Oleh:
Murdiono Prasetio A. Mokoginta*
Asal-usul mengenai masyarakat Bolaang Mongondow hingga kini masih menjadi perdebatan oleh hampir semua kalangan. Perbedaan perspektif dalam melihat sejarah hingga kini masih hangat dalam tiap diskusi di ruang publik.
Meski demikian, tak dapat dipungkiri, bahwa buah dari perdebatan inilah yang menjadi alasan hingga kini sejarah lokal Bolaang Mongondow masih tetap lestari. Mereka sadar, bahwa perbedaan pendapat dan pandangan ini lahir daripada itikad baik sebagai usaha menemukan identitas dan jati diri rakyat Bolaang Mongondow sebagai sebuah bangsa di negara Indonesia.
Tanpa masa lalu, proyeksi masa depan terasa hambar. Kita menyusuri ruang dan waktu ke masa depan seperti seorang yatim yang sunyi dan sendiri. Hanya satu cara untuk mengungkap semua ini. Ialah ‘sejarah’ yang akan membawa kita melihat asal-usul komunitas Bolaang Mongondow yang memiliki kaitan benang merah dengan masa kini.
Sebagaimana yang diulas oleh Koentjaraningrat (2009: 259) dalam Pengantar Ilmu Antropologi bahwa ada dua cara untuk mencari tahu asal-usul suatu suku bangsa. Pertama: mempergunakan tulisan para ahli prehistori (arkeologi) yang pernah melakukan penggalian dan analisis benda-benda kebudayaan prehistori yang mereka temukan di daerah sekitar lokasi penelitian. Kedua; bila tidak menemukan bukti arkeologis, maka terpaksa harus berusaha mencari bahan keterangan lain, yaitu bagian mengenai dongengan suci atau mitologi suku bangsa (folklore).
Dua metode inilah yang akan saya gunakan untuk mengulas tulisan ini.
Bukti Arkeologis
Ulasan pertama di atas, memiliki relevansi dengan studi sejarah Bolaang Mongondow masa kini. Berkat bantuan beberapa arkeolog dalam negeri dari Balai Arkeologi Sulawesi Utara, Universitas Gadjah Mada, dan arkeolog mancanegara dari Australian National University, perlahan tapi pasti gambaran masa lalu Bolaang Mongondow pada abad-abad Sebelum Masehi (SM) mulai terkuak.
Beberapa situs purbakala mengenai adanya bekas pemukiman masyarakat kuno di lembah Dumoga yang banyak tersebar di wilayah Desa Toraut, Bolaang Mongondow telah sedikit mengungkap kehidupan masyarakat pra askara Bolaang Mongondow yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-10 SM.
Membaca laporan riset di Situs Mansiri, Toraut Dumoga yang berjudul “Mansiri in North Sulawesi: A new dentate-stamped pottery site in Island Southeast Asia”, oleh: Naszrullah Azis, Christian Reepmeyer, Geoffrey Clark, Sriwigati dan Daud A. Tanudirjo, kita akan menemukan fakta bahwa 1000 SM nenek moyang masyarakat Bolaang Mongondow telah memiliki hubungan dengan beberapa peradaban di Pasifik.
Hasil penelitian mereka misalnya menemukan tembikar selip merah yang memiliki kesamaan dekoratif dengan kumpulan Lapita Tengah dari Pasifik Barat Daya. Menurut beberapa sumber dijelaskan bahwa Kebudayaan Lapita berkembang di Pasifik yang eksis antara tahun 1600 – 500 SM. Kebudayaan Lapita oleh beberapa arkeolog diyakini sebagai leluhur orang-orang di Polinesia, Mikronesia, dan beberapa kawasan pesisir Melanesia.
Ras Polinesia saat ini tersebar di negara Amerika Serikat, New Zealand, Australia, Samoa, Tonga, dan Chile. Mikronesia sendiri merujuk pada gugusan pulau-pulau kecil yang tersebar di timur Samudera Pasifik (Hawai tidak termasuk) yang kini berbatasan dengan Filipina, Indonesia, dan Papua Nugini. Adapun mengenai Melanesia mereka berasal dari Ras Melanesoid yang saat ini adalah gugus kepulauan yang memanjang dari Papua dan Aru lalu ke timur sampai Pasifik bagian barat, serta utara dan timur laut Australia (wikipeda.org).
Selain berinteraksi dengan kebudayaan Lapita, ada dua bangsa lain yang juga menjalin kontak dengan masyarakat pra-Bolaang Mongondow (1000 SM) yaitu Filipina dan Taiwan.
Referensi Tradisi Lisan
Referensi lain mengenai asal-usul masyarakat Bolaang Mongondow ialah menggunakan tradisi lisan yang dikenal luas di sana. D. Henige (1982) dalam karya Jan Vansina (2014: 43) Tradisi Lisan Sebagai Sejarah, memberikan batasan umum mengenai tradisi lisan ini yaitu bahwa tradisi lisan itu harus dikenal secara umum atau secara universal di kebudayaan tersebut. Beberapa tradisi lisan mengenai asal-usul masyarakat Bolaang Mongondow yang telah dikenal secara umum dirasa perlu untuk dipelajari.
Sebenarnya ada batasan waktu (perioedesasi) tertentu untuk mempelajari terbentuknya pola pikir masyarakat Bolaang Mongondow mengenai asal-usul mereka menurut tradisi lisan yang berkembang di sana.
Batasan waktu ini saya tarik di tahun 1984 yaitu tahun di mana terjemahan buku William Dunnebier “Over de Vorsten Van Bolaang Mongondow”, yang dalam bahasa Indonesia “Mengenal Raja-Raja Bolaang Mongondow” terbit.
Sebelum terbitnya karya Dunnebier tersebut pada Mei 1984 (hingga menjadi buku ‘babon’) yang narasinya mampu bertahan hingga tiga dekade belakangan, rujukan mengenai siapa nenek moyang masyarakat Bolaang Mongondow tertuju pada Mokodoludut. Pemahaman ini muncul karena masyarakat Bolaang Mongondow di masa itu sebagian besar masih banyak yang buta huruf dan miskin referensi sejarah sehingga meyakini bahwa mereka berasal dari anak-turunan Mokodoludut yang menurut mitologi menetas dari telur burung Duduk.
Hanya slakbom yang menjadi rujukan utama masyarakat umum untuk mengetahui nenek moyang mereka di dekade-dekade sebelum tahun 1984. Alasan ini pula mengapa hampir semua slakbom yang ada di Bolaang Mongondow sejak dahulu hingga kini umumnya masih mencantumkan Mokodoludut sebagai asal turunan mereka.
Burung Duduk sendiri menurut mitologi Bolaang Mongondow dianggap sebagai burung suci dari surga sebagai mana yang diuangkap Wilken dan Schwarz (1871: 278) dalam catatan kaki karya mereka Mededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendling Genootschap Tahun 1871. Dalam karya ini tentang silsilah agung (slakbom) keturunan Budolangi.
Terbitnya Terjemahan Karya Dunnebier Tahun 1984
Bulan Mei Tahun 1984 saat Karya Dunnebier berjudul ‘Mengenal Raja-Raja Bolaang Mongondow’ terjemahan R. Mokoginta terbit, ada referensi baru mengenai asal-usul masyarakat Bolaang Mongondow.
Saat sebelumnya mereka masih memiliki keyakinan bahwa asal-usul mereka berasal dari seorang yang bernama Mokodoludut. Justru terjemahan buku ‘Mengenal Raja-raja Bolaang Mongondow’ memberi masyarakat padangan baru mengenai asal-usul keturunan rakyat Bolaang Mongondow di masa itu bahwa nenek moyang mereka bukan lah Mokodoludut, tetapi dari Goemalangit (Budolangi), Tendedoeata, Toemotoibokol, dan Toemotoibokat.
Di awal buku ini, Dunnebier langsung menguraikan mengenai asal-usul rakyat Bolaang Mongondow. Dunnebier menulis bahwa setelah terjadi banjir besar yang menengelamkan daratan Bolaang Mongondow, hanya satu tempat yang tidak dihempaskan air bah ketika itu yaitu di puncak gunung Komasaan di Bintauna. Dunnebier memberikan petunjuk bahwa masyarakat Bolaang Mongondow berasal dari Bintauna.
Apa yang dipahami oleh masyarakat Bolaang Mongondow sebelum buku ini terbit perlahan berubah dan referensi dalam buku Dunnebier ini mencuat. Anggapan bahwa asal-usul masyarakat Bolaang Mongondow berasal dari turunan Mokodoludut yang terlahir dari ‘telur’ yang dikerami oleh burung Duduk, ternyata salah.
Mokodoludut yang mereka anggap sebagai nenek moyang, ternyata hanyalah anak dari Salamatiti (putri Budolangi) yang dalam mimpinya kawin dengan Malaikat. Usai mimpi aneh itu, seiring waktu Salamatiti akhirnya mengandung dan melahirkan ‘telur’ yang ternyata adalah Mokodoludut itu sendiri.
Buku Mengenal Raja-Raja Bolaang Mongondow memberi perspektif baru mengenai asal-usul rakyat Bolaang Mongondow sejak era 80-an. Pemahaman masyarakat yang sebelumnya mengira bahwa Mokodoludut sebagai nenek moyang mereka perlahan berubah.
Pasca terbitnya karya Dunnebier ini, seiring pendidikan mulai berkembang dan narasi tradisi lisan dalam karyanya mulai diajarkan di institusi pendidikan sekolah, masyarakat mulai menerima bahwa Goemalangit (Budolangi), Tendedoeata, Toemotoibokol, dan Toemotoibokat lah sebagai nenek moyang rakyat Bolaang Mongondow. Narasi ini bahkan mampu bertahan hingga saat ini di samping narasi lama tentang Mokodoludut dan telur.
Meluruskan Mitos
Menggunakan dua pendekatan di atas baik arkeologis dan mitologi (dari tradisi lisan), kita menemukan kesimpulan bahwa nenek moyang masyarakat Bolaang Mongondow adalah manusia. Kita bukanlah suku bangsa yang lahir dari rahim hewaniah seperti seekor burung (Duduk).
Bukti arkeologi terkini jelas makin menguatakan bahwa peradaban Bolaang Mongondow telah ada sejak abad-abad sebelum masehi. Di abad sebelum masehi kita bahkan sudah melakukan kontak dan komunikasi dengan peradaban-peradaban lain.
Pun secara mitologi, tak ada catatan manapun yang menjelaskan bahwa kita berasal dari turunan hewani. Baik merujuk dalam catatan slakbom Wilken dan Schwarz di Mededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendling Genootschap dan Karya Dunnebier “Over de Vorsten Van Bolaang Mongondow”, asal-usul nenek moyang masyarakat Bolaang Mongondow adalah Manusia.
Tradisi Lisan dalam dua karya ini berkesimpulan bahwa Ibu Mokodoludut adalah Salamatiti yang dikawini oleh Malaikat di dalam mimpinya. Salamatiti merupakan anak dari Budolangi dan Sandilo putri dari Bumbungon yang notabene adalah seorang manusia tulen.
Sebenarnya ada kontradiksi dalam dua karya ini mengenai siapa istri dari Budolangi. Jika merujuk dalam slakbom Wilken maka Budolangi memiliki istri yang bernama Sandilo dari Bumbungon. Sedangkan karya Dunnebier menulis dalam bukunya bahwa Budolangi menikah dengan Tendeduata. Atau justru Budolangi menikahi kedua-duanya, hingga kini saya belum memiliki referensi mengenai hal ini. Yang pasti bahwa ditinjau dari referensi manapun, rakyat Bolaang Mongondow adalah keturunan manusia, bukan dewa, atau hewaniah.
*) Penulis adalah Ketua Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)