. Karena sejarah adalah guru kehidupan yang membimbing manusia untuk menyelesaikan berbagai problematika dalam ruang dan waktu dari pengalaman-pengalaman penting masa lalu. Berdasar pengalaman itu manusia memproyeksi masa depan dengan bijaksana agar kesalahan di masa lalu tidak terulang.
Sebagaimana dalam penggalan kalimat pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa (…), maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Kita mengakui bahwa perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan adalah atas kekuasaan dan rahmat Allah SWT. Karena itu sebagai wujud dari rasa syukur pada Tuhan YME, sepatutnya kita harus menghargai jasa-jasa pahlawan karena melalui perjuangan dan pengorbanan mereka kemerdekaan ini bisa kita rebut dari penjajah.
Pada kesempatan lain, Bung Karno berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Cina, dan negara-negara yang memiliki masa lalu gemilang, penghargaan terhadap sejarah dan pahlawan mereka bukan hisapan jempol belaka.
Amerika Serikat membangun sebuah tugu peringatan Korps Marinir Amerika Serikat di Rosslyn, Virginia dengan biaya yang besar sekitar $850.000 hanya untuk mengenang perjuangan semua korps marinir yang gugur dalam mempertahankan negara sejak mereka merdeka.
Di Cina dan negara-negara Eropa pun demikian. Banyak monumen-monumen penting yang mereka bangun dengan biaya tak sedikit untuk memperingati sejarah dan menghargai pahlawan. Bagi mereka, menghargai nilai kepahlawanan orang-orang besar jauh lebih berarti dari sekedar nilai material semata.
Sejarah penting bagi sebuah bangsa untuk menanamkan rasa kebanggan dan percaya pada diri sendiri dalam menghadapi tantangan zaman yang berubah-ubah termasuk bagi kita bangsa Indonesia.
Bagi kita masyarakat Bolaang Mongondow (Raya) perlu untuk merenungi hal ini. Sejauh manakah kita menghargai sejarah kita sendiri?, Seberapa besarkah kita menghargai pahlawan-pahlawan yang telah mengorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan dan kebebasan yang kini kita nikmati?, jangan pernah bermimpi dihargai dan disegani jika kita sendiri tidak menghargai jati diri kita sendiri. Dan hal ini hanya bisa kita pahami dengan menghargai nilai-nilai sejarah di Bolaang Mongondow sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tepat 84 tahun yang lalu, pada 19 Desember 1945 terjadi peristiwa heroik di Bolaang Mongondow yang kita kenal sebagai “Insiden Merah Putih”. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa Rakyat Bolaang Mongondow telah mengorbankan putra-putrinya demi kemerdekaan Indonesia, dan untuk memperlihatkan kepada kolonal Belanda bahwa secara de facto Bolaang Mongondow adalah bagian dari Republik Indonesia di Jakarta yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Mengutip dari buku Sejarah Perjuangan Kelaskaran Banteng RI Bolaang Mongondow yang ditulis oleh salah satu putri terbaik Bolaang Mongondow, Ny, Hj. Nurtina Gonibala Manggo, latar belakang peristiwa ini terjadi setelah beberapa pejuang republiken Bolaang Mongondow seperti H.J.C. Manoppo (beliau ketika itu masih menjadi raja Bolaang Mongondow) didampingi Y.F.K. Damopolii melakukan rapat dengan beberapa mantan pegawai Jepang di Manado antara lain E.H.W. Palengkahu, B.W. Lapian pada tanggal 22-24 Agustus 1945 untuk menghasilkan keputusan membuat pemerintahan RI di wilayah Sulawesi Utara dan Tengah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Dari sumber yang lain dijelaskan kabar mengenai kemerdekaan Indonesia diketahui oleh tokoh-tokoh penting Bolaang Mongondow pada awal September 1945 melalui surat kabar ‘Suara Nasional Gorontalo’ yang dibawa oleh Siata Paputungan, seorang guru yang bertugas mengajar sekolah rakyat di wilayah Lion.
Bahkan surat kabar ini juga memuat teks ‘Proklamasi Kemerdekaan’ yang kelak dibacakan pada tanggal 19 Desember 1945 di Lapangan Molinow Kotamobagu hingga menyebabkan terjadinya insiden berdarah antara pejuang Kelaskaran Banteng RI melawan tantara KNIL di Bolaang Mongondow.
Malam hari tanggal 18 Desember 1945 pawai akbar merah putih dimulai dari Desa Tanoyan menuju Desa Molinow yang lengkap bersenjata dengan berjalan dan sebagian menunggangi kuda. Mereka benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Bahkan siap bertempur bila sewaktu-waktu berhadapan dengan tentara KNIL Belanda. Akhirnya, pagi hari pukul 06.00 tanggal 19 Desember 1945 upacara dan pawai merah putih dilaksanakan. Ribuan masyarakat Bolaang Mongondow di Kotamobagu menyambut hal ini dengan gempita sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan teriakan ‘Merdeka atau Mati’ mengelegar di sepanjang jalan yang dilewati kelaskaran.
Pada pagi hari yang ramai itu, susasana berubah mencekam ketika tentara KNIL dan polisi kerajaan dipimpin J. Kambey mengepung kerumunan rakyat yang sedang bersuka cita dengan kemerdekaan. Pertempuran tak terelakan, dalam sekejap, di pagi hari yang cerah itu terjadi pertempuran antara kedua belah pihak yakni rakyat yang dikoordinir oleh Kelaskaran Banteng RI melawan KNIL yang anti kemerdekaan. Dalam pertempuran itu korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Di hari itu komandan KNIL tersebut tertembak dan dibawa ke rumah sakit Kotamobagu.
Hari-hari berikutnya penangkapan besar-besaran terhadap pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia di Bolaang Mongondow giat dilakukan oleh KNIL. Di antara mereka ada yang bahkan dipenjara dan dibunuh.
Namun, melalui peristiwa ini, Bolaang Mongondow telah menuliskan lembar sejarahnya dengan tinta darah yang bercucuran dari para pejuang yang gugur dan tertembak diperistiwa 19 Desember 1945. Peristiwa patriotik ini menjadi legitimasi sejarah, bahwa Bolaang Mongondow juga ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan walau kini belum dimuat secara resmi dalam buku-buku pejaran sejarah di sekolah.
Banyak sekali peristiwa heroik antara pejuang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda di Bolaang Mongondow. Namun ‘Insiden Merah Putih’ di tanggal 19 Desember 1945 itu menjadi peristiwa patriotik yang berdampak luas terhadap perjuangan-perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia selanjutnya.
Ke depan, semoga pemerintah seluruh wilayah Bolaang Mongondow Raya ini bisa menetapkan 19 Desember sebagai “Hari Merah-Putih’ untuk mengabadikan nilai perjuangan dan patriotisme rakyat Bolaang Mongondow melawan penjajahan Belanda. Mari melaksanakan upacara bendera dengan melibatkan unsur pemerintah, pelajar, dan masyarakat untuk mengharagai jasa dan darah mereka yang tumpah di atas tanah Totabuan.
Di tiap tanggal 19 Desember tahun yang berjalan sudahkan kita di Bolaang Mongondow Raya merenung sejenak dan berdoa pada pahlawan yang gugur dengan gagah pada insiden ini? Atau justru kita lupa karena kita ternyata tidak pernah mau belajar dari sejarah.
*Penulis adalah Ketua Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)