Oleh: Anugrah Begie Gobel*
Sekali lagi, bukan cuma soal prestasi tim dan individu di lapangan, tapi faktor X. Olehnya nomor 10 diabadikan di Napoli. Simbol penghormatan klub kepada pemain legendaris, akan halnya AC Milan memensiunkan Nomor 6 (untuk Franco Baresi) dan Nomor 3 (pada Paolo Maldini) atau 23 (untuk Michael Jordan) di klub basket AS, Chicago Bulls.
Itulah cinta. Cinta masyarakat Naples untuk Maradona. Saking cintanya, mereka “rela” berkhianat kepada Italia. Tatkala Piala Dunia 1990 diselenggarakan di negeri Pizza ini, hingga perempat final, tuan rumah tampil digjaya dan favorit juara –bersama Jerman (Barat) yang juga tampil mengesankan selama turnamen.
Seluruh pertandingan fase grup, babak kedua, dan perempat final, dilangsungkan di Stadion Olimpico, Roma, di ibukota. Namun semifinal dipanggungkan di Stadion San Paolo, Naples. Lawan tim Azzuri adalah Argentina yang dikapteni Maradona.
BACA JUGA: Maradona, Diantara Cinta dan Benci
Bukannya mendukung Roberto Baggio, Giuseppe Bergomi, Walter Zenga dan lain-lain, eh, warga Naples malah men- support Maradona. Memang bukan Argentina yang didukung. Tapi secara tak langsung, Argentina juga. Karena Maradona adalah kapten, play maker dan inspirator tim.
Italia tersingkir–Argentina juga akhirnya kalah di final dari Jerman (Barat), ditandai tangis ikonik menyayat hati dari Maradona di akhir pertandingan.
Maradona Vs Messi
Jika di Naples cinta hanya untuk Maradona, maka di Argentina, cinta masyarakat terbagi dua: untuk Maradona dan Lionel Messi. Maradona adalah masa lampau, namun tak akan hilang selamanya.
Nama besar Maradona sanggup mengeliminir kapabilitasnya sebagai pelatih. Lisensi kepelatihannya bahkan dipertanyakan oleh “orang-orang teknik”. Hingga mantan mertua Sergio “Kun” Aguero ini didapuk menjadi pelatih timnas Argentina di Piala Dunia 2010 di Afsel. Padahal Argentina masih punya Marcelo Bielsa, Jose Pekerman, dan lain-lain.
Harapannya, kebintangan Messi dan nama besar Maradona akan membuat tuah. Sayang, Argentina dikalahkan Jerman di perempat final. Dengan berat hati Maradona dipecat pasca turnamen.
Cinta untuk Messi adalah kontemporer. Karena legenda FC Barcelona ini adalah yang terbaik di dunia saat ini –bersama Cristiano Ronaldo. Rekor demi rekor berhasil dipecahkan Messi, termasuk pencetak gol terbanyak Barcelona, Argentina, dan pemegang Bola Emas (Balon d’Or), simbol pemain terbaik dunia enam kali.
Namun, entah kalau Messi sudah pensiun. Apalagi prestasi La Pulga selalu dibandingkan dengan Maradona. Messi dicap hanya gemilang di klub tapi mejan di Argentina. Prestasi terbaik Messi di tim berjuluk bianco celeste (putih biru langit) ini “hanya” runner up Piala Dunia 2014 di Brazil dan kalah tiga kali berturut-turut di Copa America (turnamen dua tahunan antar negara Amerika Selatan plus peserta undangan).
Di lain pihak, Maradona sangat berjasa untuk Argentina saat memenangi Piala Dunia 1986. Perannya begitu dominan di turnamen yang diselenggarakan di Meksiko itu. Maradona mencetak lima gol, hanya kalah dari top scorer Gary Lineker (Inggris) yang mencetak enam gol.
Namun dua golnya (kebetulan dicetak versus Inggris di perempat final) begitu fenomenal, melegenda, dan paradoksal: satu dihujat karena menggunakan tangan –dikenal dengan “gol tangan Tuhan– dan satunya terus dikenang sebagai yang salah satu gol terbaik sepanjang masa, solo run dari tengah lapangan, melewati hadangan lima pemain, sebelum menceploskan bola!
Pada semifinal, Belgia dibekuk, lewat dua gol Maradona. Dan di final yang berlangsung di Stadion Azteca, Maradona lagi-lagi mengeluarkan sihirnya. Meski tak mencetak gol, namun perannya mendistribusikan bola dan mengacak-acak pertahanan lawan, membuat Jerman (Barat) takluk 2-3. Itu adalah gelar kedua Argentina, setelah 1978 di negerinya sendiri. Setelahnya Argentina “puasa” gelar.
Begitu harum nama Maradona, hingga sebelum Messi hadir, bakat-bakat muda Argentina, utamanya di posisi “No. 10” selalu diberi juluk “Maradona baru”, mulai dari Diego Latorre, Ariel Ortega, Juan Roman Riquelme, Juan Sebastián Veron, hingga Pablo Aimar.
Begitupun di luar Argentina. Legenda Rumania yang bersinar di Piala Dunia 1994, Gheorghe Hagi berjuluk “Maradona dari Carpathian”. Begitu pula bintang Yugoslavia –cikal bakal negara Serbia, Kroasia dan lain-lain, Dragan Stojković disematkan “Maradona dari Balkan”.
Diantara Kontroversi
Maradona mulai terkenal saat mengantar Argentina juara Piala Dunia Junior 1979 di Jepang (Indonesia ikut waktu itu). Masa depannya digadang-gadang cerah.
Sayangnya di Piala Dunia 1982 di Spanyol, pemain “pendekar” (pendek tapi kekar) ini gagal bersinar. Malah dia kena kartu merah kala melawan Brazil di putaran kedua.
(BERSAMBUNG)
*) Penulis, Ketua Bapemperda DPRD Kota Kotamobagu, penulis, dan jurnalis non aktif.