Oleh:
Murdiono Prasetio A. Mokoginta*
Hari ini 23 Maret 2021 bertepatan dengan momentum HUT Kabupaten Bolaang Mongondow yang ke- 67, jemari saya tergerak untuk menulis catatan-catatan sejarah Bolaang Mongondow dari beberapa literatur dan referensi yang saya baca dengan harapan bisa menambah pengetahuan kita akan perjalanan entitas Bolaang Mongondow dalam ruang dan waktu.
Gerapan tentang sejarah Bolaang Mongondow hingga kini memang masih cukup luas. Interpretasinya terkadang masih simpang siur. Hal ini karena belum adanya karya-karya sejarah kritis yang komperhensip, sistematis, dan metodologis yang mengulas sejarah Bolaang Mongondow secara singkronik dan diakronik.
Jangan heran hari ini saja (23/3) muncul beberapa pamflet yang menyampaikan suka cita HUT Bolaang Mongondow yang ke- 621 (bukan 67 tahun) di media sosial. Bagi beberapa kalangan, mereka menjadikan tahun 1400 sebagai awal lahirnya entitas Bolaang Mongondow.
Mereka merujuk sumber dalam ‘wikipedia.com/Kerajaan Bolaang Mongondow’ yang dalam periodesasinya menulis masa pemerintahan Punu’ Mokodoludut di mulai tahun 1400 – 1460. Tahun 1400 kemudian dijadikan awal penghitungan hari lahir Bolaang Mongondow sehingga di tahun 2021, usia Bolaang Mongondow dianggap telah mencapai 621 tahun.
Interpretasi mereka tidaklah salah. Hanya ‘sumber sejarah’ saja yang menyesatkan sehingga penghitungan seperti ini muncul ke permukaan. Pada akhirnya, sebelum penafsiran liar ini lepas dari sangkar pikiran, ada baiknya saya coba mengulas sejarah entitas Bolaang Mongondow dengan menggunakan sumber-sumber data yang kredibel agar menjadi tambahan referensi yang berdasar bagi kita semua.
Tulisan ini sendiri kiranya mencoba membagi kronologi Sejarah Bolaang Mogondow secara diakronik. Konsep diakronik dalam ilmu sejarah yaitu mengurai kronologi sejarah dengan cara melintasi waktu/memanjang dalam waktu. Untuk itu saya akan membagi periode besar sejarah Bolaang Mongondow menjadi tiga babakan yakni; Masa Pra-Bolaang Mongondow (sebelum terbentuknya Kerajaan Bolaang Mongondow), terbentuknya Kerajaan Bolaang Mongondow, hingga menjadi Kabupaten Bolaang Mongondow.
Masa Pra-Bolaang Mongondow (Abad X SM)
Periode Pra-Bolaang Mongondow (1000 SM) mungkin bagi sebagian kalangan terdengan sangat baru. Namun periode ini bagi beberapa pegiat sejarah lokal Bolaang Mongondow adalah perhitungan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Periode ini terdapat dalam beberapa jurnal ilmiah yang kemudian dijadikan rujukan untuk merekonstruksi sejarah Bolaang Mongondow modern
Beberapa sumber arkeologis mengarah di situs-situs di yang terdapat di Toraut, Dumoga sebagai peradaban Pra-Bolaang Mongondow kuno. Sebagaimana catatan Sriwigati & Nasrullah Azis (Peneliti Balai Arkeolog Sulawesi Utara) dalam jurnal mereka yang berjudul “Jejak Kubur Di Minahasa, Bolaang Mongondow, dan Kepulauan Sangihe; Tinjauan Persebaran Budaya Megalitik Di Sulawesi Utara”, ditulis bahwa keberadaan situs ini baru diketahui sekitar tahun 1992.
Mereka melanjutkan laporannya bahwa Sub Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jakarta, mengunjungi Desa Toraut untuk mendata sebuah kompleks kubur tebing batu di Situs Bintuanga. Hal tersebut berdasarkan informasi Petugas Taman Nasional Dumoga Bone serta informasi mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin yang pernah mengadakan perjalanan ekspedisi arkeologi ke Sulawesi Utara.
Peradaban Pra-Bolaang Mongondow juga terungkap dalam laporan Daud Aris Tanudirdjo (Arkeolog UGM) dan Christian Repmeyer (Arkeolog Australian National University). Mereka merilis laporan riset di Situs Mansiri, Toraut Dumoga yang berjdul “Mansiri in North Sulawesi: A new dentate-stamped pottery site in Island Southeast Asia”, oleh: Naszrullah Azis, Christian Reepmeyer, Geoffrey Clark, Sriwigati dan Daud A. Tanudirjo. Laporan ini menguraikan hasil baru dari situs Mansiri, dekat desa Toraut, di Sulawesi Utara.
Laporan mereka mengurai bahwa serangkaian penggalian kecil pada tahun 2015 menemukan tembikar selip merah dengan dekorasi termasuk dentate stamping, paling sering pada garis lurus atau lengkung, kesan lingkaran dan lukisan merah termasuk garis horizontal yang terkadang dikaitkan dengan batas yang diberi cap gigi palsu. Ini adalah kesamaan dekoratif yang dibagikan dengan kumpulan Lapita tengah dari Pasifik Barat Daya, tetapi kumpulan Mansiri juga menunjukkan perbedaan mencolok dari tembikar Lapita yang sangat berornamen.
Pada hasil riset mereka, ditulis bahwa usia situs Mansiri berdasar penanggalan karbon mencapai 3000 BP (Before Present/Sebelum sekarang), atau berkisar 2000 M – 3000 BP = 1000 SM.
Berdasarkan data-data ilmiah dalam jurnal di atas, maka peradaban Pra-Bolaang Mongondow telah ada sekitar 1000 SM yang berada di Dumoga dengan bukti-bukti arkeologis yang berada di Desa Toraut saat ini. Riset-riset ini kiranya telah memberikan sumbangsih yang besar demi mengungkap peradaban kuno Pra-Bolaang Mongondow pada abad-abad sebelum masehi (SM).
Komunitas ‘Tau’ Abad XVI (Era Sebelum Kinalang Damopolii)
‘Tau’ merupakan komunitas, masyarakat, suku, desa, atau kelompok yang pernah eksis pada era pra-Bolaang Mongondow hingga abad ke-16. Ini terdapat dalam catatan Wilken & Schwarz pada dokumen kolonial “Nederlandsche Zendling Genootschap” Tahun (1867: 313). Wilken menulis bahwa, sebelum era Kinalang Damopolii (Abad ke-16), ada lima ‘Tau’ yang berdinamika dalam tatanan masyarakat masa itu, yaitu; Tau Boelan, Tau Lombagin, Tau Dumoga, Tau Binangunan, dan Tau Polian.
Lokasi geografis kelima Tau ini antara lain: Tau Boelan berlokasi di Nonapan, Tau Lombagin di antara Lolak – Tenga’, Tau Dumoga berlokasi Tudu In’ Bumbungon (atau bisa saja di situs kuno saat ini), Tau Binangunan bertempat tinggal di Kaki Gunung Ambang, dan Tau Polian berada di Tabang dan sekitarnya.
Masih sulit mengidentifikasi kapan dan bagaimana masyarakat Pra-Bolaang Mongondow mulai membentuk komunitas ‘Tau’ ini. Sulit juga mengetahui apakah di dataran Bolaang Mongondow ini memang hanya terdapat lima ‘Tau’ tersebut, atau ada banyak ‘Tau’ lainnya di masa itu. Yang pasti bahwa ke lima ‘Tau’ tersebutlah yang eksis sebagaimana disebut dalam dokumen Wilken & Schwarz.
Di masa Mokodoludut dan Jajubangkai diketahui bahwa ke lima ‘Tau’ ini telah eksis. Mokodoludut dan Jajubangkai sendiri berasal dari Klan Budolangi dari ‘Tau’ Dumoga. Dari Klan Budolangi ini, kelak, anak cucu mereka yang menjadi Raja-Raja di Kerajaan Bolaang Mongondow. Di masa Jajubangkai (anak Mokodoludut), nampaknya terjadi persekutuan antara Tau Dumoga dan Tau Lombagin yang ditandai dengan pernikahan antara Jajubangkai dan Silagondo dari Buntalo.
Jajubangkai dan Silagondo dalam “Nederlandsche Zendling Genootschap Tahun 1867 diketahui telah menjalin hubungan dengan Bangsa Spanyol antara tahun 1522 – 1529. Periode ini ditarik dari kesimpulan saat membaca Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV Edisi Pemutakhiran (2010: 19).
Di buku ini diulas tentang kedatangan Portugis dan Spanyol di Maluku dan sekitarnya pada kurun waktu sekitar 1522. Adapun 1529 berdasar pada penarikan mundur armada Spanyol ke Filipina pasca Perjanjian Saragosa 29 April 1529. Dari sumber-sumber ini diambil kesimpulan bahwa hubungan Jajubangkai dengan Spanyol terjadi antara kurun waktu 1522 – 1529.
Terbentuknya Kerajaan Bolaang Mongondow Abad XVI
Berdasarkan dokumen “Nederlandsche Zendling Genootschap” Tahun 1867 Kerajaan Bolaang Mongondow terbentuk setelah Kinalang Damopolii menyatukan lima ‘Tau’ yakni Tau Lombagin, Tau Boelan, Tau Dumoga, Tau Binangunan, dan Tau Polian . Belum ada catatan yang jelas terkait kapan penyatuan kelima ‘Tau’ ini, namun diperkirakan antara tahun 1550 – 1563.
Mengapa periode ini? Karena pada bulan Mei Tahun 1564, Kerajaan Bolaang Mongondow telah menguasai ujung Manado dan Kinalang Damopolii yang dibuktikan oleh penyebutan Pastur Katolik Diogo de Magelhaens terhadap Damopolii sebagai Raja Manado.
Pastor Diogo de Magelhaens menulis dalam catatan ‘Documenta Malucensia Vol. I Tahun 1542-1577’ Bahwa pada bulan Mei 1564 ia membaptis Raja Kinalang Damopolii dan Raja Siauw menjadi penganut Agama Katolik. Periode ini disebut juga masa awal penguasaan Kerajaan Bolaang Mongondow hingga Manado abad ke-16. Perjalanan Magelhaens pada Bulan Mei 1564 ini juga diulas secara gamblang dalam Disertasi B.J.J. Visser Tahun 1925 yang berjudul “Onder Portugeesch-Spaansche Vlag; De Katholiek Missie van Indonesia 1511-1605”.
“Ten tweeden male werd dan de reis aanvaarden ditmaal gelukkig volbracht. Na vier dagen varens kwam men behouden te Manado aan, nog in de maand Mei 1563. Met veel vreugde werd daar de komst van den Missionaris begroet. De radja en het volk van Manado toonden zich zeer begeerig om den godsdienst der Portugeezen aan te nemen en zij drongen bij den Missionaris eropaan. dat deze een tijd in hun kampong zou vertoeven. Zulks lag niet in zijne bedoeling, doch toen de Manadoneezen aanhielden, besloot Pater Diogo aan hun verlangen te voldoen. Zoo bleef deze Katholieke Priester als allereerste bode van het Christendom ongeveer vijftien dagen op Manado. Deze tijd werd gebruikt om de beginselen van den Katholieken godsdiens uiteen te zetten. De Pater voegt er in zijn schrijven aan toe: “voor zoover hun begrip reikt”, m.a.w. het zullen de hoofdwaarheden der Katholieke leer geweest zijn, die aan dit volk werden uitgelegd om hen voor te bereiden op het H. Doopsel. De radja en vijftien honderd volgelingen werden daartoe toegelaten; voor de rest der bevolking werd de opname in den schoot der Katholieke Kerk tot later verschoven. De Manadoneezen worden ons beschreven als een oorlogszuchtig volk, maarvan de naam alleen reeds de omringende volkeren met schrik vervult.” (180-181)
Diterjemahkan, “Pada waktu/kesempatan ke dua penerimaan perjalanan kali ini berhasil tercapai. Setelah berlayar selama 4 hari mereka tiba di Manado, masih pada bulan Mei 1563. Kedatangan misionari disana diterima dengan penuh sukacita. Raja dan rakyat Manado sangat tertarik untuk menerima agama portugis dan mereka mendorong misionaris untuk menghabiskan sebagian waktu di kampung mereka. Hal ini bukanlah keinginannya, namun ketika rakyat Manado bersikeras, Pater Diogo memutuskan untuk menurutui kemauan mereka. Sehingga, pendeta katolik ini, misionaris Kristen pertama, tinggal di Manado selama15 hari. Waktu ini dihabiskan untuk mempersiapkan pengajaran prinsip-prinsip katolik. Pater menyatakan dalam catatannya “sepanjang pemahaman mereka”, dengan kata lain adalah prinsiip2 dasar katolik yang diajarkan waktu itu kepada rakyat tersebut untuk mempersiapkan Pembaptisan. Raja dan 1500 pengikutnya menganut/ikut ajaran tersebut. Untuk populasi lainnya konversi ke Katolik ditunda hingga waktu kemudian. Orang-orang Manado digambarkan sebagai orang-orang suka berperang, namun namanya saja sudah bisa menakuti orang-orang di sekitar.” (hal. 180-181)
Catatan mengenai penaklukan Kinalang Damopolii juga terdapat dalam karya Sam Narande berjudul Valdu La Paskah (1980: 333.
Pada tahun 1563 (1564?) utusan Portugis Peter Diego De Magelhaes datang dari Ternate ke Manado. Ia dijemput oleh Raja Manado waktu itu, Kinalang Damopolii dan Raja Siau Posuma bersama 1500 orang rakyat.“Raja Posuma sendiri adalah putra dari Raja Lokongbanua (keturunan bangsawan Bowentehu) yaitu raja pertama di kerajaan Siau. Kedua Raja serta 1500 orang itu meminta Peter Diego De Magelhaes dari gereja Roma Katolik, zaman Portugis; untuk dibaptis!”.
Data-data ini menjelaskan secara gamblang bahwa di masa Mokodoludut dan Jajubangkai Kerajaan Bolaang Mongondow belum terbentuk dan eksis. Barulah di masa Kinalang Damopolii, ia menyatukan lima ‘Tau’ dan membentuk Kerajaan Bolaang Mongondow dan menjadi Raja secara de facto dan de jure yang mendapat legitimasi pasca mengalahkan Inongkoe dari Klan Rotan Dayana pada pertempuran antara ‘Tau; Dumoga melawan ‘Tau’ Binangunan.
Dari sumber-sumber ini dapat diambil keselimpulan bahwa Mokodoludut (Kakek Kinalang Damopolii) adalah pemimpin pertama Klan Budolangi yang hanya memiliki berpengaruh besar di ‘Tau’ Dumoga sebagaimana dalam silsilah agung. Setelahnya, Klan Budolangi inilah di bawah pimpinan Kinalang Damopolii mulai menaklukan klan-klan yang tersebar di lima ‘Tau’ lainnya hingga menyatukan semuanya dalam satu kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow.
Sumber di atas juga secara langsung memberi catatan penting bahwa, Bulan Mei 1564 adalah tahun tertua yang menulis tentang eksistensi Kerajaan Bolaang Mongondow sebagaimana dalam catatan perjalanan yang ditulis oleh Pastor Diogo de Magelhaens.
Kabupaten Bolaang Mongondow 1954
Sejarah resmi Kerajaan Bolaang Mongondow berakhir pada 1 Juli 1950 saat masa rakyat yang dipelopori Partai Syarekat Islam Indonesia di bawah pimpinan Zakaria Imban memaksa Raja Henny Jusuf Cornelis Manoppo mengundurkan diri. Gedung BPPI Molinow menjadi saksi berakhirnya Kerajaan Bolaang Mongondow yang dalam perjalannanya, menjadi penguasa hingga ujung Manado sejak masa Kinalang Damopolii Abad-16 hingga Loloda Mokoagow Abad-17.
Empat tahun kemudian tepatnya 23 Maret 1954, merujuk pada PP No. 23 dan 24 tahun 1954 Lembaran Negara No. 42 dan 43 tentang pembentukan Bolaang Mongondow sebagai daerah otonom baru sebagai mana yang dutulis H.J.A. Damopolii (2003:19) dalam Dodandian, Kinotanoban, dan Kisahku, lahirlah Kabupaten Bolaang Mongondow menjadi Daerah Otonomi Tingkat II di Provinsi Sulawesi.
Perjalanan panjang Bolaang Mongondow hingga kini diharapkan akan bermuara pada satu cita-cita yaitu terbentuknya Provinsi Bolaang Mongondow Raya yang hingga kini tersendat menunggu terbukanya kran moratorium pemerintah pusat.
Bila menggunakan sumber primer dalam catatan Pastor Diogo de Magelhaens. Dihitung sejak bulan ‘Mei 1564’ sebagaimana dalam ‘Documenta Malucensia Vol. I Tahun 1542-1577’, yang menulis tentang eksistensi dan penguasaan Kerajaan Bolaang Mongondow hingga ujung Manado, maka usia entitas Bolaang Mongondow di tahun 2021 ini telah mencapai ‘457 Tahun’.
*) Penulis Adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)