CERPEN | dari Uwin Mokodongan*)
Ia terkesima dengan apa yang dilakukan Ibunya. Teringat bahwa itu adalah tradisi sebagaimana diajarkan Neneknya ketika masih hidup.
Mereka bicara bertiga di ruang makan sembari menyantap menu di meja. Kala itu gerimis turun seperti nyanyian. Mereka adalah Ibu, Ayah, dan seorang putra yang jadi harapan terakhir untuk disekolahkan.
Kedua kakaknya sudah tak bisa diharapkan. Kakak tertua sudah lama putus sekolah justru menjelang ujian akhir kelas 3 SMA karena kawin lari dengan dambaan hatinya.
Ijazah ditangan tinggal karena upaya Ayahnya mamasukan kakaknya itu lewat program pendidikan kesetaraan yang kala itu dikenal dengan UPER. Meski ijazah UPER dapat dipakai untuk studi lanjut, kesempatan itu tak digunakan lagi karena harus mengurus rumah tangga dengan lahirnya momongan, dan keengganan karena telah mengecewakan orang tua.
Ayah yang meski sempat kecewa, bagaimanapun juga tetap menopang kehidupan anaknya dengan mewariskan beberapa bidang tanah pertanian untuk diolah sebagai sumber penghidupan keturunannya. Sedangkan kakak keduanya, sempat kuliah 2 semester, tapi pada akhirnya mengikuti jejak kakak tertua. Putus studi karena memilih menikah dan berhenti kuliah.
Kepadanya diberikan juga beberapa bidang tanah pertanian sisa pembagian, namun karena tidak telaten bertani, kakak keduanya menjual tanah warisan itu dan uang hasil penjualan dijadikan modal membuka usaha. Namun karena tak ada keahlian berdagang, pada akhirnya gulung tikar.
Sekarang kakak keduanya itu mengadu nasib sebagai pekerja kontrak di sebuah perusahaan. Harapan agar ada anak yang bisa menjadi kebanggan orang tua untuk dapat mengenyam ijazah sarjana, tinggalah tertumpu pada dia, satu-satunya yang bisa diharapkan.
“Masamai na’a posikola kele’. Tua in totok penting. Induwanya kon tota dumudui kon singog guranga ba mopia in kobobiag. Dikapa dumodui koi guyaguyangmu. Pinosikolah kubi’ tapi karna dia’ moki dongog kon guranga, da’ indeyaimu don, ” demikian Ayahnya kerap kali begitu. Setiap saat, saban di meja makan.
“Mogaul bo mogaso nion nomor saribu. Aka mosukses don, yo bobay bi’ dimiug koinimu, mosia bi’ sedang mokilibo, ” tambah Ayahnya.
“Jadi momendaftar kon jurusan tehnik, ba’ mobali’ insinyur. Aka molulus iko kon tua yo mogambar ikou, ratusan juta bi’ poguboli monia. Jadi lagi baluyai in rencanamu tumu’ot kon jurusan sejarah. Sin dia’ bi’ onu mouli’mu kon tota.” Terakhir itu adalah penegasan.
Itu berarti minat dan mimpinya masuk jurusan sejarah pupus sudah. Ia mencoba menimpali, hendak menyampaikan protes, tapi adat tradisi tak mengajarkan dia membantah omongan orang tua. Apalagi orang tua yang sudah dua kali kecewa, namun masih belum kapok dan tetap punya niatan untuk membiayainya anaknya mengenyam pendidikan tinggi.
“Indongogay koyou in guranga. Na ai momayou ba’ dia’ mo bodito, ” tandas Ayahnya ketika melihat ada raut perbantahan tergambar dari air muka putranya.
Ibunya lantas menyela, memberi pembelaan.
“Ai ka moibog sia kon jurusan sejarah yo na anda bi’?”
Cepat sang Ayah menimpali. “Dia’ bi’ buga onu mouli’ kon tota. Dikapa sumampur iko sin kolipod nana’a doman kainumu kon adik deyewa,” tandas Ayahnya.
Ungkapan itu membuat telinga dan batinya sakit. Sebenarnya ia tak ingin mendebat karena lagi-lagi sadar kalau adat tak mengajarkan demikian. Tapi kali ini ia nekat. Meski merasa percuma, sedikitnya ia berpikir bahwa ada masa dimana ia harus menyampaikan pendapatnya. Semacam merasa ada pelepasan meski akan sia-sia sebab tak akan mengubah prinsip Ayahnya. Tapi ini tak tertahankan lagi sehingga ia bicara.
“Sejarah tua mopenting doman papa. Sin aka kita dia’ mo…” belum usai bicaranya, sang Ayah cepat menimpali. Suaranya keras dan ketus.
“Otut mo penti-penting. Ubol komintan bo balajaronmu!”
“Ubol na anda papa?”
“Onu mouli’mu kon sejarah? Onu? He na’a pogumanku koinimu, Bogani tua tonga’ bi’ ouman. Dia’ bi’ onda intau kolantud pangkoy bango’. Guyanga mita kolipod mosia momia kon o’uman sin pogogondok kon adi’. Tua in sejarah. Gogondok kon adi’. Aka Bogani totu’u oyu’on yo pinobal bi’ monia in balanda’ namangoi. Na’ doman tota japang. Po bal bi’ monia in penjajah kinta namangoi na’a. Tapi na aya mosia bi’ nopobal koi naton. Totok ginogutu’ monia in guyanga mita kolipod. Sedang raja bo dumudui kon ibog monia yo. Komintan kinala balanda. Yo onda bi’ mita in Bogani bo turunannya waktu mosia namangoi? Sedang parmesta bo kinalah pusat. O’uman sedang oyu’on lolumayug mita guyanga, mobailang, mobali’ tagin, mobali’ pangkoi lantat, tapi kinalah te doman,.”
“Kai ine?! Ba’ kota’awan i papa…”
“Na’ai momayou kele’. Sin nokalah kita. Kinala Balanda, bo kinala pa doman Japang, kinalah parmesta, kinalah pusat. Pinomia monia ata in kita. Sin eta? Sin kita nobodok bo mosusuah pa doman. Manangka tua kai papa, masamai na’a yo posikolah ule kele’. Ogoguyang naton kinala monia sin nongo bodok bo mongo susah. Diak mota’au mobaca, dia’ mota’au momais, dia’ ko ilmu. Manangka tua sinonggata monia!”
“Ki ine in sinonggata? Deman bi’ na tua papa ciritanya sin…!”
Kalimat itu tertahan karena Ayahnya yang temperamen melempar gelas ke lantai. Pecah, remuk berserakan. Itu pertanda cita-citanya masuk jurusan sejarah menjadi senasib dengan gelas itu.
“Aka ikou bo salalu bi’ momayou koinako’ yo dikadon mokuliah bo baya’don kon apou iko, koi utatmu bo poguru don koi nia ba’ mobali’ mongongaing!” ketus Ayahnya sembari berdiri dan merobohkan kursi.
Ibunya lantas berdiri melerai perdebatan lalu membereskan apa yang tiba-tiba berserakan. Seketika Ayahnya meninggalkan meja makan dan Ibunya mengejar membawakan segelas air minum untuk suaminya. Sementara ia duduk termangu di meja makan dengan perasaan remuk. Makan siang kali itu benar-benar menjadi petaka.
“Na’ai don tarukira’an ki papamu tua kele’. Na’ tota bi’ sia. Na ai don makou. Poduduydon onu koibognya. Sin no umur don doman guyanga. Yang penting bo mokuliah iko. Sejarah nion bain balajaronmu don tontani kele’. Yo ponga’an don bui. Kodait,” kata Ibunya membujuk lalu kembali mengambil tempat disampingnya, meneruskan makan siang meski semua telah terasa tawar.
*
Guntur bergemuruh di langit, diikuti kilat yang pecah. Hujan kembali mengguyur deras. Suasana benar-benar basa sama seperti batinya. Selesai makan, Ibu mengemasi meja namun tidak segera membawa apa yang dibereskan itu ke dapur. Ia masih menemani putranya di meja makan.
Di luar kilat terus saja bersahutan dengan gemuruh guntur. Hujan mendera, angin yang bertiup kencang membuat setiap jendela di rumah seperti digedor, begitupun pintu, seperti dibanting dan air hujan yang diterpa angin masuk ke dalam rumah. Kilat terus menggelegar.
Ibunya berlari ke dapur, mengambil alat pencukur kelapa lalu menaruhnya ke halaman tepat di depan pintu lalu merapalkan sesuatu, ia mendengarnya;
“Tompot..tompot baya’ don iko kon tolungaya..” Tiga kali Ibunya mengulang kalimat itu lalu kembali masuk.
Ia terkesima dengan apa yang dilakukan Ibunya. Teringat bahwa itu adalah tradisi sebagaimana diajarkan Neneknya ketika masih hidup. Jika alam mengamuk, guntur dan kilat bersahut-sahutan dan hujan deras disertai angin, maka Nenek menyuruhnya ke dapur mengambil alat pencukur kelapa kemudian ditaruh di halaman rumah, lalu Neneknya akan merapalkan mantra sebagaimana yang kini baru diperankan Ibunya.
Dari ruang tamu, suara Ayahnya samar terdengar bertautan dengan gemuruh Guntur, kilat, dan derasnya hujan di wuwungan;
“Nion no in tota’au sinunduk baaimu. Ka ule alam bo lawangon bi takin kokayugan. Dega’ tota’au bi’ nongkon onda. Aka uyan yo biasa bi’ mongilat bo moguntur. Fenomena alam bi’ nion kai monia, dia’ bi’ anda kaitannya takin kokayugan”
Ibu menatap putranya dengan mengedipkan mata. Seolah bicara; begitulah Ayahmyu. Dia menganggap semua ini tahyul. Biarkanlah dia.
Ia setuju dengan tradisi yang masih dilakoni Ibunya. Meski ia sendiri tidak tahu atau setidaknya belum tahu menjelaskan apa hubungan antara mantra, hujan petir, dan alat pencukur kelapa dari besi yang ditancap menyatu dengan kayu.
Beberapa saat kemudian hujan reda, tinggal gerimis kecil. Tapi mereka lupa mengemasi kembali alat pencukur kelapa yang masih tergeletak di halaman rumah kira-kira beberapa jarak dari depan pintu.
Merasa hujan tinggal gerimis kecil, Ayahnya yang usai makan siang tadi lupa merokok, tahu bahwa di kantong baju tinggal ada korek, sehingga perlu membelinya lagi. Ia tidak minta bantuan putranya. Sebab masih akan menunggu tensi insiden gelas remuk saat makan siang tadi mereda.
Tapi beruntung warung terdekat hanya di sebelah rumah. Maka dari pintu ruang tamu Ayahnya keluar melewati halaman samping dimana ia dan Ibunya dapat melihat dari ruang makan.
Saat Ayahnya sedang bergegas melintas ke rumah tetangga membeli rokok, seketika guntur bergemuruh dan petir cepat menyambar… pyarrrrrr!
Ibu dan putranya sontak terlonjak dari kursi. Wajah mereka pucat pasi, jantung berdegup kencang dan darah berdesir dingin. Sedang sang Ayah seperti pohon tumbang lalu seketika membungkuk seperti katak yang baru saja keluar dari tempurung.
Petir itu menyambar alat pencukur kelapa beberapa meter dari Ayahnya. Entah apa yang terjadi jika Ibunya tak mengeluarkan alat pencukur kelapa itu. Sebuah pengatahuan warisan nenek moyang telah menyelamatkan nyawa Ayahnya.
Gerimis sore itu, Ayahnya merasa benar-benar kena tampar.
*Penulis adalah Pegiat Sejarah dan Kebudayaan Bolaang Mongondow Raya di Monibi Institut.