Oleh:
Murdiono Prasetio A. Mokoginta*
Kesekian kalinya, pertengahan bulan Maret 2021 saya diundang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kotamobagu untuk hadir pada kegiatan FGD terkait Ranperda perubahan HUT Kota Kotamobagu.
BACA JUGA:Matangkan Persiapan Pembahasan Ranperda HUT Kotamobagu, DPRD Gelar FGD
Saya sebagai Ketua Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR), teman-teman pengurus, pemerhati sejarah, dan beberapa tokoh masyarakat merasa antusias untuk mengikuti kegiatan ini dengan harapan kiranya hasil dari FGD ini akan bermuara pada satu kesimpulan yang menjadi dasar perubahan HUT Kota Kotamobagu yang lebih dari satu dekade ini diperingati tiap tanggal 23 Mei tahun berjalan.
Sebagaimana ulasan saya sebelumnya dalam esai yang berjudul “Membaca Filosofi Sejarah Kotamobagu Menuju Usia 110 Tahun”, mengurai latar belakang mengapa 23 Mei dijadikan sebagai HUT Kota Kotamobagu. Menurut saya, Kita memperingati HUT Kota Kotamobagu sejak tanggal 23 Mei 2007 bertepatan dengan pelantikan Bapak Ir. Hi. Siswa R. Mokodongan sebagai Pejabat Sementara Walikota Kotamobagu yang kemudian tanggal inilah dijadikan sebagai HUT Kotamobagu hingga kini.
BACA JUGA: Membaca Filosofi Sejarah Kotamobagu Menuju Usia 110 Tahun
Tanggal 23 Mei yang diperingati hampir 13 tahun ini tidak memiliki pijakan kuat dalam sejarah panjang Kotamobagu. Kita kehilangan ruh dan jiwa pembangunan, yaitu sejarah yang membentuk kebudayaan manusia.
Kini kita membaca visi Kota Kotamobagu “Kota Kotamobagu sebagai Kota Jasa dan Perdagangan Berbasis Kebudayaan Lokal Menuju Masyarakat Sejahtera dan Berdaya Saing”. Namun saat peringatan HUT Kota Kotamobagu, tanggal penetapannya tidak memiliki dasar sejarah yang merupakan jejak daripada kebudayaan.
Koentjaraningrat (2009: 153) dalam Pengantar Ilmu Antropologi menjelaskan bahwa menjunjung sistem nilai kebudayaan merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat.
Cara menusia menghargai kebudayaan adalah dengan mepelajari pola pergerakan manusia dalam ruang dan waktu yang ditemukan saat mempelajari sejarah. Menghargai nilai sejarah, peristiwa, dan filosofi sejarah lahirnya Kota Kotamobagu adalah keniscayaan bagi pemerintah Kota Kotamobagu jika menganggap bahwa kebudayaan lokal adalah pondasi pembangunan di sana sebagaimana disebutkan dalam bunyi visi di atas.
Karena inilah maka PS2BMR dan para pengiat sejarah di Kota Kotamobagu menyuarakan pendapat bahwa salah satu cara menanamkan pondasi kebudayaan yang kuat sebagai muara akhir pembangunan adalah mengubah HUT Kota Kotamobagu yang biasa diperingati tanggal 23 Mei tiap tahun dengan tanggal, bulan, dan tahun HUT Kota Kotamobagu yang memiliki landasan historis, nilai kebudayaan, dan filosofis yang jelas dan berdasar.
Menghargai Nilai Sejarah Melalui Penetapan ‘Hari Jadi’
Susanto Zhudi (2014: 279) dalam Nasionalisme, Laut, dan Sejarah menulis ulasan yang cukup penting berjudul “Penetapan Hari Jadi Daerah/Kota Sebagai Upaya Pencarian Identitas Masyarakat dan Integrasi Bangsa: Suatu Sumbangan Pemikiran Untuk Kendari”. Menurutnya penetapan dan pengalian nilai sejarah pada penetapan HUT beberapa Kota/Daerah di Indonesia baru dimulai pada dekade tahun 1980-an. Saat masyarakat mulai mencari dan menetapkan ‘Hari Jadi’ daerah atau kotanya dapatlah dikatakan sebagai peningkatan kesadaran sejarah juga.
Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia ini menarik kesimpulan dalam tulisannya bahwa penetapan hari jadi atau hari lahir kota pada akhirnya adalah soal kese[akatan atau konsensus juga. Sebab penetapannya dilakukan dengan suatu keputusan politik oleh pemerintah daerah yang kemudian diundangkan.
Akan tetapi, landasan historis atau arkeologis tidak boleh diabaikan. Sesuai dengan karakteristik suatu kota yang heterogen dan kemajemukan etnitas dan kebudayaannya maka semangat multikulturalisme hendaknya menjadi kerangka pengembangan ke depan.
Menetapakan HUT Kota Kotamobagu yang memiliki landasan historis dengan berakar pada sumber-sumber sejarah sebenarnya telah dimulai saat ini asalkan kita memiliki satu konsensus yang menjadikan sejarah dan kebudayaan sebagai tongak penting pembangunan. Jika hal ini tercapai maka usaha ini sangat sesuai dengan visi pemerintah Kota Kotamobagu yang menjadikan kebudayaan lokal sebagai landasan membangun daerah ini.
Menguji Kesahihan Sumber Rujukan Lahirnya Kotamobagu
Sebenarnya ada beberapa pendapat yang juga memiliki dasar yang kuat untuk menetapkan HUT Kota Kotamobagu. Ada yang berdasar pada tahun 1905, 1906, 1910, dan 1911. Namun sekali lagi, bahwa pandangan sejarah memiliki konsep yang harus dijadikan rambu-rambu dalam menelaah dan memahaminya yang dikenal dengan istilah ‘sejarah kritis’.
Sejarah kritis sebagai pegangan para akademisi sejarah sejak abad ke-19 memang menjadi acuan untuk menguraikan fakta-fakta sejarah yang memiliki metode ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan sebagaimana sejarah sebagai ilmu pengetahuan.
A. Daliman (2012: 45) dalam Pengantar Filsafat Sejarah menjelaskan bahwa filusuf sejarah kritis akan meneliti sarana-sarana, metode-metode, pemikiran-pemikiran, analisis-analisis yang dapat digunakan oleh seorang ahli sejarah dalam melukiskan, mendeskripsikan dan merekonstruksi masa silam dengan cara yang dapat dipertenggungjawabkan menurut kaidah-kaidah ilmiah.
Anton Bakker (2018: 26) dalam Filsafat Sejarah: Refleksi Sistematik memperjelas bahwa terdapat dua objek dalam filsafat ilmu sejarah (kritis). Pertama; Objek Material: Ilmu sejarah sebagai kegiatan manusiawi yang ilmiah; jadi karya parah ahli sejarah, dan cara mereka beriilmu (historiografi). Kedua; Objek Formal: ciri-ciri logik, konseptual dan epistemologik; jadi proses-proses pemikiran historis.
Ilmu sejarah memberikan kaidah-kaidah untuk meneliti dan membaca dokumen sejarah dengan menggunakan metode atau metodologi sejarah. M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi dalam Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar menjelaskan bahwa metode merupakan sebuah cara prosedural untuk berbuat untuk berbuat dan mengerjakan suatu dalam sebuah sistem yang teratur dan terencana.
Langkah pertama dalam metodologi sejarah adalah heuristik yaitu mengumpulkan sumber, kritik sumber untuk menguji sumber, interpretasi untuk menafsirkan masa lalu, dan historiografi untuk menulis sejarah.
Untuk HUT Kota Kotamobagu kita ada beberapa sumber yang menjadi acuan dalam proses pengumpulan sumber sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa kurang lebih HUT Kota Kotamobagu bisa ditetapkan dari tahun 1901, 1906, 1910, dan 1911. Dalam tahapan kritik sumber, semuanya memenuhi syarat untuk menjadi rujukan penetapan HUT Kota Kotamobagu yang berlandaskan pada fakta dan sumber historis yang jelas.
Helius Sjamsudin (2012: 75) dalam Metodologi Sejarah menguatkan bahwa sumber-sumber sejarah adalah alat-alat (means, tools) dalam sejarah. Beliau memperkuat lagi bahwa umumnya sejarawan menganggap bahwa sumber-sumber asli adalah sumber pertama (primary sources), sedangkan apa yang telah ditulis oleh sejarawan sekarang atau sebelumnya berdasarkan sumber-sumber pertama dan kedua (secoundary sources). (…) umumnya yang dimaksud dengan “sumber asli “ (orisinal) dari sumber pertama ialah evidensi (bukti) yang kontemporer (sezaman) dengan suatu peristiwa yang terjadi.
Adapun semua sumber sejarah yang diajukan untuk bahan akademik Ranperda Perubahan HUT Kota Kotamobagu kiranya telah memenuhi syarat untuk dijadikan sumber rujukan sejarah.
*) Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)